Menyambut persidangan judicial review Undang-Undang No 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) melangsungkan diskusi publik virtual membahas terkait dengan persidangan tersebut yang relatif lebih lama jadwal persidangannya diumumkan.
Diskusi ini mengangkat topik “Menanti Persidangan Judicial Review Undang-Undang Minerba di Mahkamah Konstitusi”, dengan menghadirkan pembicara seperti Veri Junaidi, S.H., M.H. pengamat dan peneliti yang sekaligus merupakan Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif serta Viktor Santoso Tandiasa, S.H., M.H. dan Muh. Salman Darwis, S.H., M.H.Li. yang keduanya merupakan praktisi hukum konstitusi, di Jakarta, 25/09/2020.
Sebagaimana diketahui bahwa saat ini terdapat judicial review atas UU Minerba di Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang pendahuluan terakhir dilaksanakan pada tanggal 25 Agustus 2020, namun sampai saat ini belum dimulai sidang pokok perkara. Jadwal agenda persidangan terhadap judicial review tersebut kemudian baru dapat diakses pada hari Kamis, 25/09/2020. Kendatipun jadwal telah diumumkan, tanda tanya mengenai mengapa MK sampai saat ini belum menyidangkan pokok perkara judicial review UU Minerba menimbulkan berbagai prasangka.
Menurut Viktor Tandiasa, ada tiga alasan Mahkamah mengenai persidangan judicial review tidak sampai pada persidangan akan masuk dalam pokok perkara. Ketiga alasan tersebut ialah, pertama, perihal bukan kewenangan MK. Kedua, terkait dengan pemohon tidak memiliki legal standing, dan ketiga, terkait dengan pasal yang diuji sudah pernah diuji.
Bagi Viktor Tandiasa, alasan nomor kedua dan ketiga sering tidak konsisten ditetapkan oleh MK. Pada prakteknya, ada perkara yang dalam putusannya tidak diterima, namun masuk dalam proses pemeriksaan Pokok Pekara & Pembuktian (sidang ke ketiga dan seterusnya). Namun ada pula yang proses berhenti setelah sidang kedua, kemudian masuk dalam sidang Pengucapan Putusan, dimana dalam amar dinyatakan Pemohon Tidak Memiliki Legal Standing atau Pasal yang diuji sudah pernah diuji.
Viktor Tandiasa mengungkapkan bahwa dasar Hukum Acara Pengujian Undang-Undang di MK dengan mengacu pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana saat ini juga telah dilakukan perubahan, Peraturan Mahkamah Konstitusi 06 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 06 Tahun 2005), dan mengacu pada Rapat Permusyawaratan Hakim. Menurut Viktor Tandiasa, hukum acara pengujian undang-undang di MK selain mengacu pada ketentuan normatif – UU MK dan PMK 06 Tahun 2005 – juga mengacu pada rapat permusyaratan hakim, yang kecenderungannya dimungkinkan dilakukan perubahan hanya dengan mengacu pada rapat permusyawaratan hakim.
Untuk sampai pada pokok persidangan, Pasal 54 UU MK mengatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan daerah, dan/atau Presiden”. Kemudian, ketentuan tersebut lebih lanjut diatur dalam Pasal 18 ayat (4) PMK No 6 Tahun 2005 yang mengatakan bahwa “Dalam hal Mahkamah menentukan perlu mendengar keterangan Presiden/Pemerintah DPR, dan DPD, keterangan ahli dan/atau saksi didengar setelah keterangan Presiden/Pemerintah, DPR, dan DPD kecuali untuk kepentingan kelancaran persidangan Mahkamah menentuan lain”
Mengomentari terkait jadwal persidangan yang telah dikeluarkan oleh MK, Menurut Viktor Tandiasa, dari kelima permohonan judicial review UU Minerba, hanya tiga yang kemudian lanjut dalam persidangan pokok perkara. Sementara kedua lainnya dinyatakan tidak dapat berlanjut atau tidak terdapat urgensi meminta keterangan para pihak dalam persidangan pokok perkara. Hal itu bisa disebabkan karena legal standing, tidak terdapat urgensi, dan tidak memandang perlu mendengar keterangan pihak-pihak. Menurutnya, dalam prakteknya hal itu tidak konsisten dalam penerapannya.
Adapun pembicara berikutnya oleh Salman Darwis, membahas terkait dengan pilihan uji formil atau uji materil UU Minerba. Secara teoritik, menurut Salman Darwis dengan mengutip Ph. Kleitjes, terdapat dua macam pengujian undang-undang, menguji (toetsingsrecht). Apakah akan menggunakan hak menguji formil (formale toetsingsrecht) atau memilih hak menguji materil (materiele toetsingsrecht). lebih lanjut Salman Darwis mengatakan bahwa menurut Sri Soemantri, jika pengujian itu dilakukan terhadap isi undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, dinamakan sebagai hak menguji material (materiele toetsingsrecht), jika pengujian itu dilakukan terhadap prosedur pembentukannya, disebut hak menguji formal (formele toetsingsrecht).
Menurutnya dengan mengacu pendapat di atas, apabila pengujian undang-undang diuji dari segi materil, maka hal yang dinilai adalah apakah substansi undang-undang bertentangan dengan ketentuan konstitusional atau ketentuan undang-undang lainnya. Sedangkan bila pengujian dari segi formil, maka kriteria yang dipakai untuk menilai undang-undang bersifat konstitusional adalah sejauh mana undang-undang tersebut ditetapkan dalam bentuk yang tepat (appropriate form), oleh institusi yang tepat (appropriate institution), dan menurut prosedur yang tepat (appropriate procedure).
Lebih lanjut Salman Darwis menjelaskan bahwa pengujian formil mencakup perihal pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan undang-undang, baik dalam pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan atas rancangan undang-undang menjadi undang-undang. Kemudian pengujian atas bentuk, format, atau struktur undang-undang, dan pengujian yang berkenaan dengan keberwenangan lembaga yang mengambil keputusan dalam proses pembentukan undang-undang serta pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.
Menurutya, pilihan dalam mengajukan permohonan judicial review secara formil atau materil didasarkan pada alat bukti. Lebih lanjut dikatakannya, bahwa hingga saat ini belum ada permohonan pengujian formil yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Seharusnya Mahkamah lebih memproritaskan dan berperan dalam pengujian formil, karena efektivitasnya lebih tajam dalam mengawal, mengontrol, dan mengimbangi kekuatan sistem demokrasi.
Salman Darwis mengungkapkan bahwa dalam memutus suatu perkara, Mahkamah seringkali melupakan aspek kemanfaatan yang seharusnya melekat juga dalam putusan badan peradilan. Misalnya perkara pengujian UU No. 10 Tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah yang diajukan Ahok perihal cuti kampanye. Bagi Ahok pengujian tersebut diharapkan agar MK memberikan putusan sebelum dilakukan proses kampanye. Persoalannya kemudian adalah Mahkamah baru memberikan putusan tatkala Ahok telah masuk penjara terkait dengan pelanggaran dalam masa kampanye yang menimbulkan polemik. Oleh sebab itu, Salman berharap agar MK memperhatikan aspek kebermanfaatan dalam putusannya.
Pembicara terakhir dalam kesempatan diskusi ini ialah, Veri Junadi yang merupakan pengamat hukum konstitusi dari Kode Inisiatif. Dalam kesempatan tersebut, Veri Junaidi memberikan beberapa komentar, catatan khususnya terkait dengan pengujian formil UU Minerba. Menurutnya pengujian secara formil merupakan pengujian yang paling teknik dari seluruh pengujian. Jadi melihat secara formil proses pembentukan undang-undang. Bagi Veri Junaidi, pembentukan undang-undang esensinya harus mencerminkan kepentingan publik.
Jika melihat jumlah pembentukan undang-undang, bukan soal banyak atau tidak, cepat atau lambat prosesnya, tapi harus berdasarkan kebutuhan dan memihak pada kepentingan publik. Yang selalu menjadi pertanyaan oleh anggota DPR adalah publik yang mana? Pertanyaan ini selalu datang dari DPR. Tentu yang dimaksud adalah kepentingan publik semua golongan atau pihak yang pro dan kontra. Bukan hanya kepentingan publik yang pro; ahli yang pro, kelompok yang pro, masyarakat yang pro. Tapi prinsipnya kepentingan seluruh golongan, yang pro dan sekaligus pihak kontra.
Kalau melihat pengajuan formil, paling tidak dari data yang telah dikumpulkan oleh KoDe Inisiatif, terdapat 44 pengujian formil undang-undang sejak tahun 2003 hingga tahun 2018. Dari keseluruhan putusan tersebut, belum ada satupun pengujian formil yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Menurutnya persoalan pelanggaran formil yang paling banyak didalilkan dalam pengujian formil undang-undang ialah pelanggaran terhadap asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, pengabaian terhadap prosedur pembentukan, dan soal pelanggaran mekanisme pengambilan keputusan, ataupun ketiadaan naskah akademik, tidak partisipatif dan lain sebagainya.
Kendatipun belum terdapat permohonan perkara uji formil yang dikabulkan oleh Mahkamah. Namun dalam Putusan MK No. 27/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU Mahkamah Agung), permohonannya hampir dikabulkan. Menurutnya perkara ini nyaris dikabulkan oleh MK dan permohonannya dapat menjadi contoh perumusan perkara uji formil.
Lebih lanjut dikatakan bahwa dasar MK dalam menguji permohonan uji formil didasari oleh alasan bahwa klaim pemohon tidak terbukti. Selain itu, permohonan pengujian formil juga biasanya terpental akibat lewat tenggat waktu. Veri Junaidi mengatakan bahwa tenggang waktu pengujian formil di MK pertama kali ditetapkan dalam Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, tanggal 16 Juni 2010. Dalam putusan tersebut, pengujian formil dapat diajukan maksimal 45 (empat puluh lima) hari pasca undang-undang tercatat dalam lembaran negara.
Menurutnya dalam pengujian formil, kalau kita membaca data tersebut, polanya sama dalam pengujian itu. Proses pengujian konstitusional mendasarkan pada UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Pertanyaannya kemudian adalah apakah akan menguji konstitusionalitas undang-undang yang menyangkut kedaulatan rakyat, keadilan, kepastian dan kemanfaatan dan lain sebagainya atau konstitusionalitas pembentukan undang-undang dengan menguji proses pembentukan undang-undang dengan ketentuan dalam aturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan.
Bagi Veri Junaidi, hal tersebut kemudian menjadi tantangan dalam pengujian formil UU Minerba. Veri Junaidi menambahkan bahwa kita tidak dapat berharap kepada hakim akan memberikan terobosan dalam perkara uji formil UU Minerba. Menurtnya, mengutip Jimly Asshiddiqie, terobosan hukum itu terjadi bukan karena hakim memiliki pemikiran progresif tetapi karena para lawyer yang memiliki pikiran, gagasan kritis dan konstruktif dalam membangun sebuah argumentasi hukum. Sehingga tidak ada alasan bagi hakim untuk kemudian menolak. Veri Junaidi kemudian menambahkan bahwa memang benar dalam pengujian undang-undang yang terkait dengan ekonomi atau sumber daya alam prosesnya cenderung lebih lama.
Jadwal sidang judicial review UU Minerba akan dilangsungkan pada 29 September dan 7 Oktober 2020. Perkara No 58/PUU-XVIII/2020 dan 65/PUU-XVIII/2020 terkait Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terhadap UUD 1945 diagendakan pada Selasa, 29 September 2020. Agenda persidangan kedua perkara tersebut adalah pengucapan putusan. Sementara itu Perkara No. 59/PUU-XVIII/2020 dan 60/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terhadap UUD 1945 serta Perkara No. 64/PUU-XVIII/2020 Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terhadap UUD 1945 dijadwalkan pada Rabu, 7 Oktober 2020.