Indonesiainside.id, Jakarta — Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) menilai proses perundangan Rencana Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba) cacat prosedur. Pushep memandang, beleid itu semestinya tidak disahkan hari ini.
Direktur Eksekutif Pushep, Bisman Bhaktiar, menyesalkan pngesahan UU itu. Ia mengatakan proses perundangan RUU Minerba berpotensi melanggar konstitusi dan mekanisme pembentukan undang-undang yang diatur dalam UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Prosesnya tidak layak disahkan hari ini. Prosesnya banyak kelemahan, misalnya terkait partisipasi publik, publikasi, dan pengambilan keputusan,” ujar Bisman kepada Indonesiainside.id, Selasa (12/5), di Jakarta.
Dengan demikian, lanjut Bisman, undang-undang pertambangan yang baru itu layak digugat ke Mahkamah Kosntitusi (MK) lewat judicial review (JR). “Banyak alasan yang bisa menjadi permohnan JR. Nanti diuji apakah undang-undang ini bertentangan atau tidak dengan konstitusi,” ujar dia.
Bisman menjelaskan, dalam proses formilnya, perundangan RUU Minerba tidak memenuhi asas kedaulatan rakyat dan asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Pun demikian dari sisi materilnya yang dinilai memuat pasal-pasal yang bertentangan dengan UUD 1945.
Bisman merinci, dalam pembentukan perundang-undangan semestinya memperhatikan partisipasi publik. Satu hal yang dianggap tidak ada dalam kajian RUU Minerba, apalagi soal transparansi.
“UU ini dibahas secara tertutup, tidak ada pembahasan terbuka. Bahkan publik untuk mencari drafnya saja susah,” tuturnya.
Kemudian, papar Bisman, soal tidak dilibatkannya Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam hal ini, DPD mestinya diikutkan dalam kajian karena menyangkut kewenangan sumber daya alam, kewenangan pusat dan daerah.
“DPD hanya satu kali diundang untuk memberikan masukan. Itu belum pembahasan, bahkan tidak ada DIM (daftar inventaris masalah) dari DPD,” paparnya.
Pengambilan keputusan baik di komisi maupun paripurna, kata dia, berpotensi melanggar konstitusi. Ini terutama terkait dengan cara pengambilan keputusan secara maya.
Pushep menyatakan, undang-undang ini tidak semestinya dalam bentuk rancangan perubahan, tapi RUU pengantian. Ini lantaran beleid itu mengubah sampai 80 persen substansi.
“Dari sisi proses ini saja banyak kelemahan. Ini layak untuk diajukan JR ke MK karena banyak cacat dalam pembentukannya,” ucap Bisman. (AS)