PT Freeport Indonesia meminta tenggat waktu tambahan untuk penyelesaian proyek smelter dengan dalih kontraktor yang mengerjakan proyek tersebut terkena kebijakan pembatasan wilayah akibat pandemi korona. Adapun, perusahaan meminta diberikan pelonggaran penyelesaian smelter selama 12 bulan atau hingga 2024. Menanggapi hal tersebut, Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan, Akmaluddin Rachim, menilai bahwa rencana kebijakan tersebut melanggar hukum. “Pembangunan smelter Freeport seharusnya rampung pada 2023. Bila pemerintah mengizinkan adanya penundaan pembangunan, maka ini sama saja dengan melanggar ketentuan dalam UU No. 4 Tahun 2009 dan perubahannya UU 3 Tahun 2020, PP 23 Tahun 2010 dan perubahaanya serta Permen ESDM No. 1 Tahun 2014” katanya, Jakarta, 8/9/2020.
Menurutnya, pemerintah seharusnya tidak lagi boleh memberikan keringanan kepada Freeport soal pembangunan smelter. Pembangunan smelter Freeport harus dikontrol dan dilakukan evaluasi bila ketentuan tersebut tidak diindahkan. Sebab, ungkapnya, Freeport seringkali mencoba mengulur-ulur waktu dengan berbagai alasan. Padahal undang-undang telah mengatur terkait dengan kegiatan peningkatan nilai tambah melalui pembangunan smelter.
Pengaturan tentang pengolahan dan pemurnian telah diatur dalam Pasal 102 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba sebelum perubahan). Pasal 102 UU No. 4 Tahun 2009 t mengatakan bahwa “pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara.” Penjelasan dalam Pasal 102 undang-undag tersebut mengatakan “bahwa nilai tambah dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan produk akhir dari usaha pertambangan atau pemanfaatan terhadap mineral ikutan”.
“Dari pengaturan tersebut, terlihat adanya kewajiban perusahaan melalukan peningkatan nilai sumber daya mineral melalui pengolahan dan pemurnian dalam hal pembanguna smelter” ungkap Akmaluddin Rachim
Lebih lanjut kata, Akmaluddin Rachim, bahwa politik hukum peningkatan nilai tambah kegiata penambangan saat ini tidak setegas undang-undang sebelumnya. Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba setelah perubaha) menyebutkan bahwa “Pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi wajib meningkatkan nilai tambah Mineral dalam kegiatan Usaha Pertambangan melalui: a. pengolahan dan pemurnian untuk komoditas tambang Mineral logam; b. pengolahan untuk komoditas tambang Mineral bukan logam; dan/atau; c. pengolahan untuk komoditas tambang batuan.
Pasal 104 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2020 menjelaskan bahwa: Pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 dapat melakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian sendiri secara terintegrasi atau bekerja sama dengan: a. pemegang IUP atau IUPK lain pada tahap kegiatan Operasi Produksi yang memiliki fasilitas Pengolahan danlatau Pemurnian secara terintegrasi; atau b. pihak lain yang melakukan kegiatan usaha Pengolahan dan/atau Pemurnian yang tidak terintegrasi dengan kegiatan Penambangan yang perizinannya diterbitkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian.
Menurut Akmaluddin Rachim, konsepsi tersebut sangat jelas memberikan pilihan kepada perusahaan tambang untuk melakukan peningkatan nilai tambah. Selain itu, ketentuan berikutnya mengatakan bahwa perusahaan tambang dapat melakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian sendiri secara terintegrasi atau bekerja sama. Keringan tersebut seharusnya dimanfaat Freepor dalam pembangunan smelter”
“Banyaknya fasilitas yang diberikan Pemerintah kepada Freeport malah membuat Freeport semakin nyaman dan merasa dianak emaskan. Karena itu kemudian membuat Freeport kembali meminta penundaan pembangunan smelter” cetus Akmaluddin Rachim.
Akmaluddin Rachim mengingatkan Pemerintah agar permintaan penundaan pembangunan smelter PT Freeport Indonesia diabaikan saja. Bila tidak, Pemerintah melanggar sejumlah ketentuan peraturan perundang-undangan yang mewajibkan pembangunan smelter seperti yang diatur dalam UU No. 4 Tahun 2009 dan perubahannya UU No 3 Tahun 2020, PP No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (beserta perubahannya), Permen ESDM No. 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Di Dalam Negeri dan Permen ESDM No. 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara