Beranda Publikasi Kegiatan

Nasib Hilirisasi Mineral dan Batubara Pasca UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba dan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

1625

Hilirisasi Mineral dan Batubara merupakan upaya merealisasikan amanat ideologis Pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan juga merupakan amanat Konstitusi, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan sumber daya alam yang dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jiwa roh konstitusional ideologis ini harus jadi pegangan dalam mengatur dan melaksanakan hilirisasi Minerba. Hal tersebut disampaikan oleh A. Sonny Keraf dalam diskusi publik yang diselenggarakan secara virtual oleh Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), 27 April 2021. Dalam kesempatan yang sama, Simon F. Sembiring memberikan penjelasan terkait hal tersebut.

Menurut Sonny Keraf tujuan hilirisasi Minerba pada dasarnya merupakan upaya menghentikan flying money dalam bentuk ekspor konsentrat. Bagi Sonny Keraf, kita tidak pernah tahu secara akurat berapa banyak konsentrat yang dijual keluar dan apa saja kandungannya. Tujuan berikutnya adalah meningkatkan nilai tambah Minerba bagi kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Di sisi lain tujuan hilirisasi secara tidak langsung membuka lapangan kerja bagi rakyat Indonesia. Selain itu, tujuan dilakukan hilirisasi Minerba juga untuk menghadirkan multiplier effect untuk lapangan kerja dan kesejahteraan rakyat. Adapun tujuan lainnya adalah meneguhkan posisi tawar Indonesia ddalam ekonomi global dimana Indonesia diperhitungkan karena punya mineral dengan segala produk ikutannya untuk industri strategis

Sonny Keraf menuturfkan bahwa, sebagai mantan Ketua Panja penyusuna UU No. 4/2009, melihat beberapa pemegang IUP Mineral yang telah membangun smelter minimbulkan rasa bangga juga karena telah meninggalkan legacy untuk bangsa dan negara ini. Apalagi ketika Indonesia semakin diperhitungkan karena mengusai nikel hasil hilirisasi dengan segala produk ikutannya yang menjadi bahan baku baterei untuk kendaraan listrik yang akan menjadi industri otomotif utamanyake depan. Lebih lanjut dikatakan, Sonniy Keraf, bahwa ada kepuasan bahwa saya ikut memaksa peningkatan nilai tambah mineral kita untuk kepentingan bangsa demi kedaulatan ekonomi nasional

Lebih lanjut Sonny Keraf menambahkan bahwa di sisi lain ada juga rasa kecewa yang mendalam. Hal itu karena dalam implementasinya Pasal 102, 103, dan 170 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tidak dilaksanakan secara tegas, konsisten dan adil. Sonny Keraf menjelaskan bahwa saat ini hanya beberapa saja pemegang IUP Mineral yang melaksanakan hilirisasi. Pemegang KK dan PKP2B kerap kali dinegosiasikan dan diulur terus sehingga tidak melaksanakan hilirisasi. Bahkan, katanya, banyak yang masih terus diizinkan untuk ekspor konsentrat

Sonny Keraf melihat kecenderungan berbagai alasan teknis sering dilontarkan untuk menghindari dari implementasi hilirisasi. Menurutnya ini hanya akal-akalan sebagian korporasi, karena masih ada pemegang IUP yang berhasil membangun smelter.

Kondisi ini menurut Sonny Keraf menjadi tidak adil karena ada yang melaksanakan hilirisasi, ada pula yang malah dikasih izin ekspor konsentrat atau dengan kata lain tidak melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian. Sonny Keraf menjelaskan bahwa telah ditetapkan waktu 5 tahun sebagai masa transisi dalam Pasal 170 UU Minerba yang berlaku bagi pemegang KK, bukan berlaku juga bagi pemohon IUP baru. Dalam ketentuan, Sonny Keraf mengatakan bahwa sejak dalam permohonan izin sudah harus dicantumkan rencana hilirisasi

Sonny Keraf berpandangan bahwa negara malah melanggar sendiri hukum yang dibuatnya dengan membuat PP dan aturan turunan yang bertentangan dengan amanat undang-undang dan jiwa ideologis konstitusional sebagai yang telah diuraikan sebelumnya. Sonny Keraf mencontohkan ketentuan Pasal 170A UU 3 Tahun 2020: “(1) Pemegang KK, IUP Operasi Produksi, atau IUPK Operasi Produksi Mineral logam yang: a. telah melakukan kegiatan Pengolahan dan Pemurnian; b. dalam proses pembangunan fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian; dan/atau c. telah melakukan kerjasama Pengolahan dan/atau Pemurnian dengan pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi lainnya, atau IUP Operasi Produksi khusus untuk Pengolahan dan Pemurnian atau pihak lain yang melakukan kegiatan Pengolahan dan/atau Pemurnian, dapat melakukan Penjualan produk Mineral logam tertentu yang belum dimurnikan dalam jumlah tertentu ke luar negeri dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku”

Menurutnya, toleransi tetap mengekspor konsentrat ini sama saja dengan mengangkangi dan melenceng dari roh, jiwa dan landasan ideologis konsistusional. Kenyataan tersebut menjadikan hilangnya peluang meraih keuntungan finansial dan ekonomis berupa nilai tambah harga jual logam hasil pemurnian yang berlipat-libat besarnya. Toleransi tersebut menghilangkan peluang penciptaan lapangan kerja dalam negeri, hilangnya efek berganda lainnya dari proses pemurnian mineral logam dalam negeri. Berbagi potensi yang tidak menguntungkan tersebut dapat berakibat menjadikan sumber daya alam milik negara mengarah menjadi kutukan bagi rakyat Indonesia dan bukannya menjadi “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Lebih lanjut Sonny Keraf mengatakan bahwa dengan toleransi semacam tersebut dengan tetap mengekspor konsentrat sama halnya dengan mengganggu rasa keadilan sebagian pelaku usaha pertambangan mineral lainnya, yang sudah patuh kepada undang-undang dengan melakukan pengolahan dan pemurnian dalam negeri, sementara yang tidak patuh dan terus mengulur-ulur komitmenya malah diberi lagi kesempatan untuk mengekspor mineral logam yang belum dimurnikan. Ini sangat tidak adil dan bertentangan dengan ideologi Pancasila dan Konstitusi UUD 1945.

Sonny Keraf mengatakan bahwa kenyataan tersebut tidak hanya berlaku dalam soal hilirisasi Minerba, tapi juga dalam soal hilirisasi semua sumber daya alam kita: perkebunan, perikanan, pertanian, dan seterusnya. Kenyataan ini sangat ironis karena bertentangan dengan landasan ideologis dan konstitusional. Adanya situasi ini dapat berakibat cita-cita didirikannya NKRI, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melindungi segenap bangsa Indonesia dan tanah tumpah darah, menjamin hak atas pekerjaan yang layak dan keadilan sosial masih jauh sekali. Menurutnya hal ini terjadi karena tidak cukup banyak orang mencintai negeri ini namun lebih peduli dengan kepentingan ekonomi untuk diri dan kelompoknya

Adapun menurut Simon F. Sembiring mengatakan bahwa banyak ketentuan dalam UU 3 Tahun 2020 ini yang bertentangan dengan semangat menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Misalnya bunyi Pasal 4: (1) Mineral dan Batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat; (2) Penguasaan Mineral dan Batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan Undang – Undang ini; (3) Penguasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan. Menurutnya, ketentuan mengabaikan undang-undang lain, seperti undang-undang kehutanan, undang-undang-undang perkebunan, dan undang-undang lainnya.

Lebih lanjut Simon F. Sembering menyoroti ketentuan Pasal 5: (1) Untuk kepentingan nasional, Pemerintah Pusat setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menetapkan kebijakan nasional pegutamaan Mineral dan/atau Batubara untuk kepentingan dalam negari; (2) Untuk melaksanakan kepentingan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi, penjualan, dan harga Mineral logam, Mineral bukan logam jenis tertentu, atau Batubara; (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengutamaan Mineral dan/atau Batubara untuk kepentingan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penetapan jumlah produksi, penjualan serta harga Mineral Logam, Mineral bukan logam jenis tertentu, atau Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Menurutnya Pasal 5 ayat (2) merupakan pilihan, apakah pelaksanaannya hanya untuk mineral atau batubara. Jika demikian maka konsekuensinya akan menjadi pilihan dalam menetapkan jumlah produksi, penjualan dan harga untuk mineral atau batubara saja.

Selanjunya Simon F. Sembiring menyoroti Pasal 102: (1) Pemegang IUP dan IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi wajib meningkatkan nilai tambah Mineral dalam kegiatan Usaha Pertambangan melalui : a. Pengolahan dan Pemurnian untuk komoditas tambang Mineral logam; b. Pengolahan untuk komoditas tambang Mineral bukan logam dan/atau c. Pengolahan untuk komoditas tambang batuan; (2) Pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi dapat melakukan Pengembangan dan /atau Pemnanfaatan Batubara; (3) Peningkatan nilai tambah Mineral melalui kegiatan pengolahan dan/atau pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi batasan minimum pengolahan dan/atau pemurnian, dengan mempertimbangkan antara lain: a. peningkatan nilai ekonomi; dan/atau b. kebutuhan pasar; (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai batasan minimum pengolahan dan/atau pemurnian diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Menurut Simon F. Sembiring ayat (1) dan ayat (3) “sangat mengaburkan”. Pada ayat (1) khusus logam sudah jelas harus melakukan pengolahan dan pemurnian, namun pada ayat (3) dikaburkan lagi dengan batasasan minimum pengolahan dan/atau pemurnian dengan mempertimbangkan “peningkatan nilai ekonomi dan/atau kebutuhan pasar”

Lebih lanjut Simon F. Sembiring menyoroti Pasal 103: (1) Pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi Mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 wajib melakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian Mineral hasil Penambangan di dalam negeri; (2) Dalam hal pemegang IUP satau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi telah melakukan pengolahan dan/atau Pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah menjamin keberlangsungan pemanfaatan hasil Pengolahan dan/atau Pemurnian

Kata Simon F. Sembiring, pasal ini sangat berlebihan dimana Pemerintah turut mengambil risiko “bisnis” perusahaan. Lebih lanjut Simon F. Sembiring mengatakan bagaimana kalau manufaktur dalam negeri tidak mampu menyerap hasil pengolahan dan/atau pemurnian, kemudian harga turun sehingga rugi untuk diekspo. Pemerintah bisa berbuat apa untuk memenuhi pasal ini. Bagaimana bisa pemerintah dan DPR yang membuat undang-undang ini bisa-bisanya mengambil risiko? Apakah ada undang-undang di negara lain seperti ini? Ini patut dikaji oleh PT lebih lanjut, apakah pemerintah di negara lain ada yang mengambil risiko seperti ini.

Dalam penjelasan berikutnya, Simon F. Sembiring menyoroti ketentuan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ketentunan dalam Pasal 39, Paragraph 5, yang mengatur menyangkut penambahan Pasal 128A pada UU No 3 Tahun 2020: “(1) Pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (2), dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128; (2) Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batubara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0 % (nol persen).

Menurutnya, ketentuan royalti minerba yang dibayarkan oleh pengusaha (penambang) kepada negara adalah merupakan tanda bukti/sahnya perpindahan kepemilikan Minerba dari negara kepada pengusaha. Hasil dari royalti ini kemudian akan didistribusikan oleh Pemerintah kepada seluruh rakyat melalui Pemerintah daerah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. Simon F. Sembiring menjelaskan mengatakan, bagaimana kalau royalti menjadi nol? Dengan dimikian berarti kepemilikan rakyat atas minerba sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 menjadi “kabur” karena bila royalti di nolkan (tidak ada) maka tidak akan ada tanda bukti adanya perpindahan kepemilikan negara (rakyat) kepada pengusaha.

Ini artinya Rakyat dirugikan. Lebih tegas lagi Simon F. Sembiring mengatakan bahwa hak rakyat dimarginalkan oleh undang-undang a quo. Tentu hal ini tidak ada kaitannya dengan “kemudahan perizinan” yang merupakan tujuan UU No. 11 Tahun 2020.

Lebih lanjut Simon F. Sembiring mengatakan sudah hampir setahun UU No. 3 Tahun 2020 ini diundangkan namun sampai sekarang aturan pelaksananya belum keluar. Itu berarti tidak ada izin/kegiatan baru untuk eksplorasi yang diterbitkan. Kesalahan UU No. 4 Tahun 2009 bukanlah pada isi dan substansinya tetapi karena Pemerintah tidak mau mengimplementasikan undang-undang a quo secara konsisten dan DPR tidak konsisten mengawasinya. Menurutnya, sebaik apapun isi suatu undang-undang, apabila pemerintah tidak konsisten melaksanakannya dan ditambah DPR tidak melaksanakan fungsi pengawasannya maka undang-undang itu akan menjadi “macan ompong”.

Para pelaku operasi pertambangan selama tidak menyadari makna Pasal 33 UU D 1945, maka “pertambangan nasional” kita hanya akan memberi manfaat yang besar kepada mereka sementara rakyat akan jauh dari sejahtera yang maksimum. Memberikan royalti menjadi nol tidak ada kaitannya dengan kemudahan perizinan. Karena kemudahan perizinan seharusnya mempercepat dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, sedangkan menjadikan royalti nol, sudah pasti merugikan rakyat.

Bagaimana dengan hilirisasi? Ada tiga besar pertambangan multinasional yang berproduksi di Indonesia dan sudah puluhan tahun dan hanya menghasilakn konsentrat, meskipun ada sebagian kecil, tembaga yang dimurnikan, namun sampai sekarang ini tidak ada tanda-tanda bahwa mereka akan melaksanakan pemurnian itu secara utuh di dalam negeri. Semoga UU No.3 Tahun 2020 dan UU No. 11 Tahun 2020 bukan hanya tumpukan pasal-pasal di atas kertas atau memperbanyak koleksi “lembaran dokumen negara”.