Pemerintah tengah menggodok omnibus law yang akan mengumpulkan sejumlah pasal dari berbagai Undang-Undang sektoral. Salah satu produk omnibus law yang akan ditelurkan oleh pemerintah adalah Rangcangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja. Dalam RUU ini nantinya akan mengatur wewenang usaha hilirisasi pertambangan. Khusus untuk kegiatan pemurnian diusulkan untuk masuk ke dalam wewenang kementerian Perindustrian.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP, Bisman Bhaktiar mengungkapkan, kebijakan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan mineral dan batu bara harus tetap berada dalam kewenangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) sebagaimana selama ini telah berlaku.
“Bila kewenangan pemurnian dan pengolahan kepada Kementerian perindustrian, maka hal itu dapat merusak tatanan kebijakan kegiatan pertambangan mineral dan batubara yang selama ini telah ada,” ujar Bisman, Selasa (10/12), di Kantor PUSHEP.
Ia menjelaskan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Menurut Bisman, kegiatan pertambangan harus dimaknai sebagai serangkaian tindakan sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
Menurut Bisman, ketentuan itu menegaskan serangkaian kegiatan pertambangan yang mencakup satu alur aktivitas, berupa tindakan yang dimulai dari penyelidikan umum, hingga kegiatan pascatambang. “Ini menunjukkan bahwa KESDM memiliki kewenangan penuh dalam pengolahan dan pemurnian pertambangan mineral dan batu bara” ujar Bisman.
Bisman lalu mempertanyakan dasar pemerintah mengusulkan kebijakan pengalihan kewenangan proses pemurnian mineral dari KESDM ke Kementerian Perindustrian. Untuk itu Bisman mengingatkan agar pemerintah dalam membuat kebijakan harus mengacu pada dasar hukum yang jelas. Sebab bila tidak, hal itu dapat menciptakan kegaduhan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan tata aturan perundang-undangan.
Patut diingat, ketentuan dalam UU No 3 tahun 2014 tentang Perindustrian yang mengatur “dalam rangka peningkatan nilai tambah sumber daya alam, Pemerintah mendorong pengembangan Industri pengolahan di dalam negeri”. Maksud dari ketentuan ini sebenarnya menitikberatkan tentang kewajiban meningkatkan nilai tambah dari kegiatan pertambangan melalui industri pengolahan dalam negeri. “Akan tetapi ketentuan tersebut tidak menghapus kewenangan KESDM”, tegas Bisman.
Ia menegaskan, Undang-Undang Perindustrian tersebut tidak bisa serta merta menghapus kewenangan KESDM dalam mengatur proses dan mekanisme pengolahan dan pemurnian mineral dan batubara. Sebab, dalam Pasal 102 UU Minerba juga diatur hal yang sama. Pasal ini mengatakan, pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara.
Lebih jauh, Bisman menjelaskan peningkatan nilai tambah itu dilakukan dengan Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Dalam penjelasan Pasal 103 UU Minerba dikatakan kewajiban untuk melakukan pengolahan dari pemurnian di dalam negeri dimaksudkan, antara lain, untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang dari produk, tersedianya bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan perlingkatan penerimaan negara. Pengaturan dan penjelasan tersebut secara gamblang menguraiakan pentingnya meningkatkan nilai tambah.
Menurut Bisman, secara eksplisit tidak ada pengaturan terkait dengan kementerian apa yang berwenang mengurus usaha hilirisasi pertambangan. Untuk itu, sebetulnya Kemenperin tidak perlu mendorong agar Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja mengakomodasi kepentingan pihaknya semata. “Toh, UU Minerba juga belum di revisi. Jadi kewenangan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan tetap mengacu pada UU Minerba dan ranhnya dilaksanakan oleh KESDM” pungkas Bisman.