Beranda Publikasi Kegiatan

Perlu Penambahan Kewenangan Daerah dalam Urusan Konservasi Energi dan Energi Terbarukan.

1673

 

Urgensi penguatan penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang energi baru, terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) mendesak untuk mewujudkan kebijakan strategis guna mendukung capaian target bauran energi nasional. Untuk itu, menurutnya, perlu penambahan kewenangan daerah dalam urusan konservasi energi dan energi terbarukan. Hal itu disampaikan oleh Drs. Nyoto Suwignyo, M.M. selaku Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah I, Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah (Ditjen Bangda) dalam keynote speak-nya yang diwakili oleh Ir. Tavip Rubiyanto, MP., sebagai Kepala Subdirektorat PSDM Ditjen Bangda pada kegiatan focus group discussion yang diselenggarakan atas kerja sama Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) dengan Ditjen Bangda, 19/11/2020.

Tavip Rubiyanto menyampaikan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai sumber daya energi yang melimpah. Baik dalam bentuk sumber energi fosil maupun non fosil. Namun, sampai saat ini sebagian besar sumber energi yang dihasilkan dan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari masih bersumber dari fosil, yang secara kuantitatif sekitar 90% dari total bauran energi.

Tingkat ketergantungan yang tinggi dan jumlah energi fosil yang jumlahnya terbatas, kemudian dapat memicu krisis energi apabila tidak segera mencari sumber energi alternatif. Oleh sebab itu, permasalahan energi akan menjadi fokus pemerintah di masa mendatang, mengingat dampak terhadap lingkungan dan kesehatan oleh pembakaran energi fosil untuk kegiatan sosial-ekonomi nasional.

Dalam rangka pengembangan energi alternatif, maka energi terbarukan merupakan salah satu sumber energi yang diharapkan dapat menggantikan posisi energi fosil dalam memenuhi kebutuhan energi nasional. Tavip Rubiyanto mengatakan bahwa PP No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) telah menetapkan target bauran EBT pada tahun 2025 paling sedikit sebesar 20.000 MW dan pada tahun 2050 paling sedikit sebesar 30%, sesuai dengan amanat UU 30 Tahun 2007 tentang Energi. Penjabaran lebih lanjut terkait terget tersebut dan penjelasan lainnya dituangkan dalam Perpres No.23 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional.

Dikutip dari dokumen RUEN tersebut, di antara permasalahan rendahnya pemanfaatan EBT sebagai sumber energi secara nasional, berdasarkan data dari Kementerian ESDM tercatat bahwa posisi EBT dalam bauran energi nasional hingga semester I pada tahun 2020 mencapai sebesar 9,15% dari rencana pencapaian target sebesar 23% pada tahun 2025. Besarnya gap mengindikasikan perlunya usaha yang besar untuk memperkecil gap yang ada, tidak hanya oleh pemerintah pusat namun juga pemerintah daerah.

Tavip Rubiyanto juga menyampaikan bahwa selain sektor energi juga dihadapkan pada tanggung jawab untuk mewujudkan target-target tertentu pada aspek-aspek yang berkaitan dengan konservasi energi. Konservasi energi pada prinsipnya dimaknai sebagai sistematis, terencana, dan terpadu guna melestarikan sumber daya energi dalam negeri serta meningkatkan efisiensi pemanfaatannya.

Konservasi energi juga memiliki peran strategis sebagai salah satu faktor yang dapat berkontribusi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca. Suatu kebijakan internasional yang menjadi komitmen Indonesia dalam pencapaian target sebagaimana kesepakatan dalam Conference of the Parties.  

Upaya konservasi energi (KE) menunjukkan adanya potensi efisiensi sebesar 52,3 MTEO di Tahun 2025 yang setara dengan efisiensi 17,4% terhadap PAO. Hal ini memberikan pengertian bahwa konservasi energi sangat strategis dalam kerangka kebijakan energi di Indonesia. Upaya pencapaian target-target tersebut di atas, selain menjadi tanggung jawab pemerintah pusat juga memerlukan dukungan dan kontribusi pemerintah daerah khususnya dalam hal penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah di bidang energi dan sumber daya mineral. Hal tersebut dapat terwujud apabila daerah mempunyai kewenangan yang cukup terkait pengelolaan EBT dan KE sebagai bagian dari penyelenggaraan urusan di bidang sumber daya energi dan mineral.

Tavip Rubiyanto mengungkapkan bahwa kewenangan pemerintah daerah secara normatif telah diatur dalam lampiran UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Kendati demikian dukungan tersebut masih relatif terbatas. Beda halnya dengan konservasi energi yang sama sekali belum diatur dalam UU Pemda tersebut.

Kenyataan ini tentu dapat melemahkan untuk mencapai target bauran energi. Keterbatasan atau ketiadaan kewenangan akan menjadikan daerah mempunyai gerak langkah yang terbatas dalam pengembangan program dan kegiatan terkait karena berkorelasi langsung dengan ketiadaan alokasi anggaran sebagai dasar pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan.

Tavip Rubiyanto menyampaikan bahwa kegiatan FGD ini sangat penting dan strategis untuk membahas lebih lanjut upaya untuk mengoptimalkan dukungan dan kontribusi daerah terhadap pencapaian target bauran energi dan konservasi energi, sekaligus penajaman terhadap konsep norma pengaturan kewenangannya dengan mengacu pada norma Pasal 15 ayat (2) dan (3)  UU Pemda, yang membuka peluang penambahan kewenangan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintah konkuren pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi. Oleh karena itu katanya, FGD ini juga diharapkan dapat menghasilkan rumusan yang nantinya bisa menjadi masukan untuk menyusun suatu kebijakan dalam konteks pembinaan penyelenggaraan urusan bidang ESDM kepada daerah.

Dalam kesempatan sesi diskusi, LN Puspa Dewi selaku Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur EBTKE menanyakan bahwa saat ini terlihat ada perbedaan kewenangan terkait kebijakan pelaksanaan dan pengelolaan program lain dengan program EBT? Puspa Dewi juga menyinggung bahwa terkait dengan peran strategis pemerintah daerah dalam EBT, bagaimana penerapan kebijakan dengan APBD yang dialokasikan kepada Pemda? Apakah sudah menjadi prioritas dalam APBD-nya untuk program EBT. Karena untuk program strategis daerah tentunya akan didukung dengan APBD untuk berbagai jenis kegiatan seperti survei potensi dan lain sebagainya.

Lebih lanjut, Puspa Dewi mengatakan bahwa apakah Kemendagri dalam hal ini Ditjen Bina Bangda telah menginventarisir BUMN yang bersifat EBT khususnya di provinsi dan kabupaten. Pada intinya pembangunan EBT untuk penerangan daerah yang belum berlistrik (khususnya daerah 3T). Tugas kami hanya melakukan pembangunan yang nantinya akan dihibahkan. Ketika sudah dihibahkan kepada pemerintah daerah maka tanggung jawab secara otomatis beralih kepada daerah. Namun sayangnya, sering kali pembangunan yang sudah kami hibahkan ini terbengkalai, tidak dirawat.

Menanggapi pertanyaan dari Puspa Dewi, Tavip Rubiyanto, menyatakan bahwa terkait konsepsi dengan korelasinya seperti apa dalam SDG’s, kami melihat fenomena yang ada saat ini bahwa ada beban yang ditanggung oleh daerah karena adanya target yang harus diemban oleh daerah berdasarkan RUED.

Ada juga beban untuk pencapaian SDG’s khususnya di sektor ESDM. Sementara apabila mencermati lampiran UU Pemda ada ketidaksesuaian antara beban dengan kapasitas. Saat ini yang menjadi perhatian kita, khususnya Dirjen EBTKE, ialah terkait dengan konservasi energi yang sama sekali tidak diatur dalam lampiran UU Pemda.

Apabila dilihat, saat ini telah sesuai dengan prinsip dalam UU Pemda yaitu efisiensi, akutanbilitas, dan eksternalitas. Pasal 15 UU Pemda memberikan peluang untuk meninjau kembali dan memberi ruang terkait apakah kewenangan yang sudah diatur dalam lampiran Undang-Undang sudah cukup mengakomodir atau belum.

Apabila dirasa masih belum mengakomodir dengan cukup baik maka bisa dilakukan penyusunan konsep pengaturan baru tentang pembagian kewenangan dalam konteks sub sektor ESDM khususnya konservasi energi. Sedangkan untuk BUMN, kita sudah melakukan koordinasi yang cukup lama dengan Dirjen EBTKE, masalahnya terletak pada program infrastruktur energi di daerah apakah menggunakan DAK atau bagaimana. Terkait data BUMN, kita tidak punya data dan ketika tanya ke provinsi juga tidak punya.

Selanjutnya diskusi dari Pak Zubaidi selaku Kepala Dinas ESDM Sumatera Utara, yang  menyampaikan beberapa kondisi atau permasalahan yang terjadi di Sumatera Utara. Khusus untuk Provinsi Sumut, masalah energi sudah cukup bagus. Tahun 2015, bauran energi di Sumatera Utara seperti minyak 54%, batubara 12,1%, gas 15%, dan EBT 7%. Kemungkinan di tahun 2025 akan mengalami perubahan dimana minyak menjadi 37%, EBT 33%, batubara 50% dan gas 15%. Terdapat peningkatan untuk pemakaian EBT nantinya.

Terkait permasalahan di Sumatera Utara yaitu tentang pengawasan terutama gas. Kami minta dibantu pemecahannya supaya perusahaan-perusahaan yang ada di Sumatera Utara lebih efektif capaian produksinya. Terkait permasalahan yang lain, potensi EBT di Sumut sangat luas, namun ada potensi yang belum tergali. Kami minta tolong kepada Dirjen EBTKE agar cepat memproduksi supaya target bauran energi bisa tercapai.