KORAN-JAKARTA.COM – Pemerintah diminta untuk menghentikan negosiasi dengan PT Freeport Indonesia dan tidak perlu lagi berunding tentang divestasi dan perubahan kontrak karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) serta perizinan ekspor mineral mentah. Pemerintah diharapkan tak lagi mengikuti permainan Freeport yang terkesan mengulur-ulur waktu.
Ahli Hukum Tambang dari Pusat Studi Hukum Energi & Pertambangan (PUSHEP), Bisman Bhaktiar, menegaskan pemerintah harus konsisten dengan UU Mineral dan Batu Bara. “Sudah saatnya, pemerintah tegas kepada Freeport, silakan Freeport melanjutkan usahanya hingga 2021 dan ikuti undang-undang yang berlaku dan selanjutnya Freeport hengkang dari Papua,” ungkapnya, di Jakarta, Minggu (1/10).
Pernyataan tersebut merujuk pada surat CEO Freeport McMoRan Inc, Richard Adkerson, yang menolak divestasi saham Freeport tuntas pada 2021. Freeport menghendaki divestasi selesai pada 2041. Menurut Bisman, isi surat tersebut tidak sesuai dengan yang disampaikan pemerintah melalui Menteri ESDM pada 29 Agustus lalu. Dalam perundingan itu, pemerintah mengklaim kedua pihak telah mencapai kesepakatan final yang di antaranya kesepakatan divestasi 51 persen.
Dengan adanya surat penolakan ini, berarti apa yang disampaikan pemerintah saat itu tidak sesuai. “Sudah terbukti bahwa Freeport susah diajak berunding dan kemungkinan juga tidak menjalankan hasil kesepakatan dan tidak patuh pada hukum Indonesia, termasuk kewajiban membangun smelter yang sampai saat ini tidak dilaksanakan. Karena itu, tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk tunduk pada Freeport,” jelasnya.
Dalam konteks Freeport yang kontraknya bakal habis selesai pada 2021, Bisman menilai divestasi tentunya tidak tepat. Dia menambahkan, semestinya tunggu saja hingga 2021, wilayah kerja tambang milik Freeport di Papua akan sepenuhnya kembali ke pemerintah Indonesia tanpa harus membeli saham Freeport.
Menurut dia, pengelolaan selanjutnya bisa oleh BUMN Indonesia dan ucapkan selamat tinggal Freeport. Apabila tidak memperpanjang kontrak Freeport, posisi tawar Indonesia akan jauh lebih tinggi. Di sisi lain, pertimbangan lainnya, lanjut Bisman, divestasi dari sudut pandang kepentingan nasional seolaholah sangat nasionalis dan merupakan kemenenangan pemerintah Indonesia.
Padahal, tidak demikian. “Divestasi ini nanti dikhawatirkan malah akan diisi oleh investor cukong dari negara tertentu yang saat ini sedang gencar-gencarnya menguasai perekonomian Indonesia. Yang lebih aneh, Indonesia akan memiliki 51 persen saham di Freeport, namun kendali operasi masih sepenuhnya berada di Freeport, ini jelas kerugian bagi Indonesia,” paparnya.