JAKARTA – Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) perlu segera direvisi karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan masih terdapat sejumlah kelemahan. Revisi itu harus mengatur tentang kepastian entitas SKK Migas sebagai BUMN atau opsi lainnya sebagai otoritas hulu migas.
Pakar energi, Luluk Sumiarso, berpendapat setelah UU direvisi, penyelenggara kegiatan hulu migas harus diperjelas entitasnya dengan pilihan sebagai BUMN atau otoritas seperti OJK.
Menurut dia, jika menjadi BUMN, SKK Migas sebaiknya secara fungsi dan kewajiban berada di bawah koordinasi Kementerian ESDM sebagai kementerian teknis, bukan Kementerian BUMN.
“Lebih baik tunduknya terhadap kementerian teknis saja walaupun entitasnya kuat sebagai BUMN. Posisinya dapat seperti PT Pertamina,” kata Luluk yang juga mantan direktur jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM di sebuah diskusi bertajuk “Visi Misi dan Rencana Strategis Migas dan Coal Bed Methane (CBM)” di Jakarta, Selasa (13/5).
Menurut dia, SKK Migas yang dibentuk setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan BP Migas bertentangan dengan UUD 1945 pada 2012 belum memiliki payung hukum yang secara tegas mengatur fungsi penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu migas. ”Hingga kini, kan masih sebatas lembaga yang fungsinya langsung diawasi oleh Kementerian ESDM,” ujar dia.
Untuk alternatif kedua, kata Luluk, posisi SKK Migas sebaiknya disamakan dengan fungsi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan begitu, SKK Migas memiliki kewenangan khusus di sektor hulu untuk mengawasi secara langsung industri hulu migas.
Pakar hukum energi, Bisman Bhaktiar, dari Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan menambahkan UU Migas memang sudah sangat mendesak direvisi.
Terkait pengelolaan industri gas metana batu bara (CBM), dia meminta revisi UU Migas harus mengakomodasi landasan hukum mengenai investasi asing untuk pengembangan CBM. “Di UU-nya sekarang, tidak ada satu kata pun tentang CBM. Ke depan, harus ada landasan hukum pengelolaan CBM yang jelas. Begitu juga deskripsi mekanismenya, termasuk investasi,” ujarnya.
Sekretaris Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Gde Pradyana, mengatakan SKK Migas butuh kepastian hukum. “Kita membutuhan kepastian hukum, tidak mesti dalam bentuk fiskal, tetapi dukungan regulasi yang dapat memperlancar proses eksplorasi dan produksi,” katanya.
Gde mengatakan antara eksplorasi dan produksi sangat erat kaitannya dengan rencana strategi perkembangan ke depan. Dalam menjaga ketahanan energi di bidang migas, cadangan yang sudah dikuras harus diganti dengan penemuan cadangan baru. Dia berharap UU Migas yang baru nanti menjamin kepastian eksplorasi dan peningkatan produksi migas.
Manajer Legal Division Indonesian Petrolium Association (IPA), Andi Ismail Mackulau, berpendapat UU Migas yang ada saat ini berdampak pada ketidakpastian hukum yang selanjutnya menimbulkan kegamangan dan kerugian pada pelaku usaha. Karena itu, UU tersebut harus segera direvisi.