Tulisan ini merupakan keterangan ahli dalam uji materi ke Mahkamah Agung atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri dan Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2017 Tentang Tatacara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian, pada tahun 2017
UUD NRI 1945 telah diamandemen sebanyak empat tahap. Satu hal yang menarik adalah kenyataan bahwa tidak ada yang mempersoalkan Pancasila atau mengusulkannya untuk dijadikan bagian dari program reformasi. Tidak ada yang menginginkan agar Pancasila diganti dengan ideologi lain justru hampir semua mengusulkan agar reformasi itu diorientasikan pada upaya mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam berbagai bidang kehidupan. Mengapa Pancasila tidak pernah dan tidak akan pernah diganggu gugat dalam posisinya sebagai dasar dan ideologi negara? Menurut Mahfud MD[1], ada dua alasan pokok yang menyebabkan Pancasila tidak diganggu gugat. Pertama, Pancasila sangat cocok dijadikan platform kehidupan bersama bagi bangsa Indonesia yang sangat majemuk agar tetap terikat erat sebagai bangsa yang bersatu. Kedua, Pancasila termuat dalam Pembukaan UUD NRI 1945 yang di dalamnya ada pernyataan kemerdekaan oleh bangsa Indonesia sehingga jika Pancasila diubah maka berarti Pembukaan UUD NRI 1945 pun diubah. Jika Pembukaan UUD NRI 1945 diubah maka kemerdekaan yang pernah dinyatakan (di dalam Pembukaan itu) dianggap menjadi tidak ada lagi sehingga karenanya pula negara Indonesia menjadi tidak ada atau bubar. Dalam kedudukannya sebagai perekat atau pemersatu, Pancasila telah mampu memosisikan dirinya sebagai tempat untuk kembali jika bangsa Indonesia terancam perpecahan.
Berdasarkan kedua alasan tersebut di muka, maka pembangunan hukum di Indonesia sudah seharusnya tetap menjadikan Pancasila sebagai paradigmanya, terlepas dari apakah hukum itu determinan atas politik ataukah sebaliknya subordinated oleh politik. Hukum harus bersumberkan pada Pancasila. Materi-materi atau produk hukum dapat senantiasa berubah dan diubah sesuai dengan perkembangan zaman dan perubahan masyarakat karena hukum itu tidak berada pada situasi vakum. Dapat pula dikatakan bahwa hukum sebagai pelayan kebutuhan masyarakat harus diperbaharui agar aktual dengan kebutuhan masyarakat yang dilayaninya, dan dalam pembaruan hukum yang terus menerus itu, Pancasila tetap harus menjadi kerangka berpikir dan sumber-sumber nilainya.
Sebagai paradigma dalam pembaruan tatanan hukum, Pancasila dapat dipandang sebagai ”cita hukum”[2] maupun sebagai ”staatfundamentalnorm” (Nawiasky) atau sebagai ”grundnorm” (Hans Kelsen). Dalam hal ini penulis lebih memilih istilah ”grundnorm” dengan dalih seperti telah diungkapkan pada pembahasan tentang Pancasila sebagai Grundnorm di muka. Sebagai cita hukum, Pancasila dapat memiliki fungsi konstitutif maupun fungsi regulatif. Dengan fungsi konstitutifnya, Pancasila menentukan dasar suatu tata hukum yang memberi arti dan makna bagi hukum itu sendiri sehingga tanpa dasar yang diberikan oleh Pancasila itu hukum akan kehilangan arti dan maknanya sebagai hukum. Dengan fungsi regulatifnya, Pancasila menentukan apakah suatu hukum positif sebagai produk itu adil ataukah tidak adil. Selanjutnya sebagai grundnorm, Pancasila yang menciptakan konstitusi menentukan isi dan bentuk berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang seluruhnya tersusun secara hierarkis. Dalam susunan hierarkis ini Pancasila menjamin keserasian atau tiadanya kontradiksi antara berbagai pertauran perundang-undangan baik secara vertikal maupun horizontal. Ini menimbulkan konsekuensi bahwa jika terjadi ketidakserasian atau pertentangan (inkonsistensi) antara satu norma hukum dengan norma hukum yang secara hierarkis lebih tinggi, apalagi dengan Pancasila, berarti terjadi inskonstitusionalitas dan ketidaklegalan (illegality) dan karenanya norma hukum yang lebih rendah itu menjadi batal dan harus dibatalkan demi hukum.
Selanjutnya Mahfud MD menyatakan bahwa sebagai paradigma pembangunan hukum, Pancasila memiliki sekurang-kurangnya empat kaidah penuntun yang harus dijadikan pedoman dalam pembentukan dan penegakan hukum di Indonesai, yakni sebagai berikut:[3]
- Hukum harus melindungi segenap bangsa dan menjamin keutuhan bangsa dan karenanya tidak boleh ada hukum yang menanamkan benih disintegrasi.
- Hukum harus menjamin keadilan sosial dengan memberikan proteksi khusus bagi golongan lemah agar tidak tereksploitasi dalam persaingan bebas melawan golongan yang kuat.
- Hukum harus dibangun secara demokratis sekaligus membangun demokrasi sejalan dengan nomokrasi (negara hukum).
- Hukum tidak boleh diskriminatif berdasarkan ikatan primordial apa pun dan harus mendorong terciptanya toleransi beragama berdasarkan kemanusiaan dan keberadaban.
Tipologi pembangunan ekonomi secara garis besar dapat dirumuskan ke dalam dua bentuk utama, yaitu Model Ekonomi Berencana[4] dan Model Ekonomi Pasar[5]. Pada masing-masing model, peran dan fungsi hukum mempunyai karakter yang spesifik. Dengan sistem ekonomi berencana, hukum berfungsi sebagai acuan bagi model perkembangan ekonomi yang dicita-citakan. Dengan perkataan lain, hukum merupakan ”legal framework of economic policy”. Dalam hal ini hukum berada di atas (mendahului) perkembangan ekonomi. Berbeda dengan sistem ekonomi pasar, yang menempatkan hukum sebagai perangkat yang memberikan jaminan hukum terhadap setiap perkembangan hubungan hukum dalam masyarakat. Hukum lebih berfungsi sebagai ”a tool of social control”. Oleh karena itu kedudukan hukum berada di bawah (mengikuti) perkembangan ekonomi. Secara historis, kedua model sistem ekonomi pernah dan/atau masih dianut di Indonesia. Penerapan kedua model sistem ekonomi dalam pembangunan sekarang telah menempatkan hukum sebagai instrumen rekayasa sosial sekaligus menjadi instrumen pengendali masyarakat. Pendek kata hukum dapat berperan sebagai ”agent of development”.
Melalui hukum pemenuhan kebutuhan manusia yang tidak terbatas akan diatur dengan cara bagaimana memanfaatkan, mengolah dan mengalokasikan sumber daya yang sifatnya terbatas. Meskipun sumber daya tersebut terbatas, namun mempunyai alternatif penggunaan. Manusia sebagai pelaku ekonomi harus melakukan pilihan dalam menggunakan sumber daya tersebut. Dalam ilmu ekonomi, masalah pilihan ini meliputi beberapa hal penting yaitu:[6] (1) Apa (whathowfor whomfalsafah atau pandangan hidup yang biasanya tercermin pada sistem ekonomi yang dianut suatu bangsa. Dasar filosofi sistem ekonomi Indonesia seharusnya berbeda dengan dasar filosofi negara lain yang berbeda pandangan hidupnya. Apabila menggunakan sila-sila Pancasila sebagai paradigma atau dasar orientasi kegiatan ekonomi, maka dapat diartikan bahwa Ekonomi Pancasila adalah ekonomi yang berorientasi pada:
- Ketuhanan Yang Maha Esa, yakni mengenal etik dan moral agama, bukan materialisme;
- Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, yakni tidak mengenal pemerasan dan eksploitasi manusia. Manusia harus dipandang sebagai ”somebody” bukan ”something”;
- Persatuan Indonesia, yang mencerminkan kekeluargaan, kebersamaan, nasionalisme dan patriotisme ekonomi;
- Kerakyatan, yakni mengutamakan ekonomi rakyat dan hajat hidup orang banyak, cerminan dari demokrasi ekonomi;
- Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yakni mengutamakan kemakmuran masyarakat bukan kemakmuran orang per orang.
Sebagai landasan konstitusional Sistem Ekonomi Indonesia adalah Pasal 33 UUD NRI 1945. Ayat (1) menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Disusun, di sini maknanya direncanakan (sehingga menganut sistem perencanaan atau ekonomi berencana, bukan ekonomi pasar), yang dilakukan oleh rakyat. Sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, maknanya produksi dilakukan oleh kita, dari kita bukan dari kita untuk kamu. Ini cerminan demokrasi ekonomi. Bangun usaha yang cocok dengan semangat ini adalah koperasi. Ayat (2) menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Ini menunjukkan peranan Pemerintah, yakni hanya untuk cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak saja yang dikuasai negara, sedangkan yang tidak penting dan tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh dikuasai oleh swasta atau koperasi. Ayat (3) menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ini cerminan penggunaan sumber daya untuk kesejahteraan bersama bukan untuk kelompok atau orang perorang. Ayat (4) memuat ketentuan bahwa penyelenggaraan perekonomian nasional didasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Ayat (4) merupakan hasil amandemen UUD NRI 1945 yang keempat.
Sistem Ekonomi Indonesia sering disebut dengan istilah Sistem Ekonomi Pancasila yang selanjutnya disingkat SEP. Gagasan SEP mula-mula dilontarkan oleh Emil Salim yang juga beberapa tahun menjabat sebagai wakil ketua badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan menteri di dua Departemen, yaitu Departemen Perhubungan dan Departemen Kependudukan dan Lingkungan Hidup.[7] Di Indonesia, pada masa sesudah kemerdekaan, tidak pernah disebut SEP, namun dalam UUD NRI 1945, dicantumkan pasal-pasal yang berkaitan dengan sistem ekonomi yang intinya ditulis dalam Pasal 33, dan aspek-aspek lain, yang sifatnya politik dicantumkan pada Pasal 23 (mengenai hak budget Dewan Perwakilan Rakyat) dan yang sifatnya sosial tercantum dalam Pasal 27 ayat 1(mengenai kesempatan kerja dan tingkat hidup), dan Pasal 34 mengenai jaminan sosial terhadap fakir miskin dan anak-anak terlantar yang menjadi tanggung jawab negara. Bahkan, untuk mewujudkan Pasal 34 tersebut dibentuk Departemen Sosial. Pasal-Pasal itulah dan kini rumusan dalam Pembukaan UUD NRI 1945 yang merupakan nilai-nilai keutamaan (virtue), merupakan dasar-dasar pemikiran mengenai apa yang baru pada tahun 1966 dan dikukuhkan kembali pada tahun 1979 disebut oleh Emil Salim sebagai Sistem Ekonomi Pancasila (SEP).[8] SEP adalah sistem yang terbuka, artinya terbuka bagi gagasan-gagasan baru.[9] Pada tahin 1980 sejumlah ekonom, terutama dari Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM), menyempurnakan gagasan itu menjadi konsep Ekonomi Pancasila (EP). Pada waktu itu ditambahkan konsep-konsep epistemologi dan aksiologi, terutama oleh Dr. Sarino Mangunpranoto.[10] Sumbangan pemikiran lain datang dari Sri Edi Swasono dengan pemikiran-pemikiran strukturalisme, walaupun ia lebih banyak menggunakan istilah ”Demokrasi Ekonomi”.[11] Dengan tema Demokrasi Ekonomi dan Ekonomi Kerakyatan, sumbangan pemikiran juga diberikan oleh Sritua Arief. Pemikir-pemikir inilah yang banyak membahas isu-isu kontemporer Ekonomi Pancasila, khususnya berkaitan dengan strategi pembangunan. Sritua Arief banyak membahas isu-isu mengenai hutang luar negeri, penanaman modal asing, peranan IMF dan Bank Dunia yang berusaha mendikte kebijaksanaan ekonomi Indonesia.[12] Mubyarto juga membahas beberapa isu kontemporer, misalnya masalah globalisasi, privatisasi dan paham Neo-liberalisme yang berlawanan dengan prinsip populisme, tantangan otonomi daerah dan ekonomi kerakyatan.
Dilema SEP sekarang sebenarnya Indonesia berada di simpang jalan. Sejak tahun 1983, perekonomian mengalami proses liberalisasi, terutama di sektor moneter dan baru terbatas di sektor riil. Tetapi pada masa reformasi, di bawah tekanan IMF, terjadi liberalisasi di sektor riil, di samping sektor moneter yang terus berjalan, ditandai dengan UU Bank Indonesia yang menetapkan Independensi Bank Sentral. Di atas itu, pada masa reformasi ini , perekonomian sangat dipengaruhi oleh faham Neo-liberal, namun struktur ekonomi yang didukung oleh sektor negara relatif masih cukup kuat, walaupun sektor negara ini mengandung banyak kelemahan dan persoalan, sehingga berada dalam situasi ”under attack” (dikritik terus menerus). Di bawah tekanan pengarus fahan Neo-liberalisme, pada tahun 2002 timbul usaha-usaha untuk menggantikan seluruh pasal-pasal ekonomi dalam UUD NRI 1945, yang menjadi dasar-dasar SEP. Namun, upaya untuk menggantikan Pasal 33 dengan sistem ekonomi pasar tidak berhasil dan telah terjadi penambahan pada Pasal 34 dengan pasal-pasal kesejahteraan sosial. Sungguh pun demikian, dengan dihilangkannya Penjelasan Pasal 33, maka pasal ini menjadi terkebiri, terutama menyangkut konsep demokrasi ekonomi dan kedudukan koperasi dalam perekonomian nasional. Seandainya telah terjadi penghapusan pasal-pasal ekonomi UUD NRI 1945 tersebut, maka SEP akan kehilangan dasar pijakan, sehingga konsep SEP akan berakhir. Kemungkinan ini masih dalam proses reformasi konstitusi yang mungkin saja akan timbul kekuatan yang ingin menggantikan pasal-pasal ekonomi UUD NRI 1945.
D. Relasi Antara Pancasila, UUD NRI 1945 dan Peraturan Perundang-Undangan Lainnya Dalam Kasus Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam Hak Ulayat, yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu tingkatan yang mengenai seluruh wilayah negara.[13] Sumber-sumber alam yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa merupakan sebuah amanat, berupa beban tugas untuk mengelolanya dengan baik. Tugas-tugas mengelola berupa mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah dan sumber daya alam lainnya menurut sifatnya termasuk bidang hukum publik.[14] Tugas ini tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh seluruh Bangsa Indonesia tetapi dikuasakan kepada Negara Republik Indonesia, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Pemberian kuasa tersebut dituangkan oleh wakil-wakil Bangsa Indonesia pada waktu dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945 dengan kata-kata: Ayat (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negaradikuasai[15] oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat.
Founding fathers Indonesia telah berusaha menerjemahkan sila-sila Pancasila ke dalam pasal-pasal UUD NRI 1945. Begitu pula sila ke-5, Keadilan sosial bagi seluruh Indonesia yang diterjemahkan antara lain melalui Pasal 33 UUD NRI 1945. Meskipun UUD NRI 1945 dari tahun 1999 sampai tahun 2002 telah dilakukan empat kali amandemen, tetapi isi Pasal 33 asli yang terdiri dari 3 ayat secara utuh masih tetap, terdapat tambahan ayat (4) dan ayat (5). Sistem perekonomian nasional Indonesia tetap berlandaskan pada bunyi Pasal 33 UUD NRI 1945, bukan pada sistem ekonomi liberal kapitalistik atau sosialis komunis. Secara ideal Indonesia tidak condong pada pemihakan ekstrem kolektivitas maupun individualitas. Terhadap tidak adanya perubahan Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) adalah untuk menghormati founding fathers karena sebetulnya ayat (1), (2) dan (3) itu berbasis kepada ekonomi kerakyatan, yang dimakmurkan adalah masyarakat, rakyat yang diutamakan bukan orang perorang. Bukan untuk keadilan individu tetapi untuk keadilan sosial.
Pasal 33 UUD NRI 1945 terdapat pada Bab XIV yang diberi judul ”Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial”. Pasal 33 bersama Pasal 34 berusaha sebagai landasan pengembangan perekonomian nasional demi terwujudnya kesejahteraan sosial sebagai cermin atau penafsiran sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Konsekuensi lanjutan yang harus dilakukan adalah menciptakan sistem peraturan perundang-undangan yang konsisten terhadap suasana kebatinan[16] (geistlichen hintergrund) Pasal 33 khususnya terhadap upaya pengelolaan sumber daya alam seperti yang dimanatkan oleh para pendiri negara. Pasal 33 secara utuh hendaknya dipakai sebagai dasar pertimbangan untuk pembuatan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan sumber daya alam (listrik, gas, minerba, bumi dan air), sehingga politik hukum HMN atas sumber daya alam pun seharusnya juga berdasar pada pemikiran yang demikian.
Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) UUD NRI 1945 adalah dasar dari demokrasi ekonomi atau sebagai Sistem Ekonomi Kerakyatan yang hendak diselenggarakan di Indonesia. Sebagaimana dikemukakan oleh Bung Hatta, yang dimaksud dengan dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 ayat 2 itu lebih ditekankan pada segi dimilikinya hak oleh negara (bukan Pemerintah) untuk mengendalikan penyelenggaraan cabang-cabang produksi yang bersangkutan. Artinya, dengan dikuasainya cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak itu oleh negara, berarti negara memiliki hak untuk mengendalikan penyelenggaraan cabang-cabang produksi tersebut. Penyelenggaraannya secara langsung dapat diserahkan kepada badan-badan pelaksana BUMN atau perusahaan swasta, yang bertanggungjawab kepada Pemerintah, yang kerjanya dikendalikan oleh negara. Pada tahun 1977 Hatta kembali menyatakan bahwa:[17]
“Pemerintah membangun dari atas, melaksanakan yang besar-besar seperti membangun tenaga listrik, persediaan air minum, menggali saluran pengairan, membuat jalan perhubungan guna lancarnya jalan ekonomi, menyelenggarakan berbagai macam produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Apa yang disebut dalam bahasa Inggeris public utilities diusahakan oleh Pemerintah.”
Baik melalui penafsiran gramatikal maupun penafsiran historis, sebenarnya konstruksi politik hukum HMN atas sumber daya alam berdasarkan Pasal 33 UUD NRI 1945 dapat dijabarkan dengan beberapa karakteristik seperti yang tampak pada tabel berikut ini:
Konstruksi Politik Hukum HMN Atas Sumber Daya Alam
Menurut Pasal 33 UUD NRI 1945
Politik Hukum HMN Dalam Pasal 33 UUD NRI 1945 | |
1 | Dasar : Pelimpahan tugas kewenangan bangsa; Pasal 33 (1),(2) dan (3). |
2 | Subyek : Negara RI (Pemerintah dan Rakyat), bukan hubungan subordinasi |
3 | Tujuan: Sebesar-besar kemakmuran rakyat |
4 | Substansi :
(1) merumuskan kebijakan (beleid); (2) melakukan tindakan pengurusan (bestuurSDAadregelendaadpengelolaan (beheerSDAadtoezichthoudendaad). |
Konsekuensi: Negara sebagai Regulator dan Pengelola Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pengelolaan SDA harus diusahakan di negeri sendiri sehingga berkorelasi dengan upaya untuk menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya demi perwujudan Pasal 27 UUD NRI 1945 untuk menjamin kehidupan dan pekerjaan yang layak. |
Untuk mengetahui konstruksi politik hukum HMN atas sumber daya alam pada waktu sekarang ini (existing), dapat disajikan beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait langsung dengan tata cara pengelolaan sumber daya alam tersebut. Beberapa di antaranya yaitu: UUPA, UUSDA, UU Ketenagalistrikan, UU Migas, PP No. 16 Tahun 2005, Keputusan MK, Peremendagri No. 23 Tahun 2006, dan Perpres 77 Tahun 2007 (yang telah diubah beberapa kali hingga tahun 2014), UU Minerba dan turunannya. Politik hukum HMN mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan sistem perekonomian negara. Meskipun dasar filosofis dan yuridisnya sama, yaitu Pancasila dan Pasal 33 UUD NRI 1945, ternyata politik hukum HMN atas sumber daya alam, khususnya terhadap Minerba juga mengalami perkembangan yang cukup berarti khususnya menyangkut Peraturan Menteri terkait. Perkembangan ini bila diamati mengarah pada perkembangan globalisasi yang bersifat liberal kapitalistik, tidak berpihak kepada peruntukkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sebagaimana diketahui, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan, pada 11 Januarti 2017 menerbitkan dua Peraturan Menteri ESDM, yaitu (1) Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri dan (2) Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2017 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Kedua Peraturan Menteri ini merupakan tindak lanjut diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat PP No. 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan. Terdapat kecurigaan bahwa apakah Peraturan Menteri ini meneruskan tradisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 yang memberikan kelonggaran ekspor bagi konsentrat selama tiga tahun? Padahal hal demikian menyimpangi ketentuan dalam Pasal 103 dan Pasal 170 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Apabila ditinjau dari sisi kebijakan, Pasal 102 dan 103 UU Minerba telah menegaskan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral mentah di dalam negeri bagi pemegang IUP/IUPK, sedangkan Pasal 170 UU Minerba juga mewajibkan seluruh pemegang Kontrak Karya (KK) yang sudah berproduksi seperti PT Freeport Indonesia, PT Newmont Nusa Tenggara, dan lain-lain untuk melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak UU Minerba diundangkan, yakni Tahun 2014. Sejalan dengan kebijakan ini, pemerintah menerapkan kebijakan larangan ekspor mineral mentah (tanpa pengecualian) di tahun 2012 melalui Permen ESDM No. 7/2012. Namun, dari rentetan kebijakan yang selanjutnya dikeluarkan, pemerintah justru terlihat plin plan. Sebut saja Permen ESDM No. 20/2013 yang memberikan tenggat waktu untuk eskpor mineral mentah hingga Januari 2014 dan Permen ESDM No. 1/2014 yang mengizinkan ekspor konsentrat hingga Januari 2017.
Beberapa pokok ketentuan dalam Permen ESDM No.5 Tahun 2017 dan Permen ESDM No.6 Tahun 2017, antara lain:
1. Pemberian kelonggaran ekspor terhadap mineral yang belum diolah dan dimurnikan selama 5 (lima) tahun sejak Januari 2017.
2. Pemberian kelonggaran ekspor mineral selama 5 (lima) tahun sejak Januari 2017 kepada pemegang Kontrak Karya (KK) yang melakukan perubahan bentuk pengusahaan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
3. Adanya mekanisme perubahan bentuk perubahan pengusahan dari KK menjadi IUPK.
Hal tersebut di muka jelas bertentagan dengan aspek filosofis pengelolaan Minerba. Sesuai dengan nilai keadilan sosial dan amanat UUD NRI 1945, bahan tambang mineral mentah merupakan kekayaan dari kandungan perut bumi Indonesia dan harus dikelola sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Konstitusi Indonesia telah menegaskan mandat tersebut sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Karena itu, menjual bahan tambang mentah ke luar negeri (ekspor) tanpa melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, sama saja mengkhianati cita-cita luhur dari pengelolaan sumber daya alam. Amanat Pasal 27 UUD 1945 yang menegaskan bahwa segala warga negara berhak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan hanya harapan, jauh panggang dari api.
E. Penutup
Berdasar pada uraian di muka, dapat pula ditarik suatu simpulan bahwa dalam perjalanan sejarah pengelolaan sumber daya alam, politik hukum pengelolaan sumber daya alam mengalami sebuah evolusi dari politik hukum yang berorientasi pada keadilan sosial (keadilan makro) dan kemakmuran bersama mengarah kepada pemenuhan kesejahteraan orang perorang (keadilan individual) atau keadilan mikro. Sistem perokonomian Indonesia memang tidak dapat terlepas dari ’hempasan gelombang’ sistem perekonomian dunia yang tengah berkembang dewasa ini, yaitu sistem perekonomian liberal-kapitalistik. Globalisasi adalah suatu keniscayaan, tetapi pengembangan sistem perekonomian juga tidak akan dapat berkembang baik bila mengabaikan sistem ideologi suatu bangsa, karena watak dasar suatu bangsa berbeda dengan bangsa lainnya. Menurut keyakinan penulis, karakteristik bangsa Indonseia tidak cocok dengan sistem perekonomian yang liberal-kapitalistik. Semakin liberal-kapitalistik sebuah sistem perekonomian Indonesia maka akan semakin menjauhkan negara untuk mencapai keadilan sosial. Apabila sistem tersebut dipaksakan, maka seperti ciri khas sistem liberal kapitalistik yang menganut free fight liberalism yang terjadi adalah yang kuat akan menindas yang lemah. Kemakmuran hanya memihak kepada mereka yang kuat secara ekonomi sedangkan yang lemah semakin menderita karena kemiskinan merupakan wajah lain dari sistem ekonomi liberal kapitalistik tersebut.
Kesadaran berkonstitusi mesti dibangun melalui pendidikan formal dan non formal sehingga semua warga negara sudah terbiasa dengan penanaman nilai dan prinsip-prinsip dasar konstitusi. Kebiasaan membaca konstitusi dengan moral (moral reading on constitution) sebaiknya terus dilakukan karena hanya Pancasila yang sanggup mengantar manusia– yang dibalut dengan neomistisisme—mencapai tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945. Kesejahteraan umum dapat dicapai dengan mengelola sumber daya alam sendiri jauh lebih cepat tercapai daripada menyerahkan pengelolaannya pada negara lain melalui ekspor bahan mentah karena tidak mendatangkan value added (nilai tambah) yang seharusnya dinikmati oleh rakyat Indonesia sendiri. Dengan demikian kebijakan yang mendukung ekspor bahan mentah di bidang pertambangan minerba ini jelas bertentangan dengan UU Minerba dan sudah seharusnya dilakukan uji materiil di Mahkamah Agung.
[1] Mahfud MD, Op.Cit. hlm. 52.
[2] Cita hukum (rechtsidee) harus dibedakan dengan konsep hukum (rechtsbegriff), karena cita hukum ada di dalam cita bangsa Indonesia, baik berupa gagasan, rasa, cipta, dan pikiran, sedangkan hukum merupakan kenyataan dalam kehidupan yang berkaitan dengan nilai-nilai yang diinginkan dan bertujuan mengabdi kepada nilai-nilai tersebut. Cita hukum dapat dipahami sebagai konstruksi pikiran yang merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum pada cita-cita yang diinginkan masyarakat. Lihat, Esmi Warassih, Op.Cit., hlm. 43.
[3] Mahfud MD, Op.Cit., hlm. 56.
[4] Model ekonomi berencana menekankan sifat purposif dan aspek kekuatan pada hukum. Pembangunan dilihat sebagai suatu transformasi dari kegiatan ekonomi yang dilaukan secara sadar dan sengaja. Negara dilihat sebagai wahana utama untuk menjalankan rencana yang telah dibuat. Hukum merupakan alat untuk menerjemahkan tujuan-tujuan pembangunan ke dalam norma-norma dan diterapkan. Semakin hukum itu efektif untuk mengarahkan tingkah laku manusia, semakin berhasil pula pembangunan itu dijalankan. Lihat Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1980, hlm. 191.
[5] Di dalam model ekonomi pasar, kedudukan lembaga-lembaga yang mendukung berjalannya system ekonomi tersebut adalah sangat penting karena kehadirannya merupakan suatu keharusan di dalam pembangunan ekonomi. Proses ekonomi tidak digerakkan oleh pusat kekuasaan, melainkan diserahkan pada mekanisme dalam proses ekonomi itu sendiri, seperti penawaran dan permintaan. Hukum dipandang sebagai suatu yang esensial bagi penciptaan dan pembinaan pasar-pasar. Sifat esensial dari hukum ini disebabkan oleh karena ia mampu memberikan prediktabilitas kepada pelaku ekonomi, atau dapat memberikan kepastian hukum dalam rangka mereka menjalankan usahanya. Hukum mendorong orang-orang untuk melakukan kegiatan ekonomi secara kreatif dan menjamin bahwa buah dari kegiatan tersebut akan mendapatkan perlindungan. Melalui lembaga-lembaga , seperti kontrak dan hak-hak milik individual hukum itu mendorong perkembangan pasar-pasasr dengan demikian juga perkembangan ekonomi. Satjipto Rahardjo, Ibid, hlm 190-192.
[6] Case Karl E. and Fair Ray C., Principle of Economics, New Jersey, Prentices Hall, 1996, hlm. 16.
[7] Tulisan Emil Salim yang pertama berjudul “Sistem Ekonomi Pancasila”, dimuat di harian Kompas, 30 Juni 1966, dimuat kembali dalam buku Hamid Basyaib dan Hamid Abidin eds. “Kembali ke Jalan Lurus: Esai-esai 1966-99, Alvabet, Jakarta, hlm. 3-5. Periksa M Dawam Rahardjo, Isu-isu Kontemporer Ekonomi Pancasila, Majalah UNISIA No. 53/XXVII/III/2004, hlm. 208.
[8] Tulisan Emil Salim tentang SEP yang kedua dimuat di Jurnal Prisma No. 5, Mei 1979.
[9] Boediono menyebutkan ada 5 ciri utama SEP, yaitu: (1) Peran koperasi sangat menonjol; (2) Adanya insentif ekonomi dan moral untuk menggarakkan roda perekonomian; (3) Adanya inklinasi dan kehendak sosial yang kuat kearah egalitarianisme atau kemerataan sosial; (4) Diberikannya prioritas utama pada terciptanya perekonomian nasional yang tangguh; (5) Pengandalan sistem disentralisasi dalam kegiatan ekonomi dan diimbangi dengan perencanaan yang kuat serta pemberian arah bagi perkembangan ekonomi. Lihat, Mubyarto dan Boediono (Editor), Ekonomi Pancasila, BPFE, Yogyakarta, 1997.
[10] Kumpulan makalah-makalah ini dapat dibaca dalam buku Ekonomi Pancasila karangan Mubyarto dan Budiono, Badan Penerbit FE UGM, Yogyakarta, 1980.
[11] Persoalan mendasar bagi bangsa Indonesia adalah di dalam usaha mewujudkan “demokrasi ekonomi”, seperti yang disebut dalam Penjelasan UUD 1945 (sebelum diamandemen). Masalahnya adalah, tatkala pemerintahan yang menekankan kepada stabilitas diciptakan demi kepentingan dan kelangsungan pembangunan ekonomi, masyarakat telah memiliki struktur tertentu yang pincang. Ada kelompok kuat yang berhadapan dengan kelompok lemah yang sangat memungkinkan terjadinya “exploitation de l’homme par l’homme’” terus berlanjut. Sri Edi Swasono dan Abdul Madjid (Editor), Wawasan Ekonomi Pancasila, UI Press, 1988.
[12] Ilustrasi tentang peranan IMF dan Bank Dunia secara menarik dilukiskan dalam bentuk gambar karikatur oleh Francis Wahono. Lihat, Francis Wahono, ABC Globalisasi, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, 2005, hlm. 14-20.
[13] Lihat Penjelasan Umum UUPA.
[14] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1999, hlm. 228-229.
[15] Kata “dikuasai” oleh negara pada Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 tidak ditafsirkan secara khusus dalam penjelasannya, sehingga memungkinkan untuk dilakukan penafsiran makna dan cakupannya. Secara etimologis, dikuasai negar (kalimat pasif) mempunyai padanan arti negara menguasai atau penguasaan negara (kalimat aktif). Pengertian “menguasai’ ialah berkuasa atas sesuatu, memegang kekuasaan atas sesuatu”, sedangkan penguasaan berarti proses, cara, perbuatan menguasai atau mengusahakan”. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. Kedua, Departemen dan Kebudayaan & Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hlm. 533.
[16] Di Amerika dikembangkan cara memahami Konstitusi Amerika Serikat dari perspektif transisional. Dengan menawarkan pandangan yang lebih kontekstual tentang sifat dan peran konstitusionalisme kajian terhadapnya lebih bias diterima. Konstitusionalisme transisional memiliki implikasi bagi konsekuensi interpretasi transisional. Suatu perspektif transisionla memberikan pandangan yang unik bagi perdebatan tentang relevansi “tujuan semula” terhadap signifikansi kontemporer berbagai pasal konstitusi yang relevan. Perspektif transisional memiliki kemiripan dengan model interpretasi konstitusi “ketaatan” (fidelity) yang menganggap bahwa konstitusi harus diteliti berdasarkan konteks sejarah dan politiknya. Lihat, Ruti G. Teitel, Keadilan Transisional: Sebuah Tinjauan Komprehensip (Terjemahan Elsam), Elsam, Jakarta, 2004, hlm. 433. Bandingkan dengan pendapat Ronald Dworkin tentang Moral Readings in America Constitution, Lihat, Ronald Dworkin, Op.Cit. 7.
[17] Mohammad Hatta, Penjabaran Pasal 33 UUD 1945, Penerbit Mutiara, Jakarta, 1977, hlm. 29.