Beranda Publikasi Kegiatan

Mengawal Isu-Isu Krusial dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan

2168

Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) menyoroti Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) yang hingga saat ini belum disahkan. Padahal Indonesia memiliki potensi sumber energi non fosil yang melimpah namun belum dikelola dengan baik. Sebab ketergantungan terhadap energi fosil secara terus-menerus akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dalam bentuk pencemaran lingkungan, perubahan iklim, dan pemanasan global. Berdasarkan beberapa studi melaporkan bahwa ketergantungan terhadap energi fosil secara berlebihan akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dalam bentuk pencemaran lingkungan, perubahan iklim, dan pemanasan global. Hal ini menjadi tantangan berat pemerintah Indonesia ke depan.

Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) dengan tema diskusi “Isu-Isu Krusial dalam RUU Energi Baru dan Terbarukan”, 23/4/2021, Akmaluddin Rachim mengatakan bahwa menghadapi kondisi tersebut, pemerintah telah menetapkan kebijakan pengoptimalan penggunaan EBT. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Dalam kebijakan tersebut pemerintah telah menetapkan peran EBT paling sedikit mencapai 23% dalam bauran energi nasional pada tahun 2025. Kebijakan penerapan peran EBT ini sebenarnya juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi.

Menurut Akmaluddin, arah kebijakan ini ditujukan untuk mencapai kedaulatan, ketahanan, dan kemandirian energi nasional dan yang tidak kalah strategisnya adalah mendorong terpenuhinya akses seluruh masyarakat terhadap sumber energi khususnya mereka yang berada di pulau-pulau terluar. Dalam kerangka mencapai upaya terobosan inilah, lebih lanjut Akmaluddin menjelaskan perlunya penyiapan perangkat kerangka hukum yang komprehensif dalam pengembangan EBT diharapkan dapat menjamin pengembangannya. Menyikapi kebutuhan tersebut, pemerintah bersama DPR sebenarnya telah merumuskan RUU EBT.

Hal itu mengingat Pemerintah Indonesia telah berkomitmen menurunkan emisi GRK sebesar 29% pada tahun 2030. Hasil COP 21 yang dikenal dengan Paris Agreement dan yang kemudian diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim), menegaskan pentingnya pencapaian target ambang batas peningkatan suhu bumi di bawah 2 derajat celsius dan berupaya menekan batas kenaikan suhu hingga 1,5 derajat celsius di atas suhu bumi pada masa praindustri.

Kebijakan tersebut, menurut Akmaluddin Rachim, menjadi modal politik bagi pemerintah dalam membentuk RUU EBT. Bahwa telah ada kesepakatan global untuk mengatasi dampak lingkungan, perubahan iklim akibat dari kegiatan pertambangan serta pemanasan global, maka perlu didorong pembentukan undang-undang mengenai pengelolaan dan pemanfaatan EBT.

Akmaluddin menjelaskan bahwa secara filosofis, pembentukan undang-undang tentang EBT merupakan jawaban terhadap tujuan negara mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Upaya negara untuk mewujudkan kesejahteran bagi rakyat diamanatkann dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3). Pasal 33 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Selanjutnya, Pasal Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Lebih lanjut dijelaskan Akmaluddin bahwa ketentuan mengenai EBT saat ini sudah diatur dalam berbagai undang-undang. Selain yang diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, pengaturan EBT juga dapat ditemukan dalam UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan dan UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi. Untuk mendukung upaya dan program pengembangan EBT, terdapat beberapa peraturan pelaksanaa yang telah ada antara lain Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional, Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2009 tentang Konservasi Energi, dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 39 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Fisik Pemanfaatan Energi Baru dan Energi Terbarukan serta Konservasi Energi.

Dengan demikian peraturan perundang-undangan yang saat ini ada dan mengatur mengenai energi baru dan terbarukan masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Menurut Akmaluddin, saat ini regulasi yang ada dan telah diterbitkan oleh Pemerintah terkait EBT sering mengalami perubahan sehingga belum dapat menjadi landasan hukum yang kuat dan menjamin kepastian hukum, karena belum diatur secara komprehensif dalam suatu undang-undang. Oleh karena itu dibutuhkan pengaturan secara khusus dalam Undang-Undang tersendiri secara komprehensif yang akan mengatur mengenai EBT sebagai landasan hukum dan menjadi acuan terhadap peraturan perundang-undangan di bawahnya.

Lebih lanjut, Akmaluddin menyampaikan bahwa adapun isu-isu krusial dalam RUU EBT antara lain terkait dengan konsep hak menguasai negara dalam RUU EBT. Ketentuan konsideran yang menyatakan bahwa “energi baru dan terbarukan sebagai sumber daya alam strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No 30 Tahun 2007 tentang Energi telah mengatur bahwa sumber daya energi fosil, panas bumi, hidro skala besar, dan sumber energi nuklir dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketentuan ini secara spesifik menyebutkan bahwa hanya energi fosil, panas bumi, mikrohidro, serta nuklir dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Sementara dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi mengatur bahwa sumber daya energi baru dan sumber daya energi terbarukan diatur oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Isu selanjutnya terkait dengan pengaturan nuklir dalam RUU EBT. Sumber Energi Baru terdiri atas nuklir dan sumber energi baru lainnya. Selanjutnya dalam Pasal 7 RUU EBT bahwa “Nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dimanfaatkan untuk pembangunan pembangkit daya nuklir”. Dari ketentuan ini diketahui bahwa pengaturan nuklir dalam RUU EBT akan diarahkan untuk pembangunan pembangkit daya nuklir untuk keperluan pembangkit listrik. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (2) RUU EBT yang menyebutkan bahwa Pembangkit daya nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas pembangkit listrik tenaga nuklir dan pembangkit panas nuklir.

Isu berikutnya adalah terkait denga peran dan kewenangan pemerintah daerah. Terkait dengan peran dan kewenangan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan, pengembangan dan pemanfaatan EBT pada dasarnya belum sepenuhnya diakomodasi dalam RUU EBT. Dalam RUU EBT Pemerintah Daerah dibebankan
diwajibkan menyediakan sarana dan prasarana dalam pengelolaan dan pemanfaatan EBT. Namun di sisi lain Pemerintah Daerah memiliki keterbatasan wewenang dan anggaran dalam pengelolaan dan pemanfaatan EBT.

Isu lain yang layak mendapat sorotan adalah terkait mekanisme pengelolaan dana EBT. Pasal 53 ayat 4 dalam RUU EBT menyebutkan bahwa “Dana Energi Baru dan Terbarukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan”. Ketentuan dalam pasal tersebut mengatur adanya dua kementerian yang akan mengelola dana EBT. Pengaturan tersebut berpotensi menimbulkan konflik dalam pelaksanaannya. Pertanyaan kritisnya adalah siapa penanggung jawab dana EBT apa bila terdapat permasalahan? Sebaiknya tanggung jawab pengelolaan dana diserahkan ke kementerian ESDM. Tetapi dalam proses pemanfaatannya wajib berkoordinasi dengan kementerian keuangan. Dengan demikian pasal yang mengatur terkait dengan mekanisme pengelolaan dana EBT perlu diatur secara spesifik dan detail.

Adapun dalam perkembangannya, RUU EBT sampai saat ini masih belum disahkan. Menurut Mahawira S. Dillon, perkembangan RUU EBT ini masih dalam tahap pembahasan Komisi VII DPR RI. Menurutnya, pembahasan RUU EBT dilakukan dengan kurang terbuka sehingga masyarakat sipil tidak dapat mengakses draf yang definitif. Selain itu, jadwal rapat sering tertutup dan RDP yang kurang menjangkau masyarakat luas. Keadaan ini membuat tidak adanya saling mengawasi dan memberikan masukan terhadap substansi RUU.

Hal yang menonjol menurut Mahawira, permbahas RUU EBT ini diwarnai oleh isu nuklir yang sering disebut. Selain itu, jika dibandingkan draf RUU EBT versi tanggal September 2020 dan Januari 2021, ditemukan beberapa perbedaan atau perubahan. Misalnya perubahan Pasal 13 yang menghilangkan konsepsi “Badan Pengawas Tenaga Nuklir”. Perubahan juga terjadi dalam Pasal 19, yang mempermudah ekspor “Sumber Energi Baru” tanpa harus “mempertimbangkan ketersediaan energi dalam negeri”. Selanjutnya juga terdapat perubahan dalam Pasal 22 yang menghilangkan kewajiban “menjaga Sumber Energi Baru secara berkelanjutan”.

Menurut Mahawira, kelemahan draf RUU EBT saat ini adalah belum ada inventarisasi potensi sumber daya energi yang terintegrasi. Konsep pembinaan dan pengawasan yang dijabarkan dalam naskah akademik tidak terkandung dalam draft RUU EBT. Selain itu, ada beberapa tumpang tindih yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, khususnya materi yang terkait dengan UU No. 30 Tahun 2007. Kelemahan lainnya adalah besarnya potensi ketidakpastian hukum karena tidak terlihat pembagian wewenang dan fungsi yang jelas antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.