Beranda Publikasi Riset Kajian

Analisis Yuridis Normatif Atas Pengaturan Holding BUMN Industri Pertambangan

1653

Oleh Tim Riset/Kajian Pushep

Pendahuluan

Dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2017 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (persero) PT Indonesia Asahan Aluminium (PP 14 Tahun 2017) menjadi dasar dalam melakukan Holding BUMN Industri Pertambangan. PT Inalum menjadi induk perusahaan Holding BUMN tersebut, pengalihan saham seri B, yang terdiri atas PT Aneka Tambang (Antam) Tbk sebesar 65%, PT Bukit Asam Tbk 65,02%, PT Timah Tbk 65%, dan 9,36% saham PT Freeport Indonesia yang dimiliki pemerintah, kepada PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Sehingga serta PT Aneka Tambang (Antam) Tbk, PT Bukit Asam Tbk, dan PT Timah Tbk yang menjadi anak perusahaan (anggota holding).[1]

Pengalihan saham seri B, dalam PP 14 Tahun 2017 menegaskan, negara melakukan kontrol terhadap Perusahaan Perseroan (Persero) PT Aneka Tambang Tbk, Perusahaan Perseroan (Persero) PT Timah Tbk, dan Perusahaan Perseroan (Persero) PT Bukit Asam Tbk melalui kepemilikan saham Seri A dwi warna dengan kewenangan sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar. Penambahan penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud, menurut PP 14 Tahun 2017, mengakibatkan: a. Status Perusahaan Perseroan (Persero) PT Aneka Tambang Tbk, Perusahaan Perseroan (Persero) PT Timah Tbk, dan Perusahaan Perseroan (Persero) PT Bukit Asam Tbk, berubah menjadi perseroan terbatas yang tunduk sepenuhnya pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Menurut Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini M Soemarno, meski status mereka berubah, ketiga anggota holding itu tetap diperlakukan sama dengan BUMN untuk hal-hal yang bersifat strategis. Dengan begitu, negara tetap memiliki kontrol terhadap ketiga perusahaan tersebut, baik secara langsung melalui saham dwiwarna maupun tidak langsung melalui PT Inalum (persero) seperti diatur dalam PP 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan Dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara Dan Perseroan Terbatas (PP 72 Tahun 2016).[2]

PP 72 Tahun 2016 secara substansi bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara). Sehingga perlu untuk mengkaji mengenai  PP 47 Tahun 2017 dengan pendekatan perundang-undangan.

Permasalahan

Bagaimanakah konsistensi Pengaturan Holding BUMN Industri Pertambangan dalam mewujudkan amanah konstitusi di bidang sumber daya alam?

Analisis

Dalam  Pasal 1 PP 47 Tahun 2017 berbunyi sebagai berikut:

(1) Negara Republik Indonesia melakukan penambahan penyertaan modal ke dalam modal saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Indonesia Asahan Aluminium, yang statusnya sebagai Perusahaan Perseroan (Persero) ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2Ol4 tentang Penetapan PT Indonesia Asahan Aluminium Sebagai Perusahaan Perseroan (Persero) PT Indonesia Asahan Aluminium.

(2) Penambahan penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari:

a.     Pengalihan seluruh saham Seri B milik Negara Republik Indonesia pada:

1)    Perusahaan Perseroan (Persero) PT Aneka Tambang Tbk yang statusnya sebagai Perusahaan Perseroan (Persero) ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1974 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Negara Aneka Tambang menjadi Perusahaan Perseroan (Persero);

2)    Perusahaan Perseroan (Persero) PT Timah Tbk yang statusnya sebagai Perusahaan Perseroan (Persero) ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1976 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Negara Tambang Timah menjadi Perusahaan Perseroan (Persero); dan

3)    Perusahaan Perseroan (Persero) PT Bukit Asam Tbk yang statusnya sebagai Perusahaan Perseroan (Persero) ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1980 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) Tambang Batubara Bukit Asam.

b.     Pengalihan seluruh saham milik Negara Republik Indonesia pada PT Freeport Indonesia.

dibentuknya PP 47 Tahun 2017 mendasarkan pada Pasal 2A PP 72 Tahun 2016 yang mengatur:

(1)   Penyertaan Modal Negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d kepada BUMN atau Perseroan. Terbatas lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

(2)    Dalam hal kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga sebagian besar saham dimiliki oleh BUMN lain, maka BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN dengan ketentuan negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar.

(3)    Kekayaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas, bertransformasi menjadi saham/ modal negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas tersebut.

(4) Kekayaan negara yang bertransformasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), menjadi kekayaan BUMN atau Perseroan Terbatas tersebut.

Penambahan penyertaan modal ke dalam modal saham PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) yang berasal dari pengalihan seluruh saham Seri B milik Negara Republik  Indonesia pada PT Aneka Tambang (Persero) Tbk, PT Timah (Persero) Tbk, dan PT Bukit Asam (Persero) Tbk yang diatur dalam Pasal 1 PP 47 Tahun 2017  telah bertentangan dengan dengan Pasal 24 ayat (2) UU Keuangan Negara yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut:

(1) Pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/penyertaan modal kepada dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah.

(2) Pemberian pinjaman/hibah/penyertaan modal dan penerimaan pinjaman/hibah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN/APBD.

Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UU Keuangan Negara tersebut, diatur secara jelas bahwa penyertaan modal negara kepada BUMN mensyaratkan ditetapkan terlebih dahulu dalam APBN.

Hal ini tidak hanya berlaku pada saat penyertaan modal negara yang dilakukan dengan mengambil harta yang bersumber dari kekayaan negara atau pada saat perubahan bentuk dari kekayaan negara menjadi kekayaan negara yang dipisahkan dalam bentuk saham yang ditempatkan pada BUMN, namun juga berlaku bagi penyertaan modal yang berasal dari pengalihan saham negara pada BUMN kepada BUMN lainnya.

Dengan tetap memperhatikan bahwa pada saat kekayaan negara  berubah bentuk menjadi kekayaan negara yang dipisahkan bertransformasi menjadi saham negara pada BUMN yang dikelola secara korporasi yang sehat (good corporate governace) maka,  ada perubahan bentuk pengelolaan bukan lagi dalam lingkup hukum publik tapi hukum privat. Namun apabila saham milik negara pada sebuah BUMN tersebut dilakukan pengalihan kepada badan hukum (BUMN) lain dan berakibat pada transfer kepemilikan yang juga berakibat hukum atas status BUMN dan kekayaan BUMN, maka harus ditetapkan dalam APBN sebagaimana amanat Pasal 24 ayat (2) UU Keuangan Negara.

Pemerintah sebagai pemegang saham pada BUMN tidak bisa memindahkan dan mengalihkan secara sepihak saham negara pada BUMN kepada BUMN lainnya tanpa proses dan penetapan dalam APBN. Penetapan dalam APBN terhadap penyertaan modal negara, baik yang berasal dari keuangan APBN maupun yang berasal dari pengalihan saham negara pada BUMN  merupakan wujud dari prinsip akuntabilitas pengelolaan keuangan/kekayaan negara atas keputusan terhadap penyertaan modal negara.

Pentingnya penambahan penyertaan modal negara ditetapkan dalam APBN karena keputusan pengalihan saham Negara pada PT Aneka Tambang (Persero) Tbk, PT Timah (Persero) Tbk, dan PT Bukit Asam (Persero) Tbk kepada PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) berakibat pada hilangnya status BUMN pada ketiga BUMN tersebut yang juga berakibat hukum dan status keuangan. Dengan demikian, pengalihan seluruh saham negara pada PT Aneka Tambang (Persero) Tbk, PT Timah (Persero) Tbk, dan PT Bukit Asam (Persero) Tbk kepada PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) merupakan keputusan strategis tentang pengelolaan keuangan negara yang harus ditetapkan dalam APBN agar dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara yang baik.

Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UU Keuangan Negara secara tegas dan tidak ada klausula pengecualian serta tidak ada ketentuan lain yang mengatur atau membolehkan bahwa penyertaan modal yang berasal dari pengalihan saham negara pada BUMN kepada BUMN lainnya dapat tanpa melalui APBN. Jadi berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UU Keuangan Negara seluruh kegiatan penyertaan modal negara harus ditetapkan  dalam APBN tanpa terkecuali.

Sehingga pemerintah tidak bisa melakukan tafsir lain bahwa penyertaan modal negara baik yang berasal dari kekayaan negara maupun yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan dalam bentuk saham negara di BUMN harus tetap  terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN. Kecuali DPR RI dan Pemerintah melakukan perubahan terhadap UU Keuangan Negara tersebut.

Sehingga pelanggaran atas ayat (2) UU Keuangan Negara berpotensi menimbulkan kerugian negara, sehingga perbuatan penyertaan modal dengan pengalihan saham berpotensi menjadi tindak pidana korupsi karena telah memenuhi unsur melawan hukum dan terdapat kerugian negara.

Kesimpulan

PP 47 Tahun 2017 masih bertentangan dengan UU Keuangan Negara, kondisi ini tidak terlapas dari PP 72 Tahun 2016 yang menjadi dasar pembentukan PP 47 tahun 2017 mengatur mekanisme berbeda dengan mekanisme yang diatur dalam UU keuangan mengenai penyertaan modal yang harus ditetapkan terlebih dahulu dalam APBN. Sebaiknya pengaturan dalam PP 47 tahun 2017 dilakukan dengan terlebih dahulu merevisi undang-undang keuangan negara pasal 24 ayat 2 dengan memberikan pengecualian terhadap penyertaan modal antara perusahaan negara atau BUMN tidak perlu melalui APBN, sehingga terjadi konsistensi dalam pengaturan antara PP 47 tahun 2017, PP 47 Tahun 2017 dan undang-undang keuangan negara.


[1] Lihat http://mediaindonesia.com/read/detail/134320-saham-pemerintah-di-freeport-dialihkan-ke-inalum

[2]  Lihat. Ibid.