Hilirisasi harus diarahkan menjadi konsep industrialisasi. BUMN harus berperan di industri hilir sebagai ujung tombak untuk mencapai tujuan pengelolaan sumber daya alam bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat seperti diamanatkan dalam pasal 33 ayat ( 2 ) dan ayat ( 3 ) UUD 1945. Untuk mencapai tujuan konstitusi, pengelolaan sumber daya mineral dan batu bara diperlukan strategi dengan menempatkan BUMN berperan di sektor hilir guna mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal tersebut disampaikan oleh Ir. Rachman Wiriosudarmo saat menjadi pembicara diskusi yang diselenggarakan Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) dengan tema “Prospek Pertambangan Mineral dan Penguatan Peran BUMN/Sub Holding BUMN Pasca UU 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU Minerba”, Jumat 22 Januari 2021.
Menurutnya, kebijakan pengolahan lanjutan atau hilirisasi bukan merupakan hal baru. PT. Timah sudah melakukan peleburan di dalam negeri di tahun 1974, PT. Aneka Tambang menghasilkan veronikel sejak lama, PT. Inco menghasilkan nikel jauh sebelum undang-undang No. 4 Tahun 2009 dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2020. Menurutnya, meskipun waktu itu tidak ada aturan yang mewajibkan perusahaan tambang melakukan hilirisasi tetapi, PT. Antam, PT. Inco sudah melakukan pengolahan lanjutan yang menghasilkan produk bernilai tambah berupa veronikel dan hasil olahan lainnya
Rachman Wirisudarmo mengungkapkan bahwa aturan yang mewajibkan perusahaan tambang membangun smelter dengan ancaman tidak diberikan izin jika menolak bukanlah cara tepat. Menurutnya, tujuan utamanya bukan sebatas agar perusahaan menjalankan kewajiban membangun smelter tetapi supaya nilai jualnya lebih tinggi.
Hilirisasi atau upaya pembangunan smelter pada dasarnya bukan solusi bila dilakukan pemurnian dan secara terus menerus dilakukan ekspor. Hal ini mengingat akan terjadi kelangkaan di dalam negeri. Menurut Rachman Wiriosudarmo, saat industri nasional berkembang dan memerlukan veronikel barangnya sudah tidak ada lagi.
Lebih lanjut dikatakan oleh Rachman Wiriosudarmo bahwa yang lebih tepat adalah mengalihkan pemanfaatan untuk kebutuhan di dalam negeri. Caranya pasar dalam negeri harus diperluas untuk memperbesar penyerapan. Untuk itu Rachman Wiriosudarmo menyarankan supaya BUMN dapat lebih berperan di industri hilir.
Rachman Wiriosudarmo mencontohkan, di penghujung tahun 90-an PT. Timah membangun pabrik kaleng makanan atau stainless dilapisi timah. Stainless ini bisa menyerap 10% lebih timah. Sayangnya PT. Karakatau Steel tidak mampu memenuhi suplai besinya sehingga mengalami kesulitan kemudian diambil alih swasta.
Rachman Wiriosudarmo mengapresiasi langkah PT. Timah membangun pabrik pengolahan lanjutan dengan mendirikan PT. Timah Industri namun ia sayangkan itu hanya sebatas anak perusahaan “ hanya kecil”.
Semestinya BUMN didorong menjadi holding untuk mengurus usaha hilir karena statistik impor bahan baku di Indonesia menduduki 70% dari total impor nasional dan ini merupakan peluang. Contoh lain, setiap tahunnya Indonesia mengekspor batu bara sekitar 500 juta ton. Dibayar dengan harga sesuai harga di atas kapal. Kapal pengangkutnya kapal luar negeri, asuransin perusahaan dari asuransi luar negeri. Menurut Rachman Wiriosudarmo, kalau saja pengangkutnya kapal dalam negeri, perusahaan asuransinya dalam negeri pasti nilai tambah ekonominya menjadi jauh lebih besar apa lagi kalau pembiayaannya oleh bank-bank dalam negeri kemudian untuk kebutuhan tambang dipenuhi dari barang-barang yang dibuat dalam negeri. Jadi hilirisasi itu harus diarahkan menjadi konsep industrialisasi.
Dari tempat terpisah Dirut PT. Timah Industri, Johan NB Nababan menyatakan sependapat dengan yang disampaikan Ir. Rachman Wiriosudarmo. Menurutnya BUMN harus lebih berperan di hilir. Dia mengungkapkan kondisi yang ia hadapi tidak seperti yang dibayangkan, ibarat “jauh panggang dari api”. Johan NB Nababan mengira ketika dari PT. Antam dipindahkan ke PT. Timah Indutri semua sudah tertata rapi. Lebih lanjut Johan Nababan mengatakan bahwa saat itu pembelian bahan baku industri masih harus merogoh kocek dalam-dalam.
PT Timah Industri membeli timah berharga mahal.Belum lagi ongkos produksi yang tinggi padahal di hulunya sendiri sekarang ini sudah terseok-seok. Meskipun begitu, Johan Nababan sadar ini realitas yang harus dihadapi sekarang ini.
Menurutnya, kendala sekarang ini belum punya roadmap industrialisasi sehingga menyulitkan dalam melangkah. Seharusnya negara membuat aturan yang bisa membuat produk industri dalam negeri laku di pasar dalam negeri.
Senada dengan Rachman Wiriosudarmo, Johan NB Nababan mengatakan bahwa Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba itu semestinya saling mendukung dengan regulasi di bidang industri dan perdagangan.
Menurutnya, karena BUMN pun tidak bisa bergerak sendiri, dia butuh dukungan pasar dan perlu dibangun kesadaran bersama untuk menggunakan produk-produk nasional supaya produksi kita bisa diserap di pasaran dalam negeri.
Johan NB Nababan mengatakan, sekarang ini yang paling berkembang adalah industri telekomunikasi. Ke depan nanti mobil listrik dan elektrik batrei semua itu memerlukan kebutuhan logam. Johan Nababan mengatakan, ini bisa dikembangkan untuk menyerap produk industri dalam negeri. Johan Nababan mengajak untuk melihat peluang ke depan seperti apa, kemudian industri diarahkan untuk memproduksi barang yang tepat guna dan dibutuhkan seluruh industri di Indonesia.
Dalam diskusi tersebut, Bisman Bhaktiar mengatakan bahwa tolok ukurnya adalah konstitusi karena merupakan ukuran untuk melihat sejauh mana pengelolaan sumber daya alam itu berguna bagi bangsa dan negara. Bahwa UUD 1945 Pasal 33 ayat (2) menyebutkan, cabang-cabang produksi penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Pasal 33 ayat (3) bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Konsep penguasaan oleh negara diterjemahkan mahkamah konstitusi menjadi lima unsur, pertama, pengelolaan, kedua, kebijakan, ketiga, pengurusan, keempat, pengaturan, kelima, pengawasan. Kelima unsur itu merupakan cara untuk mencapai tujuan Pasal 33 ayat (3) yaitu mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Bisman Bhaktiar menjelaskan bahwa kelima unsur di atas harus dilakukan secara menyeluruh, atau jika tidak sekurang-kurangnya negara melakukan pengelolaan langsung lewat kepemilikan saham atau terlibat langsung di dalam manajemen sebagaimana pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 36/PUU-X/2012, sepanjang negara mempunyai kemampuan baik modal, teknologi dan kemampuan manajemen dalam pengelolaan sumber daya alam.
Dengan pengelolaan secara langsung dipastikan seluruh hasil dan keuntungan yang diperoleh akan masuk menjadi keuntungan negara yang secara tidak langsung akan membawa manfaat lebih besar bagi rakyat. Pengelolaan langsung yang dimaksud di sini, baik dalam bentuk pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) atau melalui badan usaha milik negara.
Menurut Bisman Bhaktiar, undang-undang BUMN maksud dan tujuan BUMN itu ada lima poin, pertama, memberikan sumbangan bagi perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya. Kedua, mengejar keuntungan. Ketiga, menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. Keempat, menjadi perintis bagi kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi. Kelima, turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat. Adapun pengertian BUMN adalah, badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Lebih lanjut Bisman Bhaktiar mengatakan bahwa lain halnya di dalam RUU BUMN, rumusan pengertian BUMN mengalami perubahan. Menurut RUU BUMN, BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh negara baik melalui penyertaan langsung maupun tidak langsung yang berasal dari APBN serta yang berasal dari non APBN, yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan pengelolaannya. BUMN disini dimaknai sebagai sarana negara didalam melakukan kegiatan bisnis.