Beranda Berita

Beberapa Pasal UU Minerba yang Dinilai Hanya Meguntungkan Pengusaha

1350

Indonesiainside.id, Jakarta – DPR RI meresmikan Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba) menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna hari ini, Selasa (12/5). Pandemi Covid-19 dan pembatasan sosial berskala sosial (PSBB) tak menyurutkan langkah parlemen agar beleid baru sektor minerba itu tuntas secepatnya.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Bisman Bhaktiar memandang, ketergesa-gesaan parlemen terhadap RUU Minerba karena masalah perpanjangan izin usaha pertambangan (IUP). Lewat beleid ini, pemerintah bisa memberikan jaminan perpanjangan pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang akan habis masa kontraknya menjadi IUPK.

“Pasti untuk PKP2B, kalau yang lain lain masih bisa ditunda, apalagi masih masa covid-19 ini kan. Betul bahwa undang-undang minerba perlu direvisi, tetapi tidak mendesak,” ujarnya saat berbincang dengan Indonesiainside.id, Selasa (12/5).

Dalam RUU Minerba disebutkan bahwa kontrak atau perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan dua kali perpanjangan dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian. Perpanjangan diberikan selama 10 tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.

Ekonom Faisal Basri dalam diskusi daring April silam menyatakan bahwa RUU Minerba hanya memberikan karpet merah, angin segar bagi para pengusaha pertambangan.  Dia bilang ada enam PKP2B generasi pertama yang akan habis masa kontraknya pada tahun ini dan tahun-tahun berikutnya, keenamnya menguasai hampir 70persen produksi nasional.

“Kalau 2025 kan reazim sudah berubah, jadi 2020 sudah bisa diurus perpanjangannya. Luar biasa ini sistemik massif. Keenam perusahan ini menguasai hampir 70persen produksi nasional, keenam PKP2B ini menguasai dan juga luar biasa kemampuan lobinya untuk kepentingan pertambangan batu bara,” tutur Faisal.

Publik juga menyoroti beberapa pasal yang dianggap hanya memberi keuntungan kepada pengusaha dan tak berpihak pada ketahanan sumber daya alam nasional. Misalnya, pada Pasal 169 A, pemerintah menjamin perpanjangan para pemegang KK dan PKP2B menjadi IUPK. Pada UU Minerba lawas, pasal itu hanya menyebutkan bahwa KK dan PKP2B yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian.

Mereka dapat memperpanjang secara otomatis operasionalnya selama 2 x 10 tahun tanpa melalui penetapan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang, dilanjutkan dengan pelelangan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). Perusahaan pemegang Izin usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pun dapat mengajukan permohonan wilayah penunjang pertambangan di luar konsesi perusahaan itu sendiri.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia lewat surat terbuka atas nama Rakyat Indonesia menilai Perpanjangan otomatis bagi pemegang izin PKP2B tanpa pengurangan luas wilayah dan lelang yang merupakan fasilitas mewah bagi enam perusahaan raksasa batu bara. Mereka adalah Kaltim Prima Coal, Arutmin, Kideco Jaya Agung, Multi Harapan Utama, Berau Coal dan ADARO yang akan habis masa kontraknya di tahun ini dan tahun depan.

“Dengan pasal-pasal dalam draf RUU Minerba tersebut mereka akan terus menikmati kemewahan luas lahan, kemegahan produksi energi maut batu bara dan fasilitas lainnya saat masih berada dalam sirkuit aturan rezim kontrak,” kata Walhi dalam surat terbukanya, Selasa (12/5).

Kemudian, adanya definisi Wilayah Hukum Pertambangan yang akan mendorong eksploitasi tambang besar-besaran, bukan hanya di kawasan daratan tetap juga lautan yang bertentangan UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.  Reklamasi dan Pascatambang dimungkinkan untuk tidak dikembalikan sebagaimana rona awal. Termasuk lubang tambang akhir dimungkinkan tidak ditutup seluruhnya.

Publik juga menyoroti dihapusnya pasal 165 tentang sanksi pidana bagi pelanggaran penerbitan izin usaha pertambangan. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) misalnya, menyebut penghapusan pasal ini bisa membuat para pejabat pembuat keputusan terlindungi dan berpotensi terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan bertentangan dengan undang-undang.

Lalu re-sentralisasi kewenangan ke Pemerintah Pusat tanpa mempertimbangan kapasitas Pemerintah Pusat dalam membina dan mengawasi. Serta abai terhadap kepentingan Pemerintah Daerah. Kondisi ini membuat pemda kehilangan pendapatan dan sulit melakukan pangawasan.(EP)