JAKARTA – Kebijakan pemerintah memberikan kelonggaran bea keluar ekspor mineral mentah bagi perusahaan tambang besar dinilai sebagai kebijakan yang inkonstitusional. Apalagi, saat ini, masalah kebijakan ekspor mineral mentah tengah diproses di Mahkamah Konstitusi (MK) dan belum ada keputusan final.
Demikian dikatakan Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), Bisman Bhaktiar, menanggapi kebijakan pemerintah memberikan kelonggaran ekspor mineral mentah bagi perusahaan tambang seperti yang disampaikan oleh Wakil Menteri ESDM, Susilo Siswoutomo, Jumat (23/5) lalu.
“Kebijakan memberikan kelonggaran tersebut bertentangan dengan UU,” tegas Bisman di Jakarta, kemarin.
Dia menjelaskan dalam Undang-Undang (UU) No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, terutama pada Pasal 102, 103, dan 170, sama sekali tidak dicantumkan tentang pelarangan dan perizinan ekspor. Untuk itu, kata dia, jika pemerintah hendak memberikan kelonggaran ekspor, hal pertama yang harus dilakukan adalah merevisi UU Pertambangan, Mineral dan Batubara, terutama pada pasal-pasal yang selama ini disalahtafsirkan oleh pemerintah.
Dia menerangkan jika nantinya diubah, harus ditambahkan dengan ekspor boleh dilakukan setelah memenuhi persyaratan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Di samping itu, dia menilai bahwa kebijakan pemerintah tersebut sangat kental dengan kesan diskriminatif karena hanya diberikan bagi perusahaan tambang besar, sementara perusahaan tambang kecil yang saat ini masih “jatuh bangun” dalam pembangunan smelter tidak diperhatikan. “Saya menduga ada motif tertentu di balik dikeluarkannya kebijakan tersebut,” katanya.
Karena itu, Bisman menyarankan pemerintah meninjau kembali kebijakan pemberian kelonggaran ekspor tersebut. Jika tidak, putusan tersebut, selain mengklasifikasikan perusahaan-perusahaan, tidak mendapat kekuatan hukum.
Sementara itu, Susilo Siswoutomo mengatakan ada lima pertimbangan sehingga perusahaan tambang besar (Freeport, Newmont, dan Vale) mendapatkan kelonggaran ekspor mineral mentah.
Pertimbangan tersebut ialah komitmen dari perusahaan tambang untuk membangun pabrik pemurnian bijih mineral (smelter), adanya perjanjian jual beli atau sales agreement dengan buyer di luar, perusahaan itu telah menyetor jaminan kesungguhan pembangunan smelter, mematuhi bea keluar mineral mentah, dan jumlah yang boleh diekspor sesuai dengan kapasitas yang bisa diolah di smelter yang dibangun.
”Jika perusahaan tambang tersebut dapat memenuhi lima persyaratan tersebut, boleh melakukan ekspor,” katanya. ers/E-3