Beranda Publikasi Kegiatan

Penyusunan RUU EBT menjadi Isu Populer pemberitaan sektor Energi

1381

Pemantauan media terhadap pemberitaan sub sektor energi dan ketenagalistrikan  merupakan hal yang tidak kalah menarik dibanding sub sektor Migas atau Minerba dalam kajian catatan akhir tahun 2020 sektor energi dan pertambangan, yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP). Hal ini terungkap saat kegiatan catatan akhir tahun yang dibuat oleh PUSHEP dalam rangka mengulas kembali peristiwa penting sektor energi dan pertambangan. Kegiantan dilangsungkan agar menjadi pijakan menyambut atau menghadapi kebijakan tata kelola energi dan pertambangan. Hal itu disampaikan pada kegiatan Catatan Akhir Tahun 2020 sektor Energi dan Pertambangan melalui ruang virtual, di Jakarta, 15/12/2020.

Di sektor energi, isu yang paling mendapat banyak sorota adalah terkait dengan  Seleksi Calon Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Periode 2020-2025 telah ditetapkan, dan saat ini masih menunggu penetapan oleh Presiden. DEN adalah lembaga bersifat nasional, mandiri dan tetap yang bertanggungjawab atas Kebijakan Energi Nasional di Indonesia. DEN didirikan atas dasar amanat UU No. 30 Tahun 2007 Salah satu tugas DEN adalah menetapkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang penting untuk rencana energi energi negara kita.

Menariknya pemilihan/seleksi anggota DEN ini dilakukan sebanyak 2 (dua) kali, pertama 2019 dan 2020. Pada tahun 2019 DPR RI periode lalu telah menyelenggarakan fit and proper test anggota DEN, namun dengan alasan tidak memenuhi kualifikasi komisi VII menetapkan calon anggota DEN yang mengikuti seleksi tahun 2019 tidak terpilih. Hal tersebut menyebabkan calon anggota DEN yang mengikuti seleksi tahun 2019 tersebut melaporkan tindakan DPR ke Ombudsman RI. Kasus ini banyak mendapat atensi publik karena tindakan komisi VII waktu itu diduga bertujuan untuk menampung para politikus yang gagal ke Senayan.

Isu berikutnya yang mendapat banyak sorotan adalah terkait dengan masuknya Rancangan Undang-Undang EBT dalam program legislasi nasional. Rancangan Undang-Undang Energi Terbarukan (RUU EBT) sangat diperlukan untuk memudahkan dan mempercepat proses transisi dari penggunaan energi fosil menjadi energi terbarukan saat ini RUU EBT tersebut sedang dalam tahap penyusunan. Urgensi penguatan penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang energi baru, terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) mendesak pemerintah untuk mewujudkan kebijakan strategis guna mendukung capaian target bauran energi nasional hal ini dapat dengan kehadiran RUU EBT ini.

Berita lain yang juga mendapat banyak sorotan ada terkait dengan pengaturan EBT dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Melalui UU Cipta Kerja ini, pemerintah mempersingkat aturan perizinan pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung. Berikut bunyi perubahan Pasal 24 UU Ciptaker “Dalam hal kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung berada di Kawasan Hutan, pemegang Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi wajib memenuhi Perizinan Berusaha di bidang kehutanan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan

Adapun pemantauan media di sub sektor ketenagalistrikan banyak menyoroti terkait dengan kebijakan PLN hingga utang PLN itu sendiri. Isu pertama di sub sektor Ketenagalistrikan yang menuai perhatian adala terkait dengan proyek pembangkit tenaga listrik 35.000 Megawatt (MW) yang Terhambat. Kementerian ESDM mencatat bahwa pengerjaan tujuh proyek Pembangkit Tenaga Listrik 3.500 MW yang direncanakan selesai pada tahun 2023 terhambat pandemi dan diproyeksi mengalami keterlambatan jadwal operasi 1-2 tahun kedepan supaya bisa menyerap EBT. Ketujuh proyek tersebut terdiri dari 5 proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), 1 proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU), dan 1 Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).

Isu yang mendapat banyak sorotan adalah terkait di sektor Ketenagalistrikan adalah terkait dengan utang PLN tembus Rp600 Triliun. Merujuk laporan keuangan PLN kuartal I 2020, PLN memiliki utang jangka panjang Rp 537 triliun dan utang jangka pendek sebesar Rp 157,79 triliun. Dengan demikian, total utang PLN menjadi Rp 694,79 triliun. PT PLN (Persero) mengungkapkan utang perusahaan untuk membiayai proyek infrastruktur listrik 35.000 MW. Pada bulan November, Asian Development Bank (ADB) juga telah menyetujui pinjaman senilai US$ 600 juta atau setara Rp 8,46 triliun (kurs RP 14.100) untuk PT PLN (Persero). Bantuan ini diberikan untuk mendorong pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia bagian timur.

Kendatipun PLN memiliki utang yang mencapai Rp694, 79 triliun, rupanya di sisi lain Pemerintah juga memiliki utang kepada PLN. Pemerintah mempunyai hutang kepada PLN sebesar Rp 45 T. Namun sampai pada bulan Agustus, pemerintah hanya membayar hutang sebesar Rp 7 T dan menyisakan sisa hutang sebesar Rp 38 T. Pada bulan September, pemerintah membayar kembali hutang sebesar Rp 18 T. Di tengah kondisi pandemi, resiko finansial dan beban keuangan yang dialami, PLN berharap pemerintah segera melunasi hutang subsidi listrik. Hal itu untuk menjaga keberlangsungan BUMN tersebut.