Kementerian ESDM telah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2023 tentang Kelanjutan Pembangunan Fasilitas Pemurnian Mineral Logam Di Dalam Negeri (Permen 7/2023). Kebijakan ini lahir atas pertimbangan upaya pemerintah mendorong penyelesaian pembangunan fasilitas pemurnian mineral logam yang mengalami kendala akibat pandemi Covid-19. Salah satu hal dari permen tersebut yang menarik perhatian adalah ketentuan Pasal 2 ayat (2) Permen 7/2023. Pasal itu memberikan kesempatan penjualan hasil pengolahan mineral logam ke luar negeri sampai dengan tanggal 31 Mei 2024.
Ketentuan ini dipertegas kembali dalam Pasal 3 ayat (1) Permen 7/2023 yang menjelaskan bahwa pemegang IUP OP atau pemegang IUPK OP mineral logam komoditas tembaga, besi, timbal, atau seng, yang sedang berkomitmen menyelesaikan pembangunan fasilitas pemurnian dapat melakukan penjualan hasil pengolahan ke luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sampai dengan tanggal 31 Mei 2024. Keberadaan regulasi tersebut dipandang menyisakan sejumlah persoalan.
Pengaturan Hilirisasi dan Ekspor Mineral Logam
Dasar pengaturan pengolahan dan pemurnian (hilirisasi) mineral logam diatur dalam Pasal 102 dan Pasal 103 UU Pertambangan Mineral dan Batubara (UU 3/2020). Pasal 102 ayat (1) UU 3/2020 mengatur bahwa “Pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi wajib meningkatkan nilai tambah Mineral dalam kegiatan Usaha Pertambangan melalui: a) Pengolahan dan Pemurnian untuk komoditas tambang Mineral logam; b) Pengolahan untuk komoditas tambang Mineral bukan logam; dan/atau c) Pengolahan untuk komoditas tambang batuan”. Selanjutnya, pada Pasal 103 ayat (1) UU 3/2020 menyebutkan bahwa “Pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi Mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 wajib melakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian Mineral hasil Penambangan di dalam negeri”.
Sementara itu, kebijakan mengenai ketentuan ekspor diatur dalam Pasal 170A UU 3/2020 yang berbunyi, “Pemegang KK, IUP Operasi Produksi, atau IUPK Operasi Produksi Mineral logam yang: a) telah melakukan kegiatan Pengolahan dan Pemurnian; b) dalam proses pembangunan fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian; dan/atau c) telah melakukan kerjasama Pengolahan dan/atau Pemurnian dengan pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi lainnya, atau IUP Operasi Produksi khusus untuk Pengolahan dan Pemurnian atau pihak lain yang melakukan kegiatan Pengolahan dan/atau Pemurnian, dapat melakukan Penjualan produk Mineral logam tertentu yang belum dimurnikan dalam jumlah tertentu ke luar negeri dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku”.
Singkatnya ketentuan tersebut mengatur dua hal. Pertama, Pasal 102 dan 103 UU 3/2020, mengatur kewajiban yang relatif bersifat opsional untuk melakukan hilirisasi di dalam negeri. Kedua, Pasal 170A UU 3/2020, mengatur probabilitas pelaku usaha melakukan penjualan ke luar negeri dengan syarat dan jangka waktu yang telah ditentukan. Masalahnya kedua rumusan dalam ketentuan tersebut tidak memiliki koherensi kebijakan. Selain itu, kehadiran Pasal 170A UU 3/2020 menyisakan ruang rumpang karena tidak dilandasi analisis yang komprehensif saat pembentukannya. Sejatinya, kebijakan hilirisasi dan ekspor mineral logam dalam UU 3/2020 merupakan paradoksikal.
Inkonsistensi dan Disparitas
Atas kondisi tersebut hadirlah berbagai aturan untuk menambal problem yang timbul, termasuk relaksasi kebijakan ekspor mineral (Permen 7/2023). Kendatipun demikian beberapa masalah tetap saja ada. Pertama, kebijakan yang membolehkan ekspor dipandang melanggar UU sebab dasar hukum yang digunakan adalah peraturan menteri. Keberadaan Permen 7/2023 melanggar ketentuan di atasnya, yaitu UU 3/2020. Dalam ilmu hukum, terdapat asas lex superior derogat legi inferiori, yakni peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Kedua, kebijakan hilirisasi kerap berubah-ubah. Saat berlakunya UU 4/2009 yang mengatur tentang kewajiban bagi pemegang kontrak karya untuk melakukan hilirisasi selambat-lambatnya 5 tahun sejak diundangkan. Namun setelah 5 tahun berlakunya UU 4/2009, faktanya hilirisasi masih belum dilakukan. Pemerintah justru membolehkan ekspor mineral mentah tanpa hilirisasi dengan menggunakan PP 1/2017 jo Permen 5/2017 dan Permen 6/2017.
Hal ini terjadi lagi pada UU 3/2020 jo Permen 7/2023. Menurut ketentuan UU 3/2020, pemerintah membatasi kegiatan ekspor paling lama 3 tahun setelah ketentuan tersebut diundangkan. Hal ini kemudian dipertegas dalam Pasal 44 Permen 17/2020 yang mengatur bahwa penjualan hasil pengolahan ke luar negeri dalam jumlah tertentu paling lama sampai dengan tanggal 10 Juni 2023. Namun, melalui Permen 7/2023, pemerintah justru membolehkan ekspor bagi pelaku usaha yang telah memenuhi persyaratan sampai dengan tanggal 31 Mei 2024.
Ketiga, pengaturan peningkatan nilai tambah melalui frasa pengolahan dan pemurnian dalam UU dan aturan turunannya cenderung tidak sejalan. Pasal 102 ayat (1) UU 3/2020 mengatur ketentuan perusahaan wajib meningkatkan nilai tambah mineral melalui pengolahan dan pemurnian untuk komoditas tambang mineral logam. Pada Pasal 103 ayat (1) UU 3/2020, ketentuan tersebut memberikan pilihan alternatif, pengolahan dan/atau pemurnian. Sementara melalui Permen 7/2023, frasa tersebut justru semakin terpereteli, yang menyisakan hanya kata pengolahan. Gambaran tersebut menunjukkan tata kelola mineral yang setengah hati dalam menghadirkan nilai tambah.
Keempat, Permen 7/2023 menganakemaskan pelaku usaha di sektor tembaga, sementara menganaktirikan pelaku usaha di sektor bauksit. Disparitas ini dapat menimbulkan ketidakadilan bagi investor dan pelaku usaha industri ekstraktif. Perlakuan tidak adil juga dapat mengganggu iklim investasi di sektor lainnya. Kelima, Pasal 170A ayat (3) UU 3/2020 tentang penjualan produk mineral logam yang belum dimurnikan merupakan hal yang problematik dan berpotensi inkonstitusional.
Ketentuan tersebut mengatur pendelegasian pengaturan lebih lanjut kepada peraturan menteri, sementara berdasarkan Pasal 5 ayat 2 UUD 1945 seharusnya peraturan pelaksanaan UU diatur lebih dulu dalam peraturan pemerintah. Hal ini juga tidak dibenarkan menurut UU 12/2011 jo UU 13/2022.[1] Meskipun hal itu ditemukan dalam UU 3/2020, sepatutnya pendelegasian kewenangan dari UU kepada menteri dibatasi hanya untuk peraturan yang bersifat teknis administratif.[2]
Syahdan, tata kelola kebijakan dan perniagaan hasil hilirisasi mineral logam seperti komoditas tembaga, besi, timbal, atau seng perlu secara seksama. Dibutuhkan perencanaan yang matang dan regulasi yang memberikan kepastian hukum. Selain itu, juga perlu memastikan kesiapan industri pendukungnya bersinerga dengan kebijakan tersebut. Jangan sampai dikemudian hari kejadian ekspor nikel ilegal terulang kembali pada pelarangan ekspor bauksit.
[1] Undang-Undang 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
[2] Maria Farida Indrati S. 2007, Ilmu Perundang-Undangan I (Jenis, Fungsi, Materi Muatan), Kanisius, Yogyakarta, hlm, 228.