Jakarta, PUSHEP – Ketua Bidang Energi dan Pertambangan Majelis Nasional Kahmi, Ismet Djafar, menilai lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terlalu cepat dan dipaksakan. Pasalnya pembahasan daftar inventarisasi masalah terhadap beleid tersebut sebelum kemudian ditetapkan oleh DPR RI pada sidang Paripurna 12 Juni 2020 lalu tak lebih dari dari dua minggu.
“Selain itu, konstitusionalitas revisi atas Undang-Undang Minerba ini perlu dipersoalkan, karena didalamnya banyak pasal yang melenceng atau tidak sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 khususnya ayat (2) dan ayat (3)” tegas Ismet saat berbicara dalam diskusi interaktif virtual bertajuk “Catatan Kritis atas Revsisi Undang-Undang Minerba”, Kamis (25/6).
Beberapa pasal yang mengandung persoalan diantaranya ketentuan mengenai ditariknya seluruh perizinan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Menurut Ismet penarikan kewenangan ini menjadikan UU Nomor 3 Tahun 2020 seperti UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan, perbedaanya hanya pada rezim kontrak yang berubah menjadi rezim izin.
Lebih dari itu, persoalan lain terkait perizinan adalah UU Minerba yang baru ini tidak menyelesaikan persoalan mengenai pemberian izin smelter. Pasalnya kedua kementerian, yakni kementerian ESDM dan Kementeran Perindustrian masih sama-sama diberikan kewenaangan untuk menerbitkan izin.
“Bedanya hanya kalau smelternya terintegrasi dengan tambang, maka izinnya dikeluarkan oleh Kementerian ESDM. Kalau hanya smelternya hanya untuk mengelola saja dan memurnikan izinya dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian” tandasnya.
Lebih lanjut, dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) ini, Ismet juga menyoroti soal jangka waktu izin pertambangan. Dimana Revisi UU Minerba memberikan jaminan adanya kelanjutan operasi Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi IUPK sebagai kelanjutan operasi. Hal ini menurutnya sangat menguntungkan 7 perusahan tambang yang selama ini menguasai pertambangan di Indonesia.
Permasalahan lain yang disoroti Ismet adalah mengenai penguatan peran BUMN yang tidak cukup diatur di dalam UU Minerba baru. Dalam beleid yang ditandatangani oleh Presiden pada 10 Juni 2020 ini, BUMN tidak menjadi prioritas untuk mendapatkan wilayah bekas KK dan PKP2B, BUMN dianggap seperti perusahaan biasa yang jika ingin mendapatkan wilayah bekas usaha pertambangan harus mengikuti prosedur lelang seperti perusahaan lainnya.
Namun demikian, Ismet juga mencatat sejumlah hal positif dalam UU No. 3 Tahun 2020 sebagai peningkatan dari UU sebelumnya, seperti penguatan konsep wilayah pertambangan sebagai jaminan pemerintah untuk tidak mengubah pemanfaatan ruang dan kawasan wilayah izin usaha pertambangan, hal ini tentunya dapat memberi kepastian hukum bagi investor atau pelaku usaha tambang.
“Tapi sayangnya peta standar wilayah pertambangan yang pernah dibuat oleh Kementerian ESDM pada tahun 2017 tidak dibunyikan secara langsung dalam UU ini. Padahal ini merupakan instrumen yang cukup efektif untuk mengotrol agar tidak terjadi tumpang tindih (pemberian izin), termasuk juga mengontrol penerimaan negara” kata Ismet.
Hal positif lainnya yang diakomodir dalam UU Minerba baru, lanjut Ismet, adalah soal isu lingkungan hidup. Menurutnya tardapat beberapa ketentuan dalam UU No. 3 Tahun 2020 yang lebih memperhatikan keberlangsungan lingkungan hidup, seperti kewajiban pelaksanaan reklamasi seratus persen serta adanya sanksi pidana bagi pemegang izin yang tidak melakukan reklamasi.
“Tapi kembali lagi dalam pelaksanaanya, apakah hal ini bisa dilaksanakan secara maksimal atau justru seperti sebelum-sebelumnya. Ini saya kira yang perlu terus kita kawal dan kritisi ” pungkasnya.