Beranda Publikasi Kegiatan

Penyelesaian Hak atas Tanah dan Lingkungan Berdasarkan Perubahan UU Minerba

1823

Beberapa norma dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tidak operasional atau tidak dapat diimplementasikan dengan baik khususnya terkait dengan penggunaan kawasan hutan untuk tambang, penyelesaian hak atas tanah, penegakan hukum terhadap aktivitas tambang illegal, pengawasan lingkungan, reklamasi, dan proses penyelesaian hak atas tanah yang berujung pidana. Isu tersebut kemudian berlanjut dan memunculkan problematika sebagaimana yang diatur atas UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dalam konteks penyelesaian hak atas tanah dan pengelolaan lingkungan hidup. Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Wahyu Nugroho, S.H., M.H., dalam diskusi interaktif virtual terkait “Persoalan Hukum Penyelesaian Hak atas Tanah dan Lingkungan Berdasarkan Perubahan UU Minerba”, di Jakarta, 18/12/2020.

Menurut Wahyu Nugroho, kondisi tersebut menunjukkan adanya problem yuridis. Lebih lanjut dikatakan bahwa konsep wilayah hukum pertambangan sebagai keseluruhan ruang bumi dalam satu wilayah Indonesia yang menggeser prinsip tata ruang nasional dan daerah, membuka ruang peralihan fungsi ruang atau kawasan seperti hutan, pesisir, pulau kecil, dan tanah ulayat. Problem lainnya juga terkait dari ketiadaan kewenangan daerah dalam konteks kebijakan lingkungan hingga pengawasan di sektor minerba. Selain itu, terkait dengan penyelesaian permasalahan hak atas tanah yang dilakukan oleh pemerintah pusat melalui mediasi dan diatur dalam PP, menurut Wahyu Nugroho, terlihat bahwa negara berkapasitas sebagai korporasi. Permasalahan lainnya juga terkait dengan kewajiban penyelesaian hak atas tanah oleh pemerintah pusat yang cenderung menjadi bias antara fungsi negara dan korporasi, sehingga menjadikan lorong gelap perizinan usaha pertambangan.

Lebih lanjut Wahyu Nugroho menjelaskan bahwa, selain terdapat problem yuridis juga terdapat problem implementasi. Menurutnya, beberapa problem itu terlihat saat penggunaan kawasan hutan hak dan pulau-pulau kecil untuk kegiatan usaha pertambangan. Selian itu juga terkait tidak tuntasnya proses penyelesaian hak atas tanah berujung konflik, intimidasi, dan kriminalisasi masyarakat lokal atau adat sekitar wilayah pertambangan. Permasalahan lainnya adalah terjadinya cacat formil atas instrumen perizinan lingkungan (analisis mengenai dampak lingkungan dan izin lingkungan) yang berarti sama dengan menegasikan masyarakat terdampak & pemerhati lingkungan. Di sisi lain terjadi permasalahan seperti menguatnya perizinan dan melemahnya pengawasan. Masalah-masalah implementasi dilapangan juga terlihat pada perubahan bentang alam, penggusuran hak atas tanah, kerusakan dan pencemaran lingkungan sekitar wilayah pertambangan, berdalihnya proyek strategis nasional dan objek vital nasional.

Permasalahan lainnya yang juga berhasil diidentifikasi oleh Wahyu Nugroho adalah terkait dengan adanya ketentuan yang paradoks, seperti perihal jaminan pusat dan daerah, tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang dan jaminan penerbitan perizinan lain. Kemudian timbul permasalahan pada penerbitan perizinan lain yang cenderung akan mengubah pemanfaatan ruang dan kawasan. Dalam kasus kawasan hutan lindung di dalamnya ada kegiatan usaha pertambangan. Dalam kasus izin sawit, ternyata di dalamnya mengandung potensi minerbanya. Bahkan terjadi penyimpangan penambangan secara terbuka di hutan lindung (open ground mining).

Selain itu ada wilayah yang dicadangkan untuk konservasi dan termasuk menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan, sehingga secara langsung mendegradasi makna konservasi lingkungan. Menghilangkan konservasi dan menggeser status menjadi wilayah usaha pertambangan khusus (WUPK). Perihal Pasal 137A juga menunjukkan bahwa adanya keaneha atau hal yang rancu, karena terdapat peralihan penyelesaian hak atas tanah dari pemegang IUP atau izin usaha pertambangan khusus (IUPK) ke pemerintah pusat.

Dari berbagai permasalahan tersebut, Wahyu Nugroho mengatakan bahwa terlihat politik hukum Minerba mengabaikan penghormatan terhadap kearifan lokal masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal sebagai living law dengan karakter legal pluralism. Perlu juga diperhatikan adalah penyelesaian hak atas tanah yang dilakukan oleh pemerintah berdasarkan ketentuan UU No. 3 Tahun 2020, hendaknya memerhatikan pengakuan hak atas tanah masyarakat hukum adat.

Untuk mengatasi berbagai permasalahan baik dari aspek yuridis maupun saat implementasi dilapangan, Wahyu Nugroho menawarkan konsep bahwa pembaharuan atas kebijakan Minerba, yaitu penetapan Wilayah Pertambangan (WP) dengan mengintegrasikan wilayah adat beserta hak ulayat yang terumuskan dalam sistem penataan ruang yang berorientasi pada nilai-nilai keseimbangan antara Tuhan, objek kandungan mineral di alam, dan kepentingan manusia.