Pemerintah sedang gencar menjalankan program hilirsasi pertambangan. Tapi, di saat yang sama, pemerintah malah memberikan izin perpanjangan ekspor konsentrat tembaga, meski ada larangan ekspor mineral mentah mulai Juni 2023 nanti.
Bisman Bhaktiar, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (PUSHEP), menegaskan, ada dampak yang merugikan dari kebijakan tersebut. Apa saja? Berikut nukilan wawancara wartawan Tabloid KONTAN Andy Dwijayanto dengan Bisman melalui sambungan telepon pada Rabu (3/5):
KONTAN: Seberapa besar dampak perpanjangan izin konsentrat ekspor tembaga mempengaruhi hilirisasi?
BISMAN: Dampaknya tentu ke iklim usaha. Kan, ini menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah terhadap regulasi. Akhirnya, para investor akan berpikir ulang karena pelaksanaan kepastian hukum di Indonesia tidak terjamin.
Tidak hanya itu, ini juga ada dampak secara ekonomi. Memang, pemerintah tidak ada pilihan karena konsentrat tembaga tidak bisa diolah di dalam negeri karena kapasitas smelter belum mencukupi. Tapi, ini artinya, secara ekonomi pemerintah jadi rugi dua kali.
Hilirisasi, kan, dibuat untuk memberikan pendapatan yang lebih besar ke negara dan multiplier effect yang lebih banyak. Ini tidak bisa diperoleh karena mineral mentah tak dapat diolah di dalam negeri dan harus diekspor. Cita-cita hilirisasi sampai hari ini sulit terwujud. Pemberian izin ini artinya, pemerintah masih menjual tanah dan air ke pihak luar.
KONTAN: Sejatinya, ada waktu tiga tahun sejak UU Minerba berlaku, apakah tenggat waktu itu tidak cukup untuk membangun smelter?
BISMAN: Tidak selesainya pembangunan smelter, kan, bukan suatu yang tiba-tiba. Bukan sesuatu yang seperti dikatakan pemerintah, bahwa ini karena force majeur, seperti pandemi Covid-19 dan lainnya. Sudah sekian tahun lalu diperkirakan, memang smelter tembaga tidak akan selesai pada tahun 2023, tidak mungkin bisa selesai. Jadi, alasan keterlambatan penyelesaian pembangunan smelter ini bukan alasan utama dari dibolehkannya ekspor konsentrat.
Ini hanya bukti rentetan ketidakkonsistenan pemerintah dalam melaksanakan undang-undang. Untuk kesekian kalinya, pemerintah tak berdaya di hadapan Freeport. Artinya, kepastian hukum hilirisasi menjadi tak terjamin.
KONTAN: Apa, sih, yang menyebabkan pemerintah tak berdaya terhadap Freeport?
BISMAN: Ini sudah kesekian kalinya pemerintah tidak berdaya, ini bagian dari karpet merah atau menganakemaskan Freeport. Memang, sahamnya mayoritas dikuasai BUMN, tetapi, kan, operatornya masih Arnerika Serikat. Jadi, ini tidak akan bisa lepas dari politik luar negeri dan lobi Freeport yang intensif ke pemerintah.
Kalau pemerintahan berganti, harusnya konsisten menjalankan UUD 1945, bahwa kekayaan alam digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Salah satu caranya, ya, hilirisasi, karena dampaknya jauh lebih besar kalau dilakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.
KONTAN: Soal perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), pemerintah harus buru-buru berikan?
BISMAN: Ini akan jatuh ke pemerintahan berikutnya. Memang, akan sulit kalau perjanjian sudah diteken di pemerintahan sebelumnya. Tapi, intinya, ada good will dan keberanian nanti di pemerintahan baru, siapapun yang terpilih nanti harus berani mengambil kebijakan yang merah-putih, betu-betul mempertimbangkan amanat UUD 1945.
KONTAN: Tapi, pemeritah mensyaratkan penambahan saham kalau Freeport mau diperpanjang IUPK-ya?
BISMAN: Saham Freeport tidak ekonomis, terlalu mahal. Lagi pula, saat ini pemerintah, kan, sudah menjadi mayoritas. Tapi, tetap saja, hasilnya tidak sebanding. Selain itu, penambahan saham, kan, tidak diperlukan. Apalagi, menambahnya dengan pembelian yang pembayarannya dilakukan dari utang dan obligasi. Tidak perlu, karena tidak ekonornis.
Alasan pemerintah menambah saham, kan, karena ingin pendapatan negara menjadi lebih besar. Padahal, itu bisa dilakukan tanpa keluar uang, misalnya, dengan menerbitkan kebijakan dan konsisten melaksanakan undang-undang.
Artikel ini telah terbit di Tabloid Kontan, edisi 8 – 16 Mei 2023.