Revisi Undang-Undang 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi Undang-Undang 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menimbulkan sejumlah permasalahan di daerah. Permasalahan tersebut khususnya terkait dengan penarikan kewenangan perizinan pertambangan yang semula berada di pemerintah daerah provinsi, kini kewenangannya berada di pemerintah pusat.
Terbitnya Undang-Undang 3 Tahun 2020 menimbulkan sejumlah konsekuensi perizinan pertambangan baik di pusat maupun di daerah.
Salah satu permasalahan yang banyak terjadi adalah keluhan dari pelaku usaha yang pertambangan yang berasal dari skala kecil seperti jenis pertambangan batuan. Pelaku usaha mengeluhkan karena proses perizinan yang berada di pemerintah pusat dan pengurusannya bersifat online. Bagi pelaku usaha pertambangan jenis batuan menganggapnya mekanisme tersebut tidak lazim dan tidak efektif.
Menyikapi kondisi tersebut, belakangan pemerintah pusat mendelegasikan sejumlah kewenangan terkait perizinan pertambangan ke daerah. Kebijakan tersebut didasarkan pada Peraturan Presiden 55 tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dengan kebijakan tersebut, maka daerah dalam hal ini pemerintah daerah provinsi kembali memiliki kewenangan untuk menerbitkan izin usaha pertambangan. Sebelumnya kewenangan tersebut ditarik ke pemerintah pusat lewat revisi UU 4 Tahun 2009 menjadi UU 3 Tahun 2020.
Keberadaan Perpres 55 Tahun 2022 selanjutnya menjadi dasar hukum bagi pemerintah daerah dalam menjalankan kewenangannya, khususnya terkait dengan pemberian perizinan pertambangan.
Berdasarkan kajian sementara yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) diketahui bahwa peralihan kewenangan perizinan pertambangan yang silih berganti menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha dan ketidaknyamanan bagi pemerintah daerah.
Daerah mengeluhkan karena peralihan kewenangan yang tidak pasti tersebut menimbulkan banyak keluhan dari pelaku usaha di daerah yang berujung pada Dinas ESDM Provinsi menjadi tempat aduan atas berbagai permasalahan tersebut.
Dinas ESDM Provinsi Jabar misalnya mengeluhkan banyaknya permasalahan diterima. Berbagai permasalahan yang diterima pihak Dinas ESDM Provinsi Jabar lantas dilaporkan keluhan tersebut kepada pemerintah pusat.
Menurut Dinas ESDM Provinsi Jabar, dirasakan banyak aturan yang belum tuntas terkait dengan peralihan kewenangan perizinan, terutama terkait aturan teknis. Hal tersebut menyebabkan pelaksanaan kebijakan pendelegasian kewenangan mengalami sejumlah kendal.
Permasalahan lainnya yang dihadapi adalah terkait dengan perizinan online. Ada 3 kendala proses perizinan saat ini yang sering dihadapi. Pertama, sistemnya sudah ada namun banyak fitur di website yang tidak bisa memenuhi kebutuhan dalam pengurusan perizinan.
Kedua, kendala person yang bisa berasal dari pemohon perizinan dan bisa juga dari petugas di Dinas terkait. Ketiga, minimnya SDM yang bertugas dalam pengurusan perizinan dan minimnya kualitas atau pemahaman dari petugas yang soal perizinan yang berbasis online.
Dinas ESDM Provinsi Jabar menambahkan bahwa terkait dengan fitur yang belum tersedia di sistem aplikasi OSS-RBA. Menurutnya saat diterapkannya perizinan berbasis online, ditemukan ada jenis perizinan pertambangan yang tidak tersedia di sistem.
Guna mengatasi permasalahan tersebut, Dinas ESDM Provinsi Jabar menggunakan sistem perizinan berbasis online yang lebih dulu sudah diterapkan di Jabar, yaitu sistem Jelita. Sistem tersebut dapat mengatasi permasalahan yang dialami oleh pelaku usaha ketika ada sejumlah jenis perizinan yang tidak terakomodasi dalam sistem OSS-RBA.