Babak baru nasib Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) masuk tahap pembahasan tingkat pertama antara DPR dan pemerintah. Kendati sudah berjalan, namun keterlibatan partisipasi publik dalam pembahasan RUU masih minim. Pembahasan yang dimulai dengan mengulik daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU terkesan tertutup.
Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), Akmaluddin Rachim mengatakan, minimnya ruang bagi masyarakat terlibat dalam pembahasan RUU EBET amat disayangkan. Padahal keterlibatan dan partisipasi publik secara bermakna dalam pembentukan UU menjadi amanat dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.91/PUU-XVIII/2020.
Rapat pembahasan RUU EBET acapkali digelar di hotel berdampak terhadap akses publik memantau jalannya dinamika perdebatan substansi antara Panitia Kerja (Panja) Komisi VII dengan pemerintah. Lagi-lagi masyarakat menjadi pihak berkepentingan pun terabaikan hak-haknya dalam proses pembentukan UU.
“Masyarakat tidak mengetahui apa saja isu yang diperdebatkan dalam panja tersebut. Masyarakat tidak dapat memberikan masukan. Ini menimbulkan kecurigaan publik bahwa ada kepentingan yang disembunyikan dalam pembahasan yang dilakukan tertutup,” ujarnya melalui keterangannya, Kamis (9/2/2023).
Tertutupnya pembahasan RUU EBET, menurut Akmal berpotensi menjadi celah menguji formil ke MK. Menurutnya, pembahasan secara tertutup atau digelar di hotel menjadi potensi melanggar ketentuan pembentukan perundangan, serta bertentangan dengan dengan konsep meaningful participation sebagaimana amanat putusan MK 91/PUU-XVIII/2020.
Dia juga memaparkan pembahasan terhadap DIM RUU EBET sudah mencapai 130-an. Sementara RUU EBET memuat 14 bab, 62 pasal dan 574 DIM. Pendek kata, pembahasan DIM masih bakal berlangsung panjang. Pembahasan RUU EBET memang sempat tertunda akibat tidak menemui titik temu soal aturan nuklir.
“Terkait dengan nuklir yang diatur dalam RUU, pembahasannya akan jadi alot. Terkait isu ini, publik akan banyak memberikan perhatian serius. Isu ini banyak dipermasalahkan karena ini terkait soal kesiapan dan kesanggupan kita terhadap pengembangan nuklir,” imbuhnya.
Perihal soal nuklir, menurut Akmaluddin pemerintah perlu mengkaji secara mendalam terhadap kemampuan SDM maupun teknologi dalam mengelola nuklir. Dia mengatakan, isu nuklir dalam RUU EBET telah lama diperbincangkan dan mendapat banyak kritikan dari berbagai kalangan. Setidaknya ada tiga hal yang mendapat sorotan.
Pertama, terkait alasan urgensi mengapa ketentuan nuklir masuk dalam RUU EBET. Kedua, soal pengaturan nuklir telah diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Selain itu, pengaturan nuklir telah lama diatur melalui UU Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Tenaga Atom.
Ketiga, dalam Pasal 11 ayat (3) Peraturan Pemerintah (PP) No 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional menyebutkan, “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan bagi Energi nuklir yang dimanfaatkan dengan mempertimbangkan keamanan pasokan Energi nasional dalam skala besar, mengurangi emisi karbon dan tetap mendahulukan potensi Energi Baru dan Energi Terbarukan sesuai nilai keekonomiannya, serta mempertimbangkannya sebagai pilihan terakhir dengan memperhatikan faktor keselamatan secara ketat”.
Akmaluddin pun menyorot beberapa permasalahan lain yang memicu perdebatan di masyarakat. Seperti soal keselamatan, keamanan dan mitigasinya. Hal yang tidak kalah penting, terkait kebijakan global. Yakni prosedur penggunaan dan pengembangan energi nuklir sebagai sumber pembangkit listrik yang harus mengacu persetujuan dunia internasional, serta berbagai ratifikasi konvensi internasional yang telah disahkan.
Baginya dari aspek regulasi, pemerintah sedianya telah memiliki gambaran arah pengaturan dan pemanfaatan nuklir. Dia pun menilai tak perlu memaksakan pengaturan ketentuan nuklir dalam draf RUU EBET. “Hal ini akan menambah masalah dan menyebabkan pembahasan RUU EBET jadi tidak produktif,” imbuhnya.
Akmaluddin menyarankan pemerintah dan DPR mestinya fokus membenahi atau malah menghapus sejumlah pasal yang tidak sejalan dengan maksud pembentukan RUU EBET. Seperti soal arah pengaturan energi baru yang lebih dominan dan ketentuan mengenai nuklir yang mendapat tempat istimewa dalam RUU EBET. Dia melihat, struktur pengaturan dalam RUU EBET secara eksplisit arahnya lebih mengutamakan energi baru, khususnya nuklir.
Ini sangat tidak adil. Seharusnya jikalau serius mau melakukan transisi energi dari fosil ke non fosil, maka setidaknya ada proporsionalitas pengaturan antara energi baru dan energi terbarukan,” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, RUU EBET sudah masuk tahap pembahasan DIM. Pembahasan dilakukan antara Panja RUU EBT Komisi VII bersama dengan pemerintah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pembahasan RUU memang dimungkinkan tak saja dilakukan di lingkungan DPR, tapi dapat digelar di luar Komplek Gedung Parlemen. Hanya saja, semestinya pembahasan terbuka sebagai bentuk transparansi proses pembentukan UU.