Beranda Publikasi Kegiatan

Kebijakan Pengelolaan Pertambangan Minerba Berbasis UUD NRI 1945

1956

Diskursus terkait tata kelola pertambangan mineral dan batubara setelah disahkannya revisi terhadap Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) terus berlanjut. Serangkaian diskusi yang berlangsung terus menerus, baik yang diadakan oleh Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) maupun lembaga lainya, menandakan bahwa UU Minerba banyak mendapatkan sorotan. Sorotan datang dari berbagai kalangan, mulai dari perwakilan organisasi mahasiswa, kelompok masyarakat pegiat pertambangan, pengamat, hingga kalangan ahli pertambangan.

Pada kesempatan kali ini, PUSHEP menghadirkan pembicara Ir Rachman Wiriosudarmo, yang merupakan tokoh senior pertambangan. Diskusi ini mengkaji terkait dengan topik “Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Mineral Berbasis UUD NRI Tahun 1945”, di Jakarta, Senin, 29/06/2020. Selain itu, juga turut hadir rekan sejawat beliau, yaitu Rozik B. Soetjipto dan Mulyanto Soejodibroto, menyampaikan beberapa pandangannya terkait dengan tata kelola pertambangan. Pemaparan yang disampaikan oleh begawan pertambangan memberikan banyak energi sekaligus insight kepada peserta diskusi interaktif.

Rachman Wiriosudarmo menekankan bahwa tata kelola pertambangan minerba harus berdasar pada Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” merupakan pondasi sekaligus orientasi penyelenggaran usaha pertambangan di Indonesia.

Hal menarik yang disampaikan oleh Rachman Wiriosudarmo ialah terkait unsur yang terkandung dalam pasal tersebut, yaitu kata “dikuasai”, “dipergunakan” dan frasa “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Menurutnya, kata “dikuasai” telah banyak dijelaskan oleh ahli hukum yang didasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi, bahwa kata tersebut diartikan sebagai suatu tindakan untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad).

Menurutnya, tafsir tersebut kecenderungannya berorientasi pada pengusahaan pertambangan dan power oriented policy. Bila demikian, hal tersebut relatif dapat menimbulkan chaostic regulation. Suatu keadaan dimana kebijakan seringkali bertentangan secara horizontal maupun vertikal, tidak konsisten, tidak memiliki prinsip, tidak memiliki tujuan bahkan realatif ke arah positivistik.

Uraian selanjutnya, Rachman Wiriosudarmo menjelaskan bahwa kata “dipergunakan” dapat diartikan untuk “kekuasaan” atau “untuk sumber daya mineral”. Kata “dipergunakan” ini, bila dimaknai untuk “kekuasaan”, maka seperti yang dijelaskan sebelumnya dapat menimbulkan situasi chaos. Sementara bila kata “dipergunakan” dimaknai untuk kepentingan sumber daya mineral maka dapat muara kepada resource management oriented policy, ungkapnya.

Rachman Wiriosudarmo mengutip ketentuan dalam Resolusi PBB Tahun 1962, bahwa the right of the people and nation to permanent sovereignty over their natural wealth must be exercised in the interest of their national development and the wellbeing of the people of the state concerned. Menurnya, hal itu senafas dengan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945.

Lebih lanjut, Rachman Wiriosudarmo menjelaskan bahwa penggunaan sumber daya mineral harus didasarkan pada suatu konsep dan strategi agar dapat mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Rachman mencontohkan dalam urairannya, bila mineral diperlakukan sebagai material, maka yang terjadi ialah eksploitasi. Hal tersebut tentu akan berorientasi pada aspek bisnis, mendapatkan uang sebanyak-banyaknya (financial gain). Sementara, bila mineral diperlakukan sebagai sumber daya (resources) maka yang terwujud ialah asset management, suatu proses managemen terhadap asset sumber daya mineral dan tentu akan menghasilkan value management, tuturnya.

Pengembangan nilai sumber daya mineral dapat dilakukan dengan mengacu pada strategi dan konsep. Kata Rachman, strategi pengembangan nilai sumber daya mineral bertujuan untuk mewujudkan suatu bentuk tatanan industrialisasi pertambangan mineral. Untuk mewujudkan itu diperlukan suatu konsep yang disebut value chain development.

Menurutnya, gagasan pengembangan value chain mineral harus dilakukan dengan berbasis pada konstitusi agar Indonesia dapat menjadi negara industri di masa depan. Konsep value chain terdiri atas supply chain, other economic sectors, support industry, mineral processing industry, dan fabricaton and manufacture industry. Keseluruhan sistem tersebut akan berefek pada peningkatan dan pertumbuhan ekonomi, pembangunan manusia, pengembangan sumber daya lokal, dan pengembangan kemampuan tenaga kerja serta pembangunan daerah.

Value chain development hanya dapat terwujud bila pemerintah mempunyai pola pikir dan keinginan politik yang kuat untuk menghadirkan snowball effect atau multiplier effect. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu adanya kerangka kebijakan yang pasti, ucap Rachman.

Pemerintahan sebelumnya, menurut Rachman, pernah memiliki konsep Nawacita yang pada pokoknya mengutamakan kehadiran negara dan pembangunan dari pinggir. Konsep tersebut sebenarnya dapat menjadi salah satu instrumen untuk mewujudkan value chain development yang berorientasi akhir pada model industrialisasi pertambangan mineral