Renegosiasi Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) adalah amanat UUD 1945 pasal 33 dan UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pasal 169 yang bertujuan untuk peningkatan penerimaan negara dan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dari sektor pertambangan mineral dan batubara. Kata-kata dikuasai oleh negara dalam pengelolaan sumberdaya alam dalam pasal 33 UUD 45 diulang sebanyak dua kali yakni “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” dan “bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
Renegosiasi kontrak secara tegas diamanatkan pada Pasal 169 UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang mengamanatkan bahwa: a) kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian; b)ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) sebagaimana dimaksud pada huruf a disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara; dan c) pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada huruf b adalah upaya peningkatan penerimaan negara.
Sebagai konsekuensinya renegosiasi kontrak harus dilakukan terhadap 37 perusahaan KK dan 76 perusahaan PKP2B yang masih aktif saat ini meskipun kontraknya telah ditandatangani sebelum disahkannya UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Sementara ini sampai saat ini proses renegosiasi tersebut masih berlarut-larut dan belum jelas hasilnya, sehingga jika kondisi ini dibiarkan berlanjut maka akan merugikan penerimaan negara dan daerah dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), pajak dan retribusi yang berjumlah triliunan rupiah yang dapat terjadi dalam jangka panjang.
Point-point krusial yang menyebabkan sejumlah perusahaan KK dan PKP2B menolak melanjutkan renegosiasi adalah menyangkut:
- bahwa perusahaan KK dan PKP2B menolak melakukan penyesuaian terhadap UU No. 28 tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah dan PP No. 45 tahun 2003 tentang Tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku di Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral. Hal ini disebabkan karena hingga saat ini perusahaan beranggapan bahwa KK dan PKP2B masih bersifat Lex Specialist artinya adanya perlindungan terhadap kontrak yang sedang berjalan dari perubahan-perubahan persyaratan dan peraturan yang bersifat umum serta sifat Nailed Down pada KK dan PKP2B artinya kontraktor tidak menjadi subjek terhadap lain-lain pajak, bea-bea dan pungutan-pungutan, sumbangan-sumbangan dan pembebanan-pembebanan atau biaya-biaya yang sekarang maupun dikemudian hari dipungut, dikenakan atau disetujui oleh pemerintah selain dari yang ditetapkan dalam KK dan PKP2B.
- perusahaan KK dan PKP2B menolak melakukan penciutan luas wilayah dimana UU No. 4/2009 membatasi Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) hanya 25.000 (dua puluh lima ribu) hektar bagi perusahaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi mineral logam dan WIUP seluas 15.000 (lima belas ribu) hektar bagi perusahaan IUP operasi produksi untuk batubara.
- perusahaan KK dan PKP2B menolak perubahan dari kontrak menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) baik mineral maupun batubara yang perpanjangannya dilakukan oleh Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangan cakupan wilayah mineral dan batubara disuatu daerah.
- perusahaan KK dan PKP2B menolak melakukan pengolahan dan pemurnian mineral dan batubara didalam negeri dengan dua alasan; 1. pembangunan smelter bukan core bisnis mereka, 2. sudah adanya kontrak yang sifatnya jangka panjang antara perusahaan KK dan PKP2B dengan sejumlah perusahaan smelter di luar negeri.
Point penting yang perlu diperhatikan pada renegosiasi Kontrak adalah bahwa Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Barubara (PKP2B) tidak lagi bersifat lex specialist dan nail down sejak diberlakukannya UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terhitung sejak tgl 12 Januari 2009 karena bertentangan dengan pasal 128, 129, 130, 131, 132 dan 133 UU tersebut yakni pasal yang menyangkut Pendapatan Negara dan Daerah. Selain itu, Tindakan perusahaan menolak melakukan penciutan wilayah baik untuk KK maupun PKP2B bertentangan dengan pasal 53 dan pasal 62 UU No. 4 tahun 2009.
Dengan demikian tidak ada alasan apapun bagi perusahaan KK dan PKP2B untuk tidak patuh dan harus tunduk terhadap peraturan perundangan yang berlaku dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk renegosiasi KK dan PKP2B tetap dilanjutkan karena jika tidak akan berpotensi merugikan negara dalam jangka panjang dan melanggar undang-undang yang telah disepakati antara Pemerintah dan DPR RI mengingat penundaan ini telah melebihi batas waktu 1 tahun sebagaimana diamanatkan oleh UU Minerba.