Pengelolaan tenaga listrik sejak reformasi dengan mengacu pada tentang UU No 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. UU ini sebenarnya sudah digugat karena dianggap bertentangan dengan konstitusi dan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan tersebut. Menurut MK, listrik harus dikelola secara terintegrasi karena dalam undang-undang a qua tidak mengatur hal tersebut. Dalam pelaksanaannya, putusan MK ini tidak termanifestasikan secara penuh dalam sistem ketenagalistrikan kita, ucap Salamuddin Daeng dalam diskusi interaktif virtual yang diadakan oleh Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), di Jakarta, 12/11/2020.
Kita tahu bahwa tafsir hak menguasai negara dalam tata kelola listrik, khususnya terkait dengan pengelolaan, penguasaan, dan pengawasan tidak terwujud dalam struktur tata kelola listrik. Salah satu buktinya adalah kita dapat melihat bahwa sampai saat ini sistem ketenagalistrikan semakin dikuasai oleh oligarki baik nasional maupun pihak asing.
Belakangan muncul omnibus law yang juga merevisi beberapa ketentuan dalam UU Ketenagalistrikan dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja klaster ketenagalistrikan. Beberapa pasal yang telah dibatalkan oleh MK kini dihidupkan kembali. Ini tentu menjadi tantangan pengelolaan ketenagalistrikan yang konstitusional kedepannya.
Dua masalah besar akan muncul, pertama terkait dengan pasal-pasal yang telah dibatalkan oleh MK karena dipandang bertentangan dengan konstitusi dan menganut semangat neoliberalisme yang dihidupkan kembali dalam UU Cipta Kerja, sektor ketenagalistrikan. Masalah kedua tentu terkait dengan aturan pelaksanaan dari UU Cipta Kerja yang bisa jadi semakin menghidupkan kembali semangat neoliberalisme.
Masalah tersebut tentu menyulitkan posisi PLN yang semakin tersandera oleh kepentingan oligarki. Apalagi saat ini PLN juga kesulitan dari sisi keuangan yang merugi. Masalah besar ini semakin menyudutkan PLN dalam bayang-bayang neoliberalisme, oligarki, penguasa asing.
Kewajiban kita kemudian mengawal kebijakan hukum aturan pelaksana dari UU Cipta Kerja tersebut. Namun yang jelas, UU Cipta Kerja ini semakin membuka jalan bagi pengelolaan ketenagalistrikan yang neoliberal. Semakin membuka jalan bagi swasta dalam sektor usaha ketenagalistrikan. Dominasi pembangkit listrik swasta sebagai penyedia listrik. Tantangan ke depan juga tidak kalah penting adalah proses transisi energi.
Sejak proyek pembangkit listrik 35000 megawatt yang dirancang oleh pemerintah, kita kemudian dihadapkan dengan kondisi listrik yang over supply. Terjadi kelebihan pasokan listrik. Apalagi saat ini terjadi Covid-19 membuat permintaan penyediaan listrik semakin lesu dan sangat signifikan.
Jadi over supply yang dihadapi PLN sebelum Covid-19 kini semakin parah karena kondisi saat ini. Apalagi ada kewajiban PLN membeli listrik dari swasta berapapun produksi yang dihasilkannya. Ini semakin memberatkan keuangan PLN. Apalagi di sisi lain pemerintah dihadapkan pada komitmen agenda global terkait dengan perubahan iklim.
Paris agreement telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perubahan Iklim).
Ketentuan tersebut mengharuskan kita mengurangi secara signifikan konsumsi energi fosil, terkhususnya batubara. Agenda tersebut juga memberatkan pemerintah mengingat pembangkit listrik 35000 megawatt ini masih mengandalkan batubara sebagai sumber energinya. Tampaknya dengan kondisi ini akan menghambat langkah pemerintah dalam mewujdkan penurunan emisi pada Tahun 2025 semakin menghambat bagi proses transisi energi di Indonesia.
Padahal kita tahu bahwa ke depan keuangan ketenagalistrikan ini semakin parah ketika dihadapkan pada komitmen lembaga-lembaga pembiayaan internasional yang akan mengurangi secara signifikan pembiyaan sektor energi fosil dan ini juga akan menjadi ancaman bagi pembangkit-pembangkit PLN. Terutama kita tahu sekarang PLN mengalami kesulitan dari sisi keuangan.
Kesulitan keuangan PLN ditandai dengan kerugian yang secara terus menerus yang tidak mampu mereka atasi dikarenakan masalah kewajiban membeli listrik swasta, terjadi pasokan over supply energi listrik di Indonesia, dan beban utang PLN baik kepada perbankan nasional, lembaga keuangan asing, dan pasar komersial. Ini kemudian semakin mempersulit atau daya tahan kita terhadap energi nasional. Amanat konstitusi mengatakan bahwa listrik merupakan sektor strategis yang harus dikuasai oleh negara dan BUMN PLN merupakan representasi dari penguasaan negara.
Dalam sesi tanya jawab, peserta menanyakan semisal perihal ada cadangan energi lain selain batubara untuk pembangkit listrik PLN. Salamuddin Daeng menjawab bahwa sebenarnya dari perjanjian perubahan iklam itu menghadirkan kesempatan bagi Indonesia dalam sumber energi. Kita memiliki matahari yang bersinar lama dibanding negara-negara lain, panas bumi, cadangan gas cukup besar, gelombang laut, angin yang di daerah timur Indonesia sangat bagus.
Jadi sebetulnya kita di Indonesia memiliki sangat banyak sumber energi lain selain batubara yang menjadi pilihan. Pemerintah sering beralasan bahwa batubara ini paling murah untuk PLTU dan membuat pemerintah.
Pertanyaan dari peserta lainnya menanyakan terkait beban keuangan PLN saat ini, apakah dapat dijadikan sebagai indikator bahwa pengelolaan listrik oleh PLN tidak efisien dan efektif? Serta apakah dengan dibuat perusahaan BUMN lain yang diberi tanggungjawab pengelolaan ketenagalistrikan yang sama dengan PLN dapat menjadi solusi untuk tata kelola ketenagalistrikan di Indonesia? Salamuddin Daeng mengatakan bahwa beban keuangan yang paling besar bersumber dari pembelian listrik ke swasta, pembelian tenaga listrik dan beban bunga hutang.
Untuk beban pembelian listrik dan bahan baku tenaga listrik menjadi instrumen beban keuangan yang paling besar. Sekitar 70% dari 150 Trilyun. Beban keuangan tersebut dapat dilihat sebagai bentuk inefisiensi. Oleh sebab itu langkah yang harus diambil oleh PLN adalah dengan melakukan renegosiasi pembelian bahan baku energi primer dari perusahaan batubara, perusahaan minyak, dan perusahaan gas. Kedua, PLN harus melakukan renegosiasi dalam pembelian listrik ke swasta. Lantas yang menjadi pertanyaan ialah apakah bisa menjadi efisiensi kembali pengelolaan ketenagalistrikan ketika menggunakan langkah tersebut.
Apabila ditelisik lebih jauh, rata-rata pemilik batubara merupakan bagian dari orang-orang yang mempunyai kekuasaan di negeri ini, sehingga kecil kemungkinan PLN berani mengambil langkah renegosiasi harga. Terkait beban bunga hutang juga dapat dilakukan renegosiasi keuangan, namun lagi-lagi sepertinya PLN tidak akan mengambil langkah tersebut. Sepanjang 3 beban tersebut masih menyandera PLN, maka akan susah bagi PLN untuk dapat berjuang.
Terkait pertanyaan kedua, Salamuddin Daeng mengatakan bahwa PLN membeli listrik lebih mahal ke swasta, tetapi dapat dijual ke masyarakat dengan harga yang lebih rendah karena mendapat bantuan subsidi dari pemerintah. Kalau diserahkan ke perusahaan lain dengan mekanisme yang sama, dia juga akan mendapat subsidi yang sama dari pemerintah, baru bisa menjual listrik murah.
Oleh karenanya, swasta tidak akan sanggup untuk mengelola sendiri tanpa subsidi dari pemerintah karena dipastikan akan berada di posisi yang rugi. Pertanyaan menggelitik bagi kita semua ialah kenapa PLN bisa rugi tetapi perusahaan-perusahaan pembangkit listrik tidak ada yang mengalami kerugian? Padahal sama-sama mengalami resesi. Itu menjadi tugas untuk para pengamat dan peneliti mencari tau lebih jauh lagi.
Dalam bagian akhir sesi pertanyaan, lantas ada peserta yang menanyakan terkait dengan bagaimana konsep ideal penentuan tarif listrik? juga terkait dengan diskon listrik yang diberikan oleh PLN ditengah beban keuangan dan kondisi pandemi. Menurut Salamuddin Daeng, penentuan tarif dasar listrik ditetapkan oleh Pemerintah bersama DPR dengan memperhitungkan banyak komponen-komponen.
PLN tidak bisa menjual listrik dengan harga sesuka mereka. Ada mekanisme pemberian subsidi yang sudah ditetapkan dalam APBN. Ada subsidi selisih harga yang dijual dengan harga pasar. Namun dalam pelaksanaannya, pemerintah tidak selalu memerikan subsidi yang sudah ditetapkan tepat waktu, sehingga membuat PLN harus berhutang ke lembaga pembiayaan atau global bond.