Beranda Publikasi

Hanya 10% yang Bekerja di Sektor Pertambangan, Perempuan Butuh Pengaturan Khusus

242
Minimnya pekerja perempuan dalam industri pertambangan menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan pada kelas pekerja khususnya pekerja dalam industri pertambangan. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah riset menyimpulkan ada banyak perusahaan yang belum siap menempatkan perempuan sebagai pemimpin dan/atau sebagai pekerja sehingga membuat banyak potensi yang dimiliki oleh perempuan seakan terkubur.
Sejalan dengan hal tersebut, Direktur Eksekutif Woman in Mining & Energy (WIME) Indonesia, Noormaya Muchlis, pada acara diskusi publik dengan tema “Urgensi Pengaturan Khusus Pekerja Perempuan dalam Industri Pertambangan” yang diadakan oleh Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) pada Kamis, (19/03/24).
Noormaya Muchlis, memaparkan bahwa data staitistik menunjukkan bahwa saat ini hanya sekitar 10%-11% pekerja perempuan yang bekerja pada sektor formal pertambangan (BPS 2021) meningkat 3% dari data BPS pada tahun 2016. Data BPS 2021 juga mengatakan hanya 27% jumlah perempuan berada pada posisi manajerial, sementara laki-laki tiga kali lipat jumlahnya dari perempuan. Jika melihat berdasarkan data tersebut, maka secara kuantitas saja sudah sangat jauh berbeda antara pekerja perempuan dan pekerja laki-laki.
“Dalam hal ini ada beberapa tantangan, yaitu minimnya jumlah perempuan yang tertarik untuk bersaing di sektor pertambangan, kurangnya rasa percaya diri, terbatasnya akses perempuan ke dunia kerja, terbatasnya figur perempuan sebagai rule models, faktor keluarga, serta beberapa perusahaan masih mengutamakan pekerja laki-laki dibanding perempuan”, ungkap Noormaya.
Pada kesempatan yang sama, Asisten Deputi Pengarustamaan Gender Bidang Ekonomi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Dewi Ayu Laksmi, memaparkan data dalam laporan bertajuk “Woman at Work”, ILO, mencatat adanya rasio perekrutan yang jauh berbeda antara laki-laki dan perempuan, adanya kesenjangan upah pekerja perempuan dan laki-laki di level global yang mencapai 33% dan upah pekerja perempuan hanya hanya 77% dari upah pekerja laki-laki.
Laksmi menjelaskan, berdasarkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), perempuan, 30% lebih rendah kemungkinannya untuk bekerja dibanding laki-laki. “Adanya kesenjangan ini adalah tantangan bagi pemerintah dalam meningkatkan angka TPAK perempuan yang ditargetkan 55% sesuai amanah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024”, ungkapnya.
Lebih lanjut, Manager Legal Studi Pushep, Akmaludin Rachim, sebagai salah satu narasumber pada diskusi tersebut juga menyampaikan tentang aspek hukum pengaturan khusus pekerja perempuan dalam industri pertambangan. Akmal menyampaikan bahwa pengaturan khusus pekerja perempuan dalam industri pertambangan dapat di atur dalam peraturan menteri yakni Permen ESDM, Permen Ketenagakerjaan, dan Permen PPPA. “Selain itu juga bisa diatur dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) atau diatur dalam peraturan internal perusahaan”, kata Akmal dalam pemaparan materinya.
Lebih lanjut, Akmal menambahkwa bahwa hal-hal yang perlu atur dalam pengaturan khusus pekerja perempuan di sektor pertambangan adalah hak kesetaraan di tempat kerja, keamanan dan kesehatan kerja, sanksi pelecehan seksual dan diskriminasi, hak cuti hamil dan melahirkan, akses ke pendidikan dan pelatihan, kesetaraan dalam upah, perlindungan terhadap kekerasan dan pelecehan, partisipasi bermakna dalam pengambilan keputusuan, dan program pemberdayaan dan kesetaraan.
Urgensi pengaturan khusus pekerja perempuan di sektor pertambangan tidak terlepas dari dinamika kebijakan global yang mendorong pengelolaan pertambangan dilakukan secara bertanggungjawab dan berkelanjutan. “Hal tersebut mengacu pada; Covention on the Elimination off all Forms of Discrimination Againts Woman, Sustainable Development Goals (SGDs), achieve gender equality & empower all woman & girs, The UN Guiding Principles on Business & Human Rights, dan Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA)”, pungkas Akmal.