Beranda Publikasi Kegiatan

Dewan Energi Nasional, Ditjen Bina Bangda, dan PUSHEP Kaji Green Energy dalam Ketenagalistrikan.

231

 

Kebijakan pengembangan energi hijau atau green energy merupakan salah satu upaya yang perlu mendapat dukungan sebagai bagian dalam pelaksanaan transisi energi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah dengan melakukan kajian terhadap pengembangan green energy untuk pemanfaatan sebagai sumber pembangkit listrik. Pengembangan energi hijau dapat dilakukan dengan pemanfaatan teknologi modern. Pemanfaatan teknologi tersebut dapat dilakukan pada energi fosil agar menjadikan atau menghasilkan energi bersih atau rendah emisi. Selain itu penggunaan teknologi tersebut juga untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan sebagai energi alternatif yang ramah lingkungan.

Gelaran bimbingan teknis regulasi di sektor energi baru terbarukan (EBT) dan ketenagalistrikan yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah (Ditjen Bina Bangda) bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) berhasil memberikan penguatan dan peningkatan pemahaman terhadap kalangan dan mitra pembangunan Ditjen Bina Bangda. Acara berjalan lancar dan menarik perhatian banyak peserta menunjukkan atensi yang luar biasa dari peserta untuk memperdalam kebijakan mengenai pengembangan energi hijau untuk pembangkit ketenagalistrikan.

Anggota Pemangku Kepentingan Dewan Energi Nasional (APK DEN), Musri, yang menjadi salah satu narasumber dalam bimtek tersebut mengatakan bahwa untuk mendorong penggunaan dan pengembangan energi hijau diperlukan pemahaman mendasar terkait potensi dan keberadaan energi fosil saat ini, kebijakan transisi energi, dan komitmen-komitmen Indonesia untuk melakukan upaya mitigasi terjadinya perubahan iklim beserta dampaknya. Perlu diingat bahwa pemerintah Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement, penyampaian komitmen mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060 dalam acara KTT Perubahan Iklim COP26, serta dalam kegiatan KTT G20 yang berlangsung di Bali pada 2022 yang lalu.

Menurut Musri, kebijakan dan strategi terkait pengembangan energi hijau di Indonesia dilakukan dengan memanfaatkan keberadaan energi fosil dan penggunaan teknologi bersih yang ramah lingkungan. Kedua aspek tersebut dipercaya mampu menjaga ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan energi dengan menggunakan pendekatan pendekatan 4A, yaitu Availability, Accessibility, Acceptability, dan Affordability. Dengan model pendekatan tersebut, Musri percaya bahwa pembangunan yang didasarkan pada sumber energi yang berkelanjutan dapat mencapai pembangunan rendah karbon dan menjaga agar perubahan iklim tetap terkontrol.

Lebih lanjut Musri menjelaskan bahwa Indonesia memiliki potensi EBT besar, tersebar, dan beragam. Hal ini menjadi kekayaan untuk mendukung ketahanan energi nasional dan pencapaian target bauran EBT. Musri menyampaikan bahwa potensi hidro tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama di Kalimantan Utara, Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Papua. Sedangkan potensi Surya tersebar di seluruh wilayah Indonesia, khususnya di Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, dan Riau yang memiliki radiasi lebih tinggi. Adapun terkaitn potensi energi Angin banyak terdapat terutama di Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Aceh dan Papua. Sementara itu, potensi Energi Laut tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama Maluku, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara dan Bali.

Berikutnya terkait potensi Panas Bumi yang tersebar pada kawasan ring of fire, meliputi Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku. Diketahui bahwa berbagai potensi EBT tersebut yang meliputi hidro, bioenergi, bayu, panas bumi, air laut, dan batubara tergaskan mencapai 3.687 GW. Menurut Musri, keseluruhan potensi tersebut baru dimanfaatan sebesar 12.675 MW. Kendati demikian, potensi EBT tersebut memiliki tantangan dalam pengembangannya. Menurutnya, ada sejumlah tantangan pengembangan EBT di Indonesia. Pertama, potensi EBT yang cukup besar namun hal ini keberadaannya tersebar di seluruh Indonesia.

 

Kedua, PLTS dan PLTB bersifat intermittent. Artinya hal mendorong dibutuhkannya pembangkit listrik yang base load atau storage yang lebih besar. Ketiga, adanya keterbatasan jaringan yang menyebabkan terbatasnya kemampuan sistem jaringan menyerap listrik dari PLT EBT. Keempat, rendahnya ketertarikan perbankan di Indonesia untuk berinvestasi di bidang EBT karena resiko yang tinggi. Kelima, potensi EBT yang tidak dapat ditransportasikan. Hal ini karena harus dibangkitkan di lokasi setempat atau sumber energi tersebut berada. Keenam, kemampuan industri dalam negeri terbatas. Hal ini mengharuskan impor teknologi dan barang yang dibutuhkan. Ketujuh, adanya ketidakpastiaan pada pasar. Hal ini terjadi karena perubahan prioritas pemerintah baik  dari sisi kebijakan maupun investasi untuk  menangani pandemi

Kedelapan, konsumsi energi turun. Selama pandemi, pemerintah melakukan pembatasan kegiatan masyarakat termasuk perekonomian.  Hal ini mengakibatkan konsumsi energi menurun, baik energi listrik maupun energi non listrik. Penurunan konsumsi listrik mengakibatkan surplus pembangkit PLN sehingga pembangkit EBT yang baru tidak dapat masuk dalam jaringan. Selain itu, juga terjadi adanya penurunan konsumsi BBM, yang mempengaruhi industri Biofuel. Kesepuluh, biaya investasi awal yang tinggi. Perlu diketahui bahwa sebagian besar energi terbarukan untuk pemanfaatan sebagai pembangkit listrik, terutama pembangkit listrik tenaga panas bumi  memiliki biaya investasi yang tinggi. Kesebelas, bunga bank tinggi. Saat ini, sumber pembiayaan dalam negeri masih menawarkan pinjaman dengan bunga tinggi dan tenor yang singkat