Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) memandang regulasi di bidang energi dan pertambangan saat ini cenderung bertolak belakang atau tidak ramah investasi dengan program pemerintah untuk mendatangkan investasi dan mendukung percepatan proyek strategis nasional. Hal ini mengemuka dalam pemaparan hasil kajian Catatan Akhir Tahun 2021 Sektor Energi dan Pertambangan. Permasalahan dalam bidang tersebut terlihat pada sektor: migas, pertambangan minerba, EBT, dan ketenagalistrikan. Dalam diskusi tersebut dijabarkan berbagai temuan berupa isu yang banyak mendapat sorotan media dan perhatian publik. Hasil kajian tersebut mencatat berbagai permasalahan dalam tata kelola energi dan pertambangan.
Peneliti PUSHEP, Akmaluddin Rachim, mengatakan bahwa permasalahan yang paling menonjol saat ini ialah terkait dengan ketiadaan kepastian hukum dalam mendukung investasi di bidang energi dan pertambangan. “Di sektor pertambangan minerba misalnya, UU 3/2020, yang disahkan tahun lalu, kini oleh MK dinyatakan inkonstitusional bersyarat dalam Putusan Nomor 64/PUU-XVIII/2020 yang dibacakan pada 27 Oktober 2021” ucapnya.
Dalam putusan tersebut, MK menyatakan ketentuan Pasal 169A ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sepanjang frasa “diberikan jaminan” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “dapat diberikan”.
Selanjutnya MK menyatakan bahwa ketentuan Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UndangUndang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, sepanjang kata “dijamin” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “dapat”;
Putusan tersebut mengoreksi ketentuan izin tambang dalam UU Minerba yang dinyatakan oleh MK bertentangan dengan UUD 1945. Dalam putusan itu dipermasalahkan terkait frasa “diberikan jaminan” dan “dijamin” yang diatur dalam UU 3/2020 terkait ketentuan proses perpanjangan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) menjadi IUPK sebagai kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian.
“Adanya putusan tersebut menjadikan pelaku usaha pemegang KK/PKP2B kini tidak serta merta dapat diberikan IUPK sebagai kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian. Dengan demikian pelaku usaha tersebut harus melalui tahapan dan prosedur yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan untuk mendapatkan IUPK sebagai kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian”, kata Akmaluddin Rachim.
Masih di sektor pertambangan minerba, hal yang juga mengemuka dalam diskusi tersebut ialah terkait dengan aturan pelaksana dari UU 3/2020 tak kunjung terbit. Keadaan tersebut menyebabkan kegiatan usaha pertambangan di daerah mengalami kendala. Pemerintah sebelumnya mengungkapkan tengah menyusun empat aturan turunan yang sedang dipercepat pembahasannya. Tiga dalam bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan satu dalam bentuk Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres).
“Dalam realisasinya, aturan pelaksanaan UU 3/2020 kini baru terbit dan melanggar ketentuan UU 3/2020 itu sendiri. PP 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara baru diundangkan pada 9 September 2021. Aturan melanggar Pasal 174 UU 3/2020, yang menyatakan bahwa Peraturan Pelaksanaan UU Minerba harus ditetapkan dalam waktu satu tahun sejak undang-undang ini berlaku”, tegas Akmaluddin Rachim.
Di sektor migas, isu yang mengemuka terkait dengan hengkangnya sejumlah perusahaan besar atau investor dalam kegiatan usaha migas. Pertama, hengkangnya ConocoPhillips dari Blok Corridor mendapat perbincangan serius. Pemutusan kontrak tersebut membuat investasi sektor migas semakin mengkhawatirkan. Sebab hengkangnya ConocoPhillips dari Blok Corridor akan berpengaruh besar terhadap sektor hulu migas. Kedua, PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) juga resmi mengakhiri eksplorasi hingga produksi minyak bumi di Blok Rokan. Proses transisi yang dilakukan Chevron Indonesia beralih ke PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) telah berlangsung sekitar 2,5 tahun belakangan ini. Proses transisi itu di antaranya melakukan pengembalian data hingga pelaporan aset. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan alih kelola Wilayah Kerja Rokan diberikan kepada PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) hingga 20 tahun ke depan dengan participating interest 100% dan harus memberikan hak partisipasi sebesar 10% kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
“Hengkangnya para investor migas dari Indonesia tentu akan mengganggu target lifting migas kita. Sebelumnya Shell juga dilaporkan melepas 35% sahamnya di Blok Masela. Upaya pemerintah untuk menggenjot target 1 juta barel minyak per hari tentu akan terbengkalai. Kenyataan tersebut menandakan adanya permasalahan serius dalam kebijakan sektor migas. Apakah regulasi kita tidak mendukung iklim investasi dan tidak memberikan jaminan kepastian hukum? Hal ini perlu mendapat political will yang serius”, tutur Akmaluddin Rachim.
Perlu diketahui bahwa aturan main kegiatan usaha migas saat ini masih mengacu pada UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Padahal undang-undang a quo telah berkali dinyatakan oleh MK bertentangan dengan UUD NRI 1945. Namun hingga saat ini tak kunjung mendapat perbaikan. Bahkan dalam rencana revisi terhadap UU 22/2001 yang sempat didengung-dengungkan, juga belum masuk dalam agenda program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2022.
Adapun dalam sektor EBT, hal yang mendapat sorotoan ialah terkait proses pembentukan UU EBT. Dalam prolegnas prioritas tahun 2021, RUU merupakan salah satu rancangan undang-undang yang akan diprioritaskan pembahasannya untuk segera diundangkan. Namun pembahasan pembentukan RUU EBT sampai saat ini belum menunjukkan perkembangan terbaru. Pembahasan terakhir telah sampai pada tahap penyampaian pandangan mini fraksi. Hasilnya, Komisi VII DPR menyepakati RUU EBT untuk diusulkan menjadi RUU inisiatif Komisi VII dan selanjutnya disampaikan ke Badan Legislasi DPR untuk dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi.
“Sebelumnya, Komisi VII DPR RI menjanjikan bahwa RUU EBT ini akan ditargetkan selesai pada akhir 2021. Namun hingga kini belum ada kemajuan berarti. Publik banyak berharap terhadap RUU EBT ini sebab akan menjadi payung hukum penyelenggaraan tata kelola energi, proses transisi energi dan sebagai bentuk dukungan regulasi terhadap krisis perubahan iklim” ungkap Akmaluddin Rachim.
Sementara dalam sektor ketenagalistrikan, hal yang menyita perhatian publik adalah terkait kebijakan Kementerian ESDM yang menerbitkan Permen ESDM No 26 Tahun 2021 tentang Pembangkit Lisrik Tenaga Surya Atap yang Terhubung Pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum. Kebijakan tersebut merevisi Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 jo No. 13/2019 jo No.16/2019 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap oleh Konsumen PT PLN (Persero).
Kebijakan ini menuai protes dari sejumlah kalangan. Sembilan tokoh di sektor energi menyampaikan surat terbuka kepada Presiden sekaligus Ketua Dewan Energi Nasional (DEN). Pada pokoknya mereka menyoroti terkait percepatan penambahan kapasitas PLTS Atap dan bauran EBT 23%, yang bukanlah sebagai target yang mendesak harus dicapai, tanpa mempertimbangkan berbagai potensi kerugian yang akan timbul.
“Dari beberapa gambaran tersebut yang telah diuraikan, terlihat bahwa masalah utama yang dihadapi oleh pelaku usaha yang bergerak di bidang energi dan pertambangan ialah masalah regulasi. Masalah kepastian hukum dalam kegiatan investasi. Regulasi yang kita miliki belum mendukung iklim investasi”, pungkas Akmaluddin Rachim.
Lebih lanjut, Akmaluddin Rachim, mengatakan bahwa reformasi regulasi yang dibuat pemerintah melalui UU 11/2020 tentang Cipta Kerja juga tak berimplikasi banyak untuk menggaet investor asing masuk ke Indonesia. Adanya Putusan MK Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait dengan pengujian UU 11/2020 terhadap UUD NRI 1945 – yang menyatakan bahwa pembentukan UU 11/2020 bertentangan dengan UUD 1945 – semakin manambah buruk catatan undang-undang cipta kerja tersebut.
“Kenyataan tersebut harus segera mendapat perhatian serius dari pemerintah. Regulasi di sektor energi dan pertambangan harus diperbaiki. Tugas pemerintah harus menyediakan regulasi yang menarik bagi investor. Regulasi seperti apa yang menarik bagi investor? Tentunya regulasi yang memberikan kepastian hukum dan berpihak lingkungan hidup” ucap Akmaluddin Rachim