Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP), Aryanto Nugroho menyampaikan bahwa pentingnya mendorong transparansi dalam pengelolaan sumber daya alam sektor energi dan pertambangan. Menurutnya transparansi pengelolaan sumber daya alam ini menjadi sangat penting karena penyelenggaraan kegiatan tata kelola sumber daya alam melibatkan multi stakeholder. Keterlibatan banyak pemangku kepentingan ini terjadi dalam berbagai rangkaian kegiatan sumber daya alam energi dan pertambangan. Oleh sebab itu, menurutnya kita perlu sama-sama mengawal transparansi pengelolaan sumber daya alam.
Hal tersebut disampaikan Aryanto Nugroho saat memberikan materi dalam Pelatihan Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP). Menurut Aryanto Nugroho, membahas terkait dengan desain pengelolaan sumber daya alam maka harus selalu dilakukan adalah merujuk pada dasar pengaturannya, yaitu Pasal 33 UUD NRI 1945. Aryanto Nugroho mengatakan bahwa acuan dalam menyusun regulasi, membuat tata kelola dan kelembagaan pengelolaan sumber daya alam energi dan pertambangan wajib mengacu pada ketentuan Pasal 33 UUD 1945.
Lebih lanjut Aryanto Nugroho menjelaskan bahwa terkait dengan regulasi pengelolaan sumber daya alam energi dan pertambangan saat ini sangat banyak ditemukan bertentangan dengan kehendak Pasal 33 UUD 1945. Baik dari aspek substansi maupun dari proses pembentukannya. Polemik mengenai proses pembentukan Undang-Undang 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja merupakan pertanda bahwa terdapat problem regulai yang cenderung bertentangan dengan kehendak tersebut.
Sementara itu, terkait dengan dimensi tatat kelola, arahnya akan banyak membahas soal transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Ketiga hal tersebut banyak menyangkut mengenai hak. Terkait dengan transparansi, kita akan membahas perihal hak untuk mengetahui atau right to know. Mengenai partisipasi kita akan membahas terkait right to involve, yaitu hak untuk turut terlibat. Adapun mengenai akuntabilitas, kita akan membahas terkait dengan right to claim, yaitu ruang dan kesempatan untuk melakukan pengaduan atau gugatan.
Lebih lanjut, Aryanto Nugroho menjelaskan bahwa ketiga dimensi tata kelola sumber daya alam tersebut harus dijamin sepanjang value chain sumber daya alam tersebut berlangsung. Aryanto Nugroho menegaskan bahwa transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas ini harus dijamin sejak dari proses hulu hingga kegiatan di hilir. Bisnis prosesnya harus benar-benar ada ruang bagi masyarakat untuk mengetahui, terlibat, dan melakukan komplain. Dalam kegiatan pengelolaan sumber daya alam, masyarakat perlu benar-benar diikutsertakan, khususnya warga masyarakat yang terdampak langsung dari kegiatan usaha pertambangan.
Jika ada masyarakat ingin melakukan advokasi atau pemantauan terhadap transparansi mengenai perizinan kegiatan pertambangan, maka yang harus dilakukan di awal adalah merumuskan tujuan apa yang diinginkan dicapai atau dilakukannya perubahan. Kegiatan advokasi tersebut dilakukan dengan cara mengajak kelompok masyarakat agar lebih dahulu memahami apa yang akan dilakukan. Kegiatan advokasi didasari karena ada hak sebagai warga negara dalam berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat serta mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum. Adapun jaminan lainnya yaitu hak dalam atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Dalam melalukan advokasi, kelompok masyarakat sipil memiliki peran yang sangat krusial. Menurut Aryanto Nugroho, pendekatan yang sering kali dilakukan dalam mendorong perubahan dilakukan dengan memberikan atau penyediaan layanan kepada masyarakat, kemudian melakukan advokasi, lalu pengorganisasian dan pengembangan komunitas. Lebih lanjut dikatakan oleh Aryanto Nugroho, bahwa kegiatan advokasi bisa dilakukan dengan berbagai bentuk kreativitas dalam menyuarakan perubahan. Misalnya, PWYP bersama kelompok masyarakat sipil melakukan advokasi dalam bentuk membuat film dokumenter. Film tersebut berjudul Ibu Bumi, sebuah dokumenter pendek tentang lingkungan yang menyoroti partisipasi generasi muda petani Kendeng melawan pabrik semen. Film tersebut kemudian meraih penghargaan Piala Citra sebagai film dokumenter pendek terbaik di Festival Film Indonesia tahun 2020.
Aryanto Nugroho menambahkan saat ini berbagai problem transparansi masih ditemukan sepanjang kegiatan rantai pengelolaan sumber daya alam. Problem tersebut dapat dijumpai sejak dalam proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta proses penegakan hukumnya. Lebih lanjut, Aryanto Nugroho memaparkan bahwa dalam melakukan advokasi, kelompok masyarakat perlu dibekali dengan pedoman tertentu, misalnya Modul Penguatan Kapasitas Masyarakat dalam Mengakses Informasi. Hal ini dimaksudkan agar supaya gerakan yang dilakukan masyarakat tepat sasaran dan memiliki parameter keberhasilan dalam mendorong terjadinya perubahan.