Tafsir Penguasaan Negara dalam UU Ketenagalistrikan, Dipersoalkan
Tafsir terhadap prinsip penguasaan oleh negara dalam Undang-Undang No 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan) dipersoalkan. Pengaturan terhadap prinsip “penguasan oleh negara” dalam undang-undang a quo dapat dilihat dalam ketentuan Bab VII Usaha Ketenagalistrikan, pada bagian kedua tentang usaha penyediaan tenaga listrik, yang diatur dalam Pasal 10 dan 11 UU Ketenagalistrikan.
Pasal 10 ayat (2) UU Ketenagalistrikan menyebutkan bahwa: “Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara terintegrasi.” Sedangkan Pasal 11 ayat (1) UU Ketenagalistrikan mengatakan bahwa: “Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik.
Pengaturan tersebut lantas mendapat sorotan oleh sejumlah pihak, dikarenakan terdapat ketentuan yang dianggap bertentangan dengan prinsip “penguasaan oleh negara” dalam UUD 1945. Hal yang dianggap bertentangan adalah ketentuan Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1) UU Ketenagalistrikan. Pasal 10 ayat (2) UU Ketenagalistrikan, sepanjang frasa “dapat dilakukan secara terintegrasi”, dianggap membuka kemungkinan dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, dapat dilakukan secara terintegrasi atau tidak terintegrasi (unbundling). Mahkamah Konstitusi dalam putusannya, menyatakan Pasal 10 ayat (2) UU Ketenagalistrikan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila diartikan dibenarkannya praktik unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sedemikian rupa sehingga menghilangkan kontrol negara sesuai dengan prinsip “dikuasai oleh negara”.
Perlu diketahui bahwa terhadap Pasal 10 ayat (2) UU Ketenagalistrikan telah pernah dimohonkan pengujian dan dinyatakan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (Putusan Mahkamah Nomor 149/PUUVII/2009). Alasan yang dijadikan dasar pertimbangan penolakan adalah bahwa rumusan yang terdapat dalam Pasal 10 ayat (2) UU Ketenagalistrikan berbeda dengan rumusan yang terdapat dalam Pasal 16 Undang- Undang 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, yang secara jelas memuat prinsip unbundling dan telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945,
Namun, dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi 2015, Mahkamah manyatakan bahwa dasar pertimbangan pada saat itu (Putusan Mahkamah Nomor 149/PUU-VII/2009) didasari adanya keyakinan bahwa UU Ketenagalistrikan a quo, khususnya berdasarkan Pasal 10 ayat (2), tidak akan menerapkan prinsip unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Pada perkembangannya selanjutnya, terdapat argumentasi baru yang diajukan oleh Pemohon, yang kemudian dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi (Putusan Nomor 111/PUU-XIII/2015). Dari argumentasi tersebut, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 111/PUU-XIII/2015, menyatakan Pasal 10 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila diartikan dibenarkannya praktik unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum
Sementara itu, ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) UU Ketenagalistrikan, sepanjang frasa badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik, diangggap bertentangan dengan prinsip “dikuasai oleh negara”. Atas dasar tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila rumusan Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2009 dimaknai hilangnya prinsip “dikuasai oleh negara”.
Dalam pertimbangannya, putusan terhadap Pasal 11 UU Ketenagalistrikan, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa secara singkat dapat dikatakan bahwa tidak terdapat larangan bagi keterlibatan pihak swasta dalam penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, sepanjang masih berada dalam batas-batas penguasaan oleh negara dalam pengertian bahwa negara (pemerintah) masih memegang kendali terhadap keterlibatan pihak swasta dimaksud. Jika keterlibatan swasta saja, baik nasional maupun asing, tidak dilarang sepanjang masih di bawah penguasaan negara, maka tentu menjadi tidak logis apabila keterlibatan masyarakat secara swadaya atau melalui koperasi dinyatakan dilarang, sebagaimana dikehendaki Pemohon.
Permasalahannya kemudian adalah rumusan yang tertuang dalam seluruh ketentuan Pasal 11 UU Ketenagalistrikan di atas belum tampak jelas apakah keterlibatan pihak-pihak, sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (1) UU Ketenagalistrikan tersebut, berada di bawah kendali negara. Berdasarkan seluruh pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa sepanjang konstitusionalitas Pasal 11 ayat (1) UU Ketenagalistrikan adalah inkonstitusional secara bersyarat sepanjang rumusan dimaknai hilangnya prinsip penguasaan oleh negara. Namun demikian, Putusan Mahkamah Konstitusi ini dianggap belum memberikan kepastian hukum bagi penyelanggaraan ketenagalistrikan, khususnya bagi pelaku usaha swasta yang telah dan akan mengusahakan ketenagalistrikan di Indonesia, termasuk usaha ketenagalistrikan yang berbasis energi baru dan terbarukan.
Dari uraian singkat di atas, maka akan diadakanlah diskusi tentang tafsir penguasaan oleh negara dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, di Grand Sahid Hotel, Jakarta, Rabu 9/5/2019. Prof. Aidul Fitriciada Azhari menyampaikan pokok-pokok pikirannya terkait dengan “Penafsiran Hak Menguasai Negara dalam Pasal 33 UUD NRI 1945 Dikaitkan dengan Usaha Ketenagalistrikan”. Menurut Prof Aidul, bahwa pemaknaan terhadap Putusan MK 111/PUU-XIII/2015 harus dimaknai bahwa hal tersebut bersifat conditionally inconstitutional (bertentangan dengan konstitusi secara bersyarat).
“Putusan a quo dikategorikan sebagai putusan interpretative yang tidak membatalkan norma, melainkan hanya memberikan penafsiran atas norma. MK membuat tafsir konstitusi secara khusus terkait dengan norma dari pasal yang diuji. Tafsir konstitusional ini baru dapat dipahami dan dinilai dari penerapan hukum dari pasal yang diuji dalam rumusan aturan di bawah UU”, ujar Prof Aidul.
Lebih lanjut, menurut Guru Besar FH Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), mengatakan bahwa penegasan kembali kedudukan negara dalam kepemilikan publik atas cabang produksi dan SDA. “Penegasan peran aktif negara dalam kehidupan ekonomi melalui kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad). MK juga menegaskan kedudukan Negara (c.q. BUMN) adalah the leading-force dalam perekonomian Negara, termasuk dalam usaha ketenagalistrikan. Maka dari itu, Putusan MK menegaskan kembali sistem unbundling dalam usaha ketenagalistrikan adalah bertentangan dengan UUD 1945”, ucapnya.
Pada bagian akhir, Prof Aidul yang juga merupakan Ketua Komisi Yudisial periode 2016-2018, menyampaikan bahwa keterlibatan perusahaan swasta, swadaya masyarakat dan koperasi dapat dilakukan sejauh di bawah kendali atau kontrol negara. “Keterlibatan swasta, swadaya masyarakat dan koperasi harus dikendalikan oleh Negara untuk memastikan agar penyediaan ketenagalistrikan dapat melayani kepentingan umum dan tidak berkembang menjadi komoditas ekonomi yang berorientasi pasar semata-mata”, tegasnya.
Untuk memaknai hak pengusaan negara dalam putusan MK tersebut, secara komprehensif, pemaparan dikemukakan oleh Dr. Hamdan Zoelva. Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2013-2015 tersebut, mengemukakan pokok pokok pikirannya terkait dengan “Pemaknaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 111/PUU-XIII/2015 secara Praktik Ketatanegaraan”. Menurutnya, pada perkembangan saat ini, terdapat tiga pemaknaan terhadap konsep hak pengusaan negara berdasarkan Putusan MK Putusan MK 001-021-022/PUU-I/2003.
Ketiga pemaknaan tersebuat, antara lain: makna pertama, dikuasai oleh negara bila negara melakukan kekuasaan “mengatur (regelendaad), mengurus (bestuuradaad), mengelola (beheersdaad), mengawasi (toezichthoedensdaad), yang mengacu pada Putusan MK 001-021-022/PUU-I/2003). Makna kedua, unsur terpenting dari penguasaan negara adalah “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” dengan empat tolok ukur yaitu : (i) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, (ii) tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, (iii) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, serta (iv) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam, dengan berdasar pada Putusan MK No. 3/PUU-VIII/2010, hal. 161.
Adapun makna terpenting dari konsep penguasan negara, dapat dilihat dari pemaknaan ketiga yang dikemukakan oleh pria kelahiran Kota Bima ini. Hamdan Zoelva mengatakan bahwa makna ketiga, untuk mencapai tujuan penguasaan negara yaitu “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, maka bentuk penguasaan negara diberi peringkat berdasarkan kemampuan negara, yaitu : peringkat pertama; negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam, peringkat kedua; negara membuat kebijakan dan pengurusan, serta peringkat ketiga; negara melakukan pengaturuan dan pengawasan, yang merujuk pada ketentuan Putusan MK No. 36/PUU-X/2012, hal. 101.
“Sepanjang negara mampu melakukan penguasaan SDA dan produksi yang penting bagi negara, maka negara harus mengambil bentuk penguasaan Tingkat Pertama. Selanjutnya apabila belum mampu, maka penguasaan peringkat kedua, dan seterusnya peringkat ketiga sebagai peringkat yang benarbenar dalam keadaan lemah”, ujar Hamdan Zoelva
Prof. Hikmahanto Juwana menyampaikan pokok-pokok pikirannya yang terkait dengan “Aspek Kontraktual Power Purchase Agreement (PPA) Pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 111/PUU-XIII/2015”. Menurutnya PPA tidak serta-merta batal demi hukum, mengingat perlu tidaknya menunggu apa yang diputuskan oleh MK ditranasformasikan ke dalam suatu UU. “Pada prakteknya, menunjukkan pembatalan harus diajukan ke pengadilan. Perlu juga dilihat apakah dalam PPA ada ketentuan tentang keterpisahan. Bila tidak ada, apakah para pihak akan merundingkan kembali pasal yang dinyatakan batal tanpa mengurangi tujuan komersial dari pasal”, ungkapnya.
Prof Hikmahanto menambahkan bahwa pengajuan ke pengadilan tidak bisa dilakukan serta-merta tanpa melihat ada tidaknya dalam perjanjian pasal yang mengatur tentang keterpisahan (severability). “Pasal tentang keterpishan intinya mengatur bila ada ketentuan dalam kontrak yang dinyatakan batal oleh hukum, maka para pihak akan menegosiasikan pasal tersebut sehingga tidak batal menurut hukum dan tujuan komersial tetap terjaga”, imbuhnya.
Oleh sebab itu, Prof Hikmahanto menyatakan bahwa apakah dengan suatu putusan MK yang isinya membatalkan suatu pasal atau UU secara langsung berdampak pada kontrak yang didasarkan pada pasal atau UU yang dibatalkan? Menurutnya jawaban atas hal ini ada dua: “Perjanjian dianggap batal setelah ada putusan yang membatalkan pasal atau UU yang mendasari perjanjian. Perjanjian tidak batal sepanjang pembentuk UU belum melakukan amandemen atas pasal atau UU yang telah dibatalkan oleh MK” ungkapnya.
Terkait dengan topik “Perlindungan Hukum Pelaku Usaha Ketenagalistrikan Sektor Energi Baru Terbarukan Pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 111/PUU-XIII/2015”, akan disampaikan oleh Ahmad Redi. Ahmad Redi menyampaikan bahwa dasar hukum yang digunakan dalam penyelenggaraan usaha ketenagalistrikan sektor Energi Baru Terbarukan (EBT), mengacu pada Permen ESDM No.10/2017 tentang Pokok-pokok Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (Permen ESDM No. 49/2017 tentang Perubahan Permen ESDM No.10/2017 tentang Pokok-pokok Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik dan Permen ESDM No. 10/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Permen ESDM No.10/2017 tentang Pokok-pokok Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik) dan Permen ESDM No. 50/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Pemanfataan Tenaga Listrik (Permen ESDM No. 53/2018 tentang Perubahan Atas Permen ESDM No. 50/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Pemanfataan Tenaga Listrik).
“Permen ESDM No.10/2017 tentang Pokok-Pokok Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik dengan berbagai perubahannya dan Permen ESDM No. 50/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Pemanfataan Tenaga Listrik, tidak selaras dengan Putusan MK No. 111/PUU-XII/2015, bahkan dengan Putusan MK Nomor 001-021-022/PUU-I/2003” kata Ahmad Redi yang juga merupakan Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute.
Selain itu, Redi (sapaan akrab Ahmad Redi), juga mengatakan bahwa perjanjian jual beli listrik yang mengacu pada aturan tesebut, menggunakan skema membangun, memiliki, mengoperasikan, dan mengalihkan (build, own, operate, and transfer/BOOT). “Skema BOOT perlu dikembangkan, semisal pemerintah menyediakan lahan sedangkan bangunan, mesin, dan peralatan disediakan oleh pengembang atau seluruh asset (Tanah, Bangunan, dan Equipment) disediakan dan dibangun oleh pihak pengembang, di akhir kontrak Pemerintah/PLN dapat membeli asset/saham untuk dikuasai negara” sambung Redi yang juga merupakan Pengajar Hukum Tata Negara FH Universitas Tarumanagara.
Sementara itu, di tempat yang sama secara terpisah peneliti hukum energi dari Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), Sunarto menyampaikan bahwa topik “Kepastian Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 111/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan” menghasilkan beberapa catatan penting. Pertama, tafsir terhadap prinsip penguasaan oleh negara dalam UUD 1945 mengalami reformulasi dan perkembangan dialektik guna mewujudkan kemakmuran rakyat. Kedua, terkait dengan kepastian hukum dalam usaha penyediaan tenaga listrik, bahwa keterlibatan pihak swasta, swadaya masyarakat dan koperasi dapat dilakukan (secara terintegrasi maupun secara tidak terintegrasi) sejauh di bawah kendali atau kontrol negara.
“Jadi pada prinsipnya, penyelenggaraan usaha penyediaan tenaga listrik harus berorientasi penuh pada “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” dan keadilan. Tolok ukur yang harus digunakan adalah dengan mengacu pada pemaknaan prinsip “penguasaan oleh negara”, sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya. Dengan mengacu pada hal tersebut, akan tercipta kepastian hukum dalam usaha penyediaan tenaga listrik”, demikian tutup Sunarto mengakhiri percakapan dalam diskusi tersebut.