
Evaluasi Tata Kelola Migas: Regulasi, Investasi, dan Masa Depan Energi Nasional.
Tata kelola di sektor minyak dan gas bumi (migas) Indonesia menghadapi tantangan besar yang mencerminkan perlunya penguatan regulasi, peningkatan efisiensi, dan keseriusan dalam mendukung transisi energi. Hal tersebut mengemuka dalam diskusi Catatan Akhir Tahun yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP). Peneliti PUSHEP, Holly Muridi, memberikan pandangan kritis terhadap arah kebijakan dan perkembangan sektor migas sepanjang tahun ini.
Salah satu isu utama yang diangkat adalah keterlambatan penyelesaian Rancangan Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak tahun 2010. Hingga kini, rancangan tersebut belum juga disahkan sehingga menciptakan ketidakpastian hukum yang berdampak signifikan pada investasi di sektor ini.
Menurut Holly, kekosongan regulasi ini, tidak hanya menghambat tata kelola migas, tetapi juga menjadi salah satu alasan yang membuat hengkangnya perusahaan-perusahaan besar seperti Chevron dan Shell dari Indonesia. “Ketidaksiapan regulasi yang memadai menciptakan kekosongan hukum yang memengaruhi tata kelola sektor migas. Pemerintah dan DPR harus serius menyelesaikan RUU ini agar sektor migas kembali menjadi daya tarik investasi,” tegasnya.
Selain itu, Holly juga menyoroti implementasi teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2023. Kebijakan ini menjadi salah satu langkah pemerintah untuk mendukung target Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Namun, Holly menilai bahwa implementasi teknologi ini memerlukan evaluasi lebih mendalam dan landasan hukum yang kuat. “Pemerintah perlu memasukkan ketentuan CCS/CCUS dalam RUU Migas agar memiliki fondasi hukum yang lebih kokoh. Selain itu, hasil kajian tentang efektivitas teknologi ini dalam menangkap dan menyimpan karbon harus dipublikasikan secara transparan agar dapat menjadi perhatian publik,” ujar Holly.
Sementara itu, tren penurunan lifting minyak juga menjadi sorotan. Realisasi lifting minyak pada 2024 hanya mencapai 576.000 barel per hari, atau 91% dari target APBN. Angka ini mencerminkan stagnasi eksplorasi dan produksi migas yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti minimnya insentif, tumpang tindih regulasi, dan lambatnya pengembangan cadangan baru. Holly menilai bahwa pemerintah harus melakukan langkah strategis untuk mendorong eksplorasi serta memastikan target lifting 1 juta barel per hari pada 2030 bukan sekadar janji kosong. “Penurunan lifting ini merupakan sinyal bahwa pemerintah perlu lebih masif dalam mendukung eksplorasi dan memastikan regulasi yang mendorong investasi,” jelasnya.
Kasus dugaan korupsi di sektor migas juga menjadi perhatian penting dalam evaluasi Holly. Ia menyoroti dugaan kerugian besar yang dialami PT Saka Energi Indonesia serta kerugian akibat pengelolaan operasional Floating Storage Regasification Unit (FSRU) Lampung. Menurutnya, kasus-kasus ini menunjukkan lemahnya pengawasan internal, manajemen risiko, dan akuntabilitas dalam pengelolaan proyek strategis di sektor migas. “Pemerintah harus menegakkan akuntabilitas hukum dan memastikan tata kelola yang lebih transparan untuk mencegah kerugian negara yang lebih besar di masa mendatang,” ungkap Holly.
Selain itu, kebijakan distribusi BBM subsidi juga menjadi isu yang dipertanyakan. Penggunaan aplikasi MyPertamina, yang dimaksudkan untuk memastikan subsidi tepat sasaran, menuai kritik karena dianggap tidak siap untuk diterapkan, terutama di daerah terpencil. Holly menekankan pentingnya evaluasi kebijakan ini agar subsidi benar-benar mencapai masyarakat yang berhak tanpa menambah beban masyarakat berpenghasilan rendah. Ia juga mengingatkan pentingnya transparansi dalam distribusi BBM agar kebijakan ini sejalan dengan strategi transisi energi yang lebih luas.
Holly mengakhiri paparannya dengan menyerukan perbaikan tata kelola sektor migas yang mengedepankan prinsip keberlanjutan, efisiensi, dan keadilan. Ia menegaskan bahwa kebijakan energi harus diarahkan untuk memenuhi kebutuhan nasional tanpa mengorbankan kedaulatan energi. “Regulasi yang jelas dan kuat adalah kunci untuk menarik kembali minat investasi serta mempercepat transisi energi yang adil dan berkelanjutan,” pungkas Holly