Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 18 Februari 2015 telah menjatuhkan putusan bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku karena bertentangan dengan konstitusi UUD Negara RI Tahun 1945. Putusan MK yang merupakan jawaban atas tuntutan yang diajukan oleh PP Muhammadiyah tersebut telah membuka akses masyarakat terhadap sumber daya air, yang sebelumnya dimonopoli dan dikuasai sektor swasta tertentu. Putusan ini, selain telah sesuai dengan konstitusi juga senafas dengan apa yang dinginkan oleh Muhammad Hatta salah satu founding leaders Indonesia yang mengemukakan bahwa sesuai dengan cita-cita yang tertanam dalam Pasal 33 UUD 1945 ialah produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh Pemerintah.
Putusan pembatalan UU No. 7 Tahun 2004 meneguhkan kembali penguasaan negara terhadap air sebagai salah satu sumber daya alam. Dengan pengelolaan secara langsung oleh negara (BUMN dan BUMD), maka dipastikan seluruh hasil dan keuntungan yang diperoleh akan masuk menjadi keuntungan negara yang secara tidak langsung akan membawa manfaat lebih besar bagi masyarakat dan pelayanan air kepada masyarakat oleh negara akan tertunaikan secara maksimal seperti, penyediaan air baku, air untuk irigasi pertanian, air untuk kebutuhan rumah tangga, dan air untuk industri.
Penyerahan pengelolaan air kepada sektor swasta atau di luar negara seperti yang tercermin dalam UU No. 7 Tahun 2004, telah membawa dampak buruk terhadap pelayanan air kepada masyarakat. Selain itu, undang-undang tersebut juga telah memperparah tingkat krisis dan memperluas konflik perebutan sumber daya air di tengah-tengah masyarakat. Tidak jarang juga melahirkan konflik terbuka antara masyarakat dengan swasta yang menguasai sumber daya air.
Substansi Permohonan
Awalnya permohonan pengujian UU No. 7 Tahun 2004 hanya dikhususkan pada: Pertama, Pasal 5; Kedua, Pasal 6; Ketiga, Pasal 7; Keempat, Pasal 8; Kelima, Pasal 9; Keenam, Pasal 10; Ketujuh, Pasal 26; Kedelapan, Pasal 29 ayat (2) dan ayat (5); Kesembilan, Pasal 45; Kesepuluh, Pasal 46; Kesebelas, Pasal 48 ayat (1); Keduabelas, Pasal 49 ayat (1); Ketigabelas, Pasal 80; Keempatbelas, Pasal 91; dan Kelimabelas, Pasal 92 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3). Namun ketika sidang pendahuluan, majelis hakim memberikan nasehat agar PP Muhammadiyah selaku pemohon dapat memohon agar keseluruhan Pasal dalam UU No. 7 Tahun 2004 dibatalkan keseluruhannya atau dicabut, sehingga dalam perbaikan permohonan PP Muhammadiyah salah satu poinnya meminta pencabutan UU No. 7 Tahun 2004.
Dalam permohonan tersebut, PP Muhammadiyah menganggap kelimabelas pasal yang disebutkan di atas bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945: “(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal-pasal yang diuji telah memberikan ruang seluas-luasnya bagi swasta (badan usaha dan individu) untuk menguasai sumber daya air. Pemberian hak kepada swasta untuk menguasai sumber daya air terutama melalui izin Hak Guna Usaha. Hak Guna Usaha menjadi instrumen baru yang menentukan hak pengusahaan atas sumber-sumber air yang ada.
Putusan Terdahulu dan Latar Belakang Lahirnya UU Nomor 7 Tahun 2004
Mahkamah Konstitusi sesungguhnya sudah pernah memberikan padoman (guidance) bagaimana seharusnya UU No. 7 Tahun 2004 ditafsirkan dan dijalankan oleh pemerintah, yang telah tertuang dalam Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Putusan Nomor 008/PUU-III/2005. Dalam kedua putusan tersebut, MK telah memberikan tafsir dan pendapat bahwa pemerintah mempunyai kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak masyarakat atas air. Untuk itu Pemerintah haruslah mengutamakan pemenuhan hak asasi atas air dibandingkan dengan kepentingan lain, karena hak asasi atas air adalah hak yang utama.
Hasil putusan Mahkamah Konstitusi tersebut ternyata tidak dijalankan dengan sunguh-sunguh oleh pemerintah, yang prakteknya menimbulkan liberalisasi izin kepada swasta terutama perusahaan asing, baik itu berupa izin atas hak guna usaha air maupun izin pengusahaan sumber daya air yang menutup akses masyarakat terhadap air.
Harus diakui sejak awal kelahiran UU No. 7 Tahun 2004, masyarakat sudah sangat menentang karena dinilai kebijakan ini hasil tekanan kuat Bank Dunia dan Internasional Monetary Fund (IMF) kepada pemerintah. Tekanan ini membuat pemerintah tak berdaya, sebab jika ditolak, maka dana bantuan untuk menghadapi krisis gagal dikucurkan. Padahal pemerintah waktu itu sebenarnya juga sadar bahwa substansi UU No. 7 Tahun 2004 melegalkan rezim privatisasi dan komersialisasi air.
Secara konsepsional, ada beberapa bentuk pengalihan kepemilikan/penguasaan atas air yang dapat disebut privatisasi: Pertama, outsourcing, artinya lembaga pemerintahan melimpahkan sebagian kewajibannya kepada pihak ketiga. Kedua, Design, Build, Operate (DBO) berupa negosiasi kontrak terhadap pihak swasta untuk pekerjaan desain dan konstruksi, seringkali diiringi dengan peremajaan dan peningkatan fasilitas. Ketiga, Kemitraan publik-privat, yang merujuk pada persetujuan antara pemerintah lokal dengan organisasi swasta, di mana kedua pihak membagi tugas dan tanggung jawab secara relatif seimbang.
Pergeseran Makna Air
UU No. 7 Tahun 2004 telah melegalkan keterlibatan pihak swasta dalam proses pengelolaan air tanpa kendali dan pengawasan (privatisasi). Hal ini tentu masalah sangat serius karena menggeser makna air yang sebelumnya merupakan barang publik berubah menjadi komoditas yang lebih mementingkan aspek ekonomi yang akhirnya berorientasi pada mencari keuntungan (profit). Pergeseran makna ini terlihat dalam pengaturan mengenai hak guna usaha air yang dapat diberikan kepada swasta tanpa kendali dan pengawasan.
Air sering diperlakukan seakan-akan merupakan sumber daya yang melimpah dan tak ada habisnya, yang karenanya sering disia-siakan. Sementara di sisi lain air kini telah menjadi potensi konflik yang nyata, dan kasus kelangkaan air merebak di berbagai daerah, terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Sulitnya akses air dan kekeringan yang melanda berbagai daerah serta pesatnya pertumbuhan penduduk makin membuat air menjadi barang mewah. Bahkan sejak tahun 2009, PBB telah menegaskan bahwa telah terjadi krisis air yang parah, sehingga negara-negara harus ikut serta dalam gerakan transboundary water, yaitu saling berbagi air antar negara.
Langkah Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No. 7 Tahun 2004 telah tepat demi mengantisipasi kejadian buruk seperti yang pernah dialami Argentina (1993), di mana hampir semua perusahaan air yang dimiliki negara dijual atau diberikan ke sektor swasta untuk mengelola, yang dikenal dengan Buenos Aires Water Concession.
Privatisasi air oleh pemerintah juga terlihat dalam salah satu instrumen hukum yang digunakan pemerintah, yaitu dalam Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Pasal 1 butir 9: ”Penyelenggara pengembangan SPAM adalah BUMN/BUMD, koperasi, badan usaha swasta, atau kelompok masyarakat”. Padahal, Pasal 40 Ayat (2) dan (3) UU No. 7 Tahun 2004 tegas dinyatakan pengembangan SPAM adalah tanggung jawab pemerintah pusat/pemerintah daerah, sehingga penyelenggaranya adalah BUMN atau BUMD.”
Ketentuan di atas memperlihatkan bahwa pemerintah ingin melepaskan diri dari tanggung jawab secara mutlak terhadap penyediaan air minum untuk rakyatnya dengan memberikan ruang luas kepada sektor swasta dalam pengelolaan air minum dan dalam pengembangan penyediaan air minum. Hal ini sekali lagi tentu akan mengubah makna air yang sebelumnya barang publik yang pemenuhannya merupakan kewajiban pemerintah menjadi air sebagai komoditas ekonomi dimana hanya orang-orang tertentu yang dapat mengaksesnya.
Ruang yang terbuka untuk melakukan privatisasi air juga ditemukan dalam Pasal 26 ayat (7) dan Pasal 80 ayat (1) dan ayat (3) UU No. 7 Tahun 2004 yang menyebutkan pihak-pihak pengguna air dapat dikenakan biaya jasa penyediaan air. Hal ini berarti pengguna air untuk kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian yang diperoleh dari saluran distribusi yang disediakan swasta tetap dituntut untuk membayar. Desain UU No. 7 Tahun 2004 telah melahirkan mindset pengelolaan air yang selalu berorientasi keuntungan (profit oriented) yang secara fundamental merekonstruksi nilai air yang merupakan barang publik (common good) menjadi komoditas ekonomi (commercial good) yang dapat dikuasai sekelompok individu dan badan usaha. Hal ini sangat mengangkangi dan menghianati eksistensi Pasal 33 UUD 1945 yang telah mengamanahkan penguasaan sumber daya alam termasuk air sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Jadi, Putuan MK yang telah membatalkan seluruh UU Sumber daya Air adalah putusan yang fenomenal yang patut disambut antusias oleh rakyat. MK telah mengembalikan air kepada rakyat dan MK telah pula kembali mengalirkan air untuk menyegarkan sendi-sendi kehidupan seluruh rakyat. Selanjutnya, pemerintah harus konsisten dan konsekuen untuk menindaklanjuti dan melaksanakan putusan MK ini dengan mengambil kembali sumber-sumber air yang telah diberikan/dikuasakan kepada pihak swasta tertentu. Pemerintah (bersama DPR RI) juga harus segera menyiapkan undang-undang baru sebagai pengganti UU Sumber Daya Air yang telah dibatalkan ini dengan merumuskan sebuah undang-undang yang benar-benar sesuai dengan konstitusi dan berorientasi pada kepentingan rakyat, bangsa dan negara.