Beranda Publikasi Kegiatan

Optimalisasi Pengembangan Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi dengan Penguatan Daerah

2636

 

Penggunaan energi fosil atau energi tak terbarukan kedepannya perlahan akan ditinggalkan. Berbagai negara di Eropa telah membuat kebijakan untuk beralih menggunakan energi terbarukan (renewable energy). Hal tersebut juga diikuti oleh lembaga pembiayaan global yang mendukung peralihan penggunaan energi, dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan serta ramah terhadap lingkungan. Di Indonesia, upaya peralihan tersebut membutuhkan sejumlah dorongan. Salah satu dorongan yang paling dibutuhkan saat ini ialah terkait dengan keberadaan payung hukum dan kebijakan ekonomi yang memihak untuk pengembangan energi baru, terbarukan dan konservasi energi (EBTKE). Kebijakan lain yang tidak kalah penting ialah penguatan peran pemerintah daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pengelolaan EBTKE di daerah.

Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) berinisiatif melakukan kajian terhadap penguatan peran pemerintah daerah dalam pengembangan EBTKE. Hal itu terlihat dalam diskusi publik yang dilakukan secara virtual dengan tema “Optimalisasi Pengembangan Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi dengan Penguatan Daerah (Konsepsi Proporsionalitas Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah)”, dengan menghadirkan pembicara Dr. Ir. Surya Darma, MBA yang merupakan Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia, Dr. Indah Dwi Qurbani, S.H., M.H. merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya serta Bisman Bhaktiar, S.H., M.H., M.M. yang merupakan Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan, di Jakarta, 11/12/2020.

Menurut Surya Darma, kondisi energi di Indonesia saat ini masih banyak menggunakan energi fosil. Hal itu terlihat secara dominan pembangkit listrik dan kegiatan aktivitas secara masih menggunakan energi tidak terbarukan tersebut. Selain itu kondisi lain yang menggambarkan pengelolaan energi saat ini ialah masih kuatnya dukungan kebijakan ekonomi terhadap penggunaan energi fosil. Kemudian adapun tantangan lain yang dihadapi ialah keterbatasan sumber daya manusia yang mampu mengelola teknologi energi baru dan terbarukan serta pemanfaatan sumber energi lainnya. Hal itu sangat terlihat dalam banyaknya tenaga kerja asing yang bekerja di sektor energi fosil dan pertambangan.

Surya Darma melanjutkan bahwa adapun isu strategis lainnya dalam pengelolaan energi ialah terkait dengan terbatasnya kemampuan produksi Migas Indonesia, yang mengharuskan Pemerintah banyak mengimpor Migas untuk menjamin ketersediaan energi. Menurutnya, seharusnya hal ini dapat dihindari karena energi terbarukan  memberikan peluang sebesar-besarnya bagi pengembangan energi alternatif. Dikatakannya bahwa orang di ESDM mengatakan bahwa dalam kondisi sekarang, kalau tidak ada temuan-temuan baru dari kegiatan pencarian sumur Migas, maka produksi kita akan habis kurang lebih sembilan tahun lagi. Artinya sebelum tahun 2030, cadangan Migas kita akan habis. Dengan begitu dalam waktu dekat ini, jika tidak ditemukan sumber minyak baru, maka kedepannya kita akan lebih banyak impor.

Menurutnya, Pemerintah harus melihat pemanfaatan dan penjaminan ketersediaan energi dalam jangka panjang, sehingga kebijakan yang diambil tidak bersifat short term, apalagi bersifat try and error. KEN, RUEN dan peraturan perundangan lainnya belum sepenuhnya jadi acuan Pengelolaan Energi Nasional. Selain itu, juga belum ada strategi percepatan investasi di sektor energi terbarukan untuk memenuhi target KEN. Hal lain yang sering menyita banyak perhatian ialah tidak adanya koordinasi antar kementerian.

Tantangan berikutnya ialah terkait dengan infrastruktur pengembangan EBTKE. Menurutnya, seharusnya mulai saat ini dukungan terhadap pengembangan EBTKE harus diprioritaskan. Karena pada prosesnya pengembangan pembangunan infrastruktur energi terbarukan membutuhkan waktu untuk merasakan manfaatnya. Misalnya pembangunan infrastruktur energi matahari, prosesnya membutuhkan waktu dua tahun kemudian baru dirasakan manfaatkan. Energi panas bumi juga demikian, harus menunggu sampai tujuh tahun kemudian baru diperoleh hasilnya. Pada dasarnya membutuhkan waktu

Saat ini, politik hukum pengembangan energi alternatif hanya terlihat dalam salah satu kebijakan energi nasional melalui Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dari kebijakan tersebut, terlihat ada beberapa langkah yang harus dilakukan, misalnya pertama terkait dengan memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan. Bagi Surya Darma, kata “memaksimalkan” tersebut belum memperlihatkan kesungguhan pemerintah dalam pengembangan EBTKE. Mestinya menggunakan kata “memprioritaskan”. Arah kebijakan lainnya ialah terkait dengan meminimalkan pemanfaatan minyak bumi, mengoptimalkan pemanfaatan gas dan energi baru, adanya pemanfaatan batubara sebagai pasokan energi nasional utama serta yang terakhir ialah terkait pemanfaatan pembangkit listrik tenaga nuklir sebagai opsi terakhir

Menurut Surya Darma, dari kebijakan tersebut, belum terlihat ada prioritas pemanfaatan energi terbarukan. Dalam penyusunan RUU EBT, METI mengusulkan bahwa penyusunan kebijakan tersebut harus menegaskan prioritas penggunaan EBT. Terkait dengan pemanfaatan minyak bumi. Nuklir menjadi opsi terakhir dalam pemanfaatan EBT. Dalam kondisi penggunaan sumber energi sejak tahun 2008 dan bayangan target penggunaan di tahun 2025 hingga tahun 2030, terlihat konsumsi energi pada tahun mendatang, energi terbarukan semakin meningkatkan

Oleh sebeb itu, menurut Surya Darma, bahwa tingginya capaian energi kedepannya  membutuhkan regulatory framework dalam mendukung pemanfaatan energi nasional. Tantangan yang dihadapi kedepan dan perlu diakomodasi dalam kerangka hukum nasional kita adalah tidak dapatnya diekspor (site specific). Hal ini disebabkan karena sumber dan peralatan infrastrukturnya banyak di desa. Selain itu juga membutuhkan waktu yang relatif lima sampai sepuluh tahun baru kemudian bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas.

Tantangan lainnya yaitu kebijakan ini tidak memerlukan lahan yang luas, tidak tergantung cuaca, supplier, ketersediaan fasilitas pengangkutan dan bongkar muat dalam pasokan bahan bakar. Adapun keuntungan yang baik adalah, ialah terkait dengan bebas dari resiko kenaikan harga bahan bakar fosil (Long term Contract). Jika ada kenaikan harga, energi terbarukan terbebas dari pengaruh tersebut. Terbebasnya dari resiko itu membuat pengelolaan EBT ada kepastian.

Secara spesifik Surya Darma mengatakan bahwa adapun aspek yang menjadi tantangan adalah hambatan-hambatan hukum seperti kontrol pemerintah dan insentif fiskal, terkait kepastian hukum, dan isu lainnya juga ialah terkait pengaturan energi baru terbarukan membutuhkan kompilasi peraturan, tidak seperti saat ini yang pengaturannya ada dalam berbagai undang-undang. Dari sisi aspek bisnis, perlakuannya tidak adil dengan kebijakan bisnis lainnya di energi. Tantangan lainnya datang dari sisi teknologi. Menurutnya, tantangan ini terjadi pada bagian transfer teknologi dan juga kemampuan sumber daya manusia. Tantangan yang tidak kalah penting adalah terkait kelembagaan atau institusi yang belum memiliki dukungan kebijakan baik.