Jakarta, PUSHEP – Kritik dan penolakan terhadap UU Minerba baru terus berdatangan dari sejumlah pihak, termasuk mahasiswa yang sedari awal memang menuntut agar Rancangan Undang-Undang (RUU) ini ditunda dan dihentikan pembahasannya, sebagaimana mereka suarakan dalam aksinya di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) dan beberapa tempat lainnya pada September 2019 lalu.
Namun demikian, DPR RI secara diam-diam tetap melakukan pembahasan bahkan menetapkan RUU perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ini menjadi Undang-Undang pada sidang Paripurna tanggal 12 Mei 2020.
Langkah DPR RI dan Pemerintah yang mengesahkan RUU Minerba di tengah pandemi COVID-19 tersebut dianggap sebagai bentuk pembungkaman suara kritis mahasiswa, demikian kata Alvianus Oktavianus Aha, Ketua Lembaga Kajian Energi dan SDA PP PMKRI, dalam Diskusi Interaktif Virtual yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP). (16/06).
Lebih lanjut Alvin menilai bahwa proses pengesahan RUU Minerba ini bermasalah dan melanggar ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan. Adapun permasalahan tersebut, urai Alvin, antara lain RUU Minerba tidak memenuhi syarat sebagai RUU carry over serta pembahasannya yang dilakukan secara tertutup dan tidak melibatkan masyarakat serta pihak-pihak terkait.
Selain prosesnya yang bermasalah, lanjut Alvin, isi UU Minerba baru juga penuh dengan pasal-pasal yang berpotensi merugikan rakyat dan negara. Terkait dengan hal ini setidaknya ada beberapa ketentuan yang disoroti oleh Alvin, mulai dari perpanjangan izin eksplorasi yang dapat dilakukan berkali-kali tanpa batasan, penguasaan badan usaha asing, pelemahan pengawasan, hingga berkurangnya sanksi pidana.
Dalam diskusi yang sama Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), Riyanda Barmawi, juga menyayangkan langkah DPR dan Pemerintah yang mengesahkan revisi UU Minerba di tengah pandemi demi mencari peluang kekosongan isu saat semuanya berfokus pada masalah COVID-19.
“Untuk siapa RUU Minerba ini? RUU ini tidak populis, tidak memihak, dan tidak dikehendaki oleh publik. Tapi atas alasan investasi dan bisnis korporasi pemerintah meminta DPR untuk membahas revisi UU Minerba sebelum Omnibus Law. Padahal materi RUU ini ada di Omnibus Law” Tandasnya.
Wakil Sekretaris Jenderal Energi dan SDA PB HMI ini menilai bahwa mulusnya pembahasan RUU Minerba di Komisi VII DPR RI tidak lepas dari keterlibatan perusahaan atau pemodal yang ingin melanggengkan kuasanya untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia.
“Ada 7 perusahaan PKP2B yang izinnya akan habis secara otomastis, mereka tidak mau melakukan lelang dan tidak mau dievaluasi. Mereka ingin izinnya diperpanjang secara otomatis oleh negara” kata Riyan.
“Ini berbahaya bagi kedaulatan hukum, kedaulatan politik, dan kedaulatan negara di mata para pemodal” tambahnya. Lebih lanjut, Riyan juga memaparkan besarnya dampak yang akan ditimbulkan apabila UU Minerba baru ini nantinya sudah berlaku efektif, khususnya dampak lingkungan bagi masyarakat sekitar wilayah tambang. Lebih dari itu, UU ini juga banyak mempersempit dan menghilangkan peran dan hak-hak para aktivis serta pejuang lingkungan untuk membela masyarakat, bahkan berpotensi mengkriminalisasi mereka.
Di akhir pemaparanya, Riyan, mewakili suara mahasiswa memberikan pernyataan sikap atas ditetapkannya UU Minerba baru ini, antara lain: Pertama, mendesak agar Presiden menunda atau tidak menandatangani revisi UU Minerba; Kedua, mendesak Presiden agar mengeluarkan Perpu untuk membatalkan revisi UU Minerba; Ketiga, apabila Presiden tidak mengeluarkan Perpu maka perlu ada desakan sipil, termasuk melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atau melakukan langkah hukum lainnya yang dimungkinkan oleh undang-undang.