Beranda Berita

Ramai Dibahas Lagi Karena Gugatan Warga, Ini Fakta Terkait Tambang Emas Pulau Sangihe

1445

Media Magelang – Seorang ibu rumah tangga bernama Elbi Pieter dan sejumlah warga Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara resmi menggugat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait Kontrak Karya (KK) PT Tambang Mas Sangihe (TMS).

“Menyatakan batal atau tidak sah keputusan tergugat (Menteri ESDM) yaitu Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tanggal 29 Januari 2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe (objek sengketa),” demikian petitum dikutip dari laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta, 27 Juni 2021.

Tambang emas di Kepulauan Sangihe sempat menjadi perbincangan terlebih proyek ini mendapat penolakan dari Wakil Bupati Sangihe Helmut Hontong yang meninggal dalam perjalanan dari Denpasar ke Makassar pada 9 Juni 2021.

Berikut sederet fakta terkait tambang emas Sangihe yang kembali jadi perbincangan sebagaimana dirangkum Media Magelang dari berbagai sumber:

Kontrak Karya (KK) sudah ditanda tangani sejak 1997

PT Tambang Mas Sangihe (yang juga anak usaha perusahaan Baru Gold Corp asal Kanada) sudah menanda tangani kontrak karya pada 1997.

Maka timbul pertanyaan mengapa baru heboh diperbincangkan sekarang.

“Perusahaan sudah teken kontrak tahun 1997 dan sudah dilakukan kegiatan eksplorasi. Lalu, kenapa baru ribut sekarang? Ya, karena sekarang masuk dalam proses produksi dan eksploitasi yang membutuhkan beberapa izin yang menyertainya,” ujar Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) Bisman Bhaktiar kepada Media Magelang pada 29 Juni 2021.

Para aktivis menolak kegiatan tambang, LBH Manadao: Bukan urusan harga tanah

Rencana tambang ini mendapat penolakan keras dari para aktivis lingkungan mengingat Pulau Sangihe ini salah satu pulau kecil yang juga mempunyai kerentanan terhadap bencana alam.

“Sempat muncul pemberitaan bahwa penolakan masyarakat lokal adalah karena harga tanah yang dihargai terlalu murah (Rp 5.000 per meter persegi). Masalahnya bukan itu. Jika ada tambang, lalu masyarakat lokal ini mau dikemanakan? Di Sangihe juga terdampak sejumlah satwa endemik yang dikhawatirkan akan punah jika tambang ini ditersukan,: ujar Jackson Wenas dari LBH Manado dalam wawancara dengan Media Magelang 15 Juni 2021.

Warga lokal bernama Juli Takaliuang dari Save Sangihe Indonesia (SSI) dalam diskusi virtual yang diadakan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) pada 15 Juni lalu menyinggung soal luasan lahan yang akan dijadikan lokasi tambang.

“izin usaha produksi PT TMS luasannya 42.000 hektar yang mencakup tujuh kecamatan,80 kampung, dan jumlah penduduk sektar 58.000 jiwa. Jadi 57 persen wilayah sudah dicover PT TMS, kami sebagai putra putri Sangihe tidak akan rela sejengkal tanah menjadi lokasi tambang,: ujar Juli, menambahkan bahwa penolakan sudah masif di semua desa.

Juli menambahkan bahwa Pulau Sangihe adalah pulau yang ditetapkan BNPB sebagai salah satu pulau rawan bencana mengingat ada lempeng Pasifik dan lempeng Eurasia, serta lempeng Sangihe dan lempeng Maluku.

Selain itu ada dua gunung api bawah laut; Gunung api bawah laut Banua Wuhu dan Gunung api bawah laut Mangehetang.

Ketua WALHI Sulawesi Utara Theodoron Baronc Victor Runtuwene dalam wawancaranya dengan Media Magelang pada 23 Juni 2021 juga menjelaskan kekayaan Pulau Sangihe.

“Tuna yang ekspor ke Jepang adalah dari Sangihe. Belum lagi hasil alam yang melimpah seperti rempah-rempah. Jauh sebelum pemerintah menyerukan kita untuk menanam, masyarakat Sangihe sudah melakukan hal tersebut,” ujjar Theodoron.

Para aktivis menolak kegiatan tambang, LBH Manadao: Bukan urusan harga tanah

Rencana tambang ini mendapat penolakan keras dari para aktivis lingkungan mengingat Pulau Sangihe ini salah satu pulau kecil yang juga mempunyai kerentanan terhadap bencana alam.

“Sempat muncul pemberitaan bahwa penolakan masyarakat lokal adalah karena harga tanah yang dihargai terlalu murah (Rp 5.000 per meter persegi). Masalahnya bukan itu. Jika ada tambang, lalu masyarakat lokal ini mau dikemanakan? Di Sangihe juga terdampak sejumlah satwa endemik yang dikhawatirkan akan punah jika tambang ini ditersukan,: ujar Jackson Wenas dari LBH Manado dalam wawancara dengan Media Magelang 15 Juni 2021.

Warga lokal bernama Juli Takaliuang dari Save Sangihe Indonesia (SSI) dalam diskusi virtual yang diadakan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) pada 15 Juni lalu menyinggung soal luasan lahan yang akan dijadikan lokasi tambang.

“izin usaha produksi PT TMS luasannya 42.000 hektar yang mencakup tujuh kecamatan,80 kampung, dan jumlah penduduk sektar 58.000 jiwa. Jadi 57 persen wilayah sudah dicover PT TMS, kami sebagai putra putri Sangihe tidak akan rela sejengkal tanah menjadi lokasi tambang,: ujar Juli, menambahkan bahwa penolakan sudah masif di semua desa.

Juli menambahkan bahwa Pulau Sangihe adalah pulau yang ditetapkan BNPB sebagai salah satu pulau rawan bencana mengingat ada lempeng Pasifik dan lempeng Eurasia, serta lempeng Sangihe dan lempeng Maluku.

Selain itu ada dua gunung api bawah laut; Gunung api bawah laut Banua Wuhu dan Gunung api bawah laut Mangehetang.

Ketua WALHI Sulawesi Utara Theodoron Baronc Victor Runtuwene dalam wawancaranya dengan Media Magelang pada 23 Juni 2021 juga menjelaskan kekayaan Pulau Sangihe.

“Tuna yang ekspor ke Jepang adalah dari Sangihe. Belum lagi hasil alam yang melimpah seperti rempah-rempah. Jauh sebelum pemerintah menyerukan kita untuk menanam, masyarakat Sangihe sudah melakukan hal tersebut,” ujjar Theodoron.