Pemerintah dipaksa selalu mengikuti kepentingan Freeport.
Adapun sejumlah hasil perundingan antara Pemerintah dan Freeport McMoran sebagai berikut:
|
Menanggapi hasil perundingan tersebut, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (PUSHEP), Bisman Bakhtiar, mengatakan hasil perundingan yang disampaikan oleh Menteri ESDM sesungguhnya bukan merupakan kabar baik bagi Indonesia, tetapi lagi-lagi Pemerintah dipaksa selalu mengikuti kepentingan Freeport.
Terkait perubahan landasan hukum yang mengatur hubungan antara Pemerintah dan PT Freeport Indonesia (PTFI) berupa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Bisman menjelaskan bahwa itu mengandung maksud yang baik. Dengan bentuk izin negara akan mempunyai posisi yang lebih tinggi dan berlaku rezim hukum administrasi dan tata usaha negara yang lebih merepresentasikan penguasaan negara atas sumber daya pertambangan Indonesia.
Hal ini berbeda jika masih menggunakan sistem kontrak. Menurut Bisman, dengan menggunakan sistem kontrak,para pihak (pemerintah/negara dan PT Freeport) dalam posisi yang setara dan menggunakan rezim hukum perdata. “Karena posisi setara, maka kontrak (karya) tidak merepresentasikan penguasaan negara atas sumber daya pertambangan Indonesia,” ujar Bisman.
Namun Bisman memberi catatan, perubahan Kontrak Karya Freeport menjadi IUPK saat ini, tidak sesuai dengan UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Menurut UU Minerba, IUPK hanya dapat diberikan di Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang ditetapkan menjadi Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK) atas persetujuan DPR RI.
“Jadi pemberian IUPK saat ini kepada PT Freeport jelas merupakan pelanggaran hukum, jika hal ini dilakukan seharusnya dilakukan revisi dahulu terhadap UU 4/2009,” kata Bisman.
Menurut Bisman, pemberian IUPK kepada Freeport sebenarnya hanya merupakan siasat atau akal-akalan untuk melegitimasi tujuan utamanya,yaitu pemberian izin ekspor mineral mentah kepada Freeport atau memberi kebebasan kepada Freeport untuk tidak melaksanakan amanat UU Minerba yang mewajibkan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.
Kemudian terkait divestasi, menurut Bisman, dari sudut pandang kepentingan nasional seolah-olah sangat nasionalis dan merupakan “kemenenangan” Pemerintah Indonesia, padahal tidak demikian. Perlu menjadi perhatian bahwa divestasi ini adalah membeli saham yang artinya Pemerintah Indonesia (yang bisa melalui BUMN) mengeluarkan dana yang sangat besar untuk membeli saham PT Freeport.
“Dari mana dana untuk membeli saham tersebut yang nilainya lebih dari Rp110 triliun, apakah Pemerintah punya dana sebesar itu? dipastikan konsorsium seluruh BUMN tambang digabung pun tidak cukup mampu punya dana untuk membeli 51% saham PT Freeport,” ujar Bisman.
Melihat durasi kontrak PT Freeport yang akan selesai pada tahun 2021, menurut Bisman divestasi tidaklah tepat. Harusnya Pemerintah menunggu hingga tahun 2021, wilayah kerja tambang milik Freeport di Papua akan sepenuhnya kembali ke Pemerintah Indonesia tanpa harus membeli saham Freeport. Menurut Bisman, dengan divestasi justru akan menjebak Indonesia untukterusmemberikan perpanjangan kepada Freeport.
Selanjutnya terkait pembangunan smelter dengan durasi maksimal 5 tahun setelah IUPK. Dengan kata lain, maksimal pada tahun 2022 PT Freeport Indonesia sudah harus membangun smelter kecuali terdapat kondisi force majeur.
Menanggapi hal ini Bisman menyampaikan sesungguhnya kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dengan membangun smelter sudah ditegaskan oleh UU 4/2009 paling lambat tahun 2014dan diperpanjang sampai tahun 2017, namun hingga saat ini dengan berbagai alasan Freeport tidak juga membangun smelter dan seolah sengaja mengulur-ulur waktu.
“Hasil perundingan yang memberikan tenggat waktu hingga tahun 2022 ini jelas pelanggaran terhadap UU 4/2009 dan merupakan ketidakberdayaan Pemerintah Indonesia yang untuk kesekian kalinya harus memberikan kelonggaran kepada Freeport,” ujarnya.
Menanggapi perihal stabilitas penerimaan negara, Bisman mengapresiasi jika akan ada kenaikan penerimaan negara, namun ia menyayangkan besarannya yang tidak siginifikan. Menurut Bisman,selama ini penerimaan negara dari Freeport sangat kecil tidak sebanding dengan kekayaan dan keuntungan yang diambil oleh Freeport. Dalam laporan tahun 2016 penerimaan negara dari Freeport yang terdiri dari royalti, pajak dan pungutan lain hanya sekitar Rp4,9 triliun dan sudah sejak tahun 2012 tidak pernah menerima dividen dari Freeport.
“Hal ini tidak sebanding dengan keuntungan dan kekayaan yang didapatkan oleh Freeport, serta kerusakan alam dan ongkos sosial yang harus ditanggung oleh Indonesia,” pungkas Bisman.
Kerangka Kerja Jangka Panjang
PT Freeport Indonesia (PTFI) telah mengumumkan kerangka kerja jangka panjang setelah mencapai perkembangan proses perundingan akhir dengan pemerintah Indonesia. “Kami dengan senang hati mengumumkan suatu kesepakatan kerangka kerja guna mendukung operasi dan investasi yang sedang kami jalankan di Papua. Tercapainya kesepahaman mengenai struktur kesepakatan bersama merupakan hal yang signifikan dan positif bagi seluruh pemangku kepentingan,” kata Presiden dan Chief Executive Officer PTFI Richard C. Adkerson melalui keterangan tertulis.
Berdasarkan keterangan resmi yang diterima Antara, Rabu (30/8), PTFI akan mengubah bentuk Kontrak Karya menjadi suatu izin khusus (IUPK) yang akan memberikan hak-hak operasi jangka panjang bagi PTFI hingga 2041.
Selanjutnya, Pemerintah akan memberikan jaminan kepastian fiskal dan hukum selama jangka waktu IUPK. Kemudian, PTFI akan berkomitmen membangun “smelter” baru di Indonesia dalam lima tahun.
Freeport-McMoran akan setuju melakukan divestasi kepemilikannya di PTFI berdasarkan harga pasar yang wajar sehingga kepemilikan Indonesia atas saham PTFI akan menjadi 51 persen. “Pekerjaan penting masih harus dilakukan untuk mendokumentasikan kesepakatan ini, dan kami berkomitmen untuk menyelesaikan dokumentasi tersebut sesegera mungkin di tahun 2017,” kata Adkerson.