Beranda Berita

Royalti Dikejar Kala Industri Tambang Menantang

Rencana peningkatan tarif royalti dari pertambangan mineral dan batubara masih menuai pro dan kontra.

5266

Pemerintah menyasar tambahan penerimaan negara melalui rencana peningkatan tarif royalti dari pertambangan mineral dan batubara. Namun, upaya tersebut dinilai mendadak dan bukan pada waktu yang tepat. Para pelaku usaha pertambangan pun ramai-ramai meminta mengkaji ulang rencana itu karena bisa kontraproduktif.

Usulan penyesuaian tarif royalti muncul dari rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Selain itu, aturan dalam PP No 15/2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau PNBP di Bidang Usaha Pertambangan Batubara juga diusulkan direvisi.

Pada komoditas bijih nikel, misalnya, berdasarkan usulan revisi, akan berubah dari sebelumnya single tariff 10 persen menjadi tarif progresif 14-19 persen menyesuaikan harga mineral acuan (HMA). Sementara pada feronikel, dari single tariff 2 persen diusulkan menjadi tarif progresif 5-7 persen, menyesuaikan HMA.

Sementara pada komoditas batubara, tarif yang berlaku saat ini ialah progresif menyesuaikan harga batubara acuan (HBA) tarif PNBP izin usaha pertambangan khusus (IUPK) 14-28 persen. Pada usulan revisi, terbagi dua. Pertama, tarif royalti naik 1 persen untuk HBA lebih besar atau sama dengan 90 dollar AS per ton sampai dengan tarif maksimum 13,5 persen. Lalu, tarif IUPK 14-28 persen dengan perubahan rentang tarif (revisi PP No 15/2022).

Adapun konsultasi publik rancangan revisi PP No 26/2022 dan PP No 15/2022 dilakukan Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM pada Sabtu (8/3/2025). Namun, usulan itu mendapat tentangan dari para pelaku usaha pertambangan, termasuk dari nikel dan batubara.

Selama ini, pertambangan menjadi salah satu kontributor terbesar PNBP. Namun, kali ini industri pertambangan relatif sedang menantang, mulai dari harga komoditas yang cenderung menurun akibat kelebihan pasokan hingga yang terbaru, yakni kebijakan penahanan devisa hasil ekspor (DHE) 100 persen dengan jangka waktu minimal satu tahun.

Salah satu asosiasi yang menolak kenaikan royalti dilakukan saat ini ialah Forum Industri Nikel Indonesia (FINI), yang juga berkirim surat ke Kementerian ESDM. FINI mengusulkan aturan tarif royalti yang berlaku dipertahankan, salah satunya mempertimbangkan kondisi industri nikel dunia dan dalam negeri.

Ketua Umum FINI Alexander Barus dalam usulannya menyebut, perang berkepanjangan dan menurunnya permintaan produk nikel dunia telah menekan nikel ke level terendah sejak 2020. Terjadi kelebihan pasokan akibat banyak smelter baru dalam 1-2 tahun terakhir. Dampaknya, beberapa smelter berhenti atau beroperasi dengan kapasitas tak optimal.

Selain itu, permintaan pasar dari China lebih rendah dari yang diharapkan karena negara tersebut mengalami pelemahan ekonomi. Kondisi lain yang turut menekan ialah kenaikan upah minimum regional yang signifikan, penggunaan biodiesel B40 yang lebih mahal, dan kewajiban retensi DHE.

Pencapaian PNBP pada 2020-2024 subsektor minerba pun telah melampaui target yang ditetapkan. ”Kami berpendapat belum waktunya saat ini untuk menaikkan tarif royalti komoditas sektor nikel dalam rangka untuk mendapatkan pemsukan PNBP yang lebih besar lagi,” kata Alexander.

 

Dampak pada investasi

Kepala Badan Pembinaan Organisasi dan Keanggotaan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Osco Olfriady Letunggamu mengungkapkan, kenaikan tarif royalti memunculkan pro dan kontra. Di satu sisi, kalangan usaha mendukung pemerintah yang sedang menggenjot pertumbuhan ekonomi. Namun, revisi tarif mesti dikelola cermat.

”Ini agar tidak menghambat investasi dan pertumbuhan sektor pertambangan. Berdasarkan pengalaman global, penerapan tarif royalti yang terlalu tinggi dapat mengurangi daya saing industri nasional dan mendorong relokasi investasi ke negara lain. Juga menghambat proyek eksplorasi dan pengembangan tambang baru,” kata Osco.

Ia menambahkan, penyederhanaan regulasi penting untuk meningkatkan investasi dan mempercepat proses revisi rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) yang saat ini bisa memakan waktu hingga enam bulan. Pada akhirnya, perlu ada keseimbangan agar sektor pertambangan tetap kompetitif, smelter dalam negeri berkembang, dan daya saing Indonesia menguat di pasar global.

Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Gita Mahyarani mengatakan, kenaikan royalti akan membawa konsekuensi bagi bisnis. Salah satunya karena masih banyaknya kewajiban lain yang harus dipenuhi perusahaan, seperti peningkatan biaya akibat implementasi biodiesel B40 di tengah terbatasnya insentif.

Perlu Waktu

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bhaktiar menuturkan, tak dimungkiri, negara sedang betul-betul membutuhkan penerimaan negara. Terlebih, kondisi APBN sedang tidak baik-baik saja di awal 2025. Sementara pertambangan ialah salah satu kontributor penting penerimaan negara.

Maka, kata Bisman, yang praktis bagi pemerintah ialah dengan menaikkan tarif royalti. Namun, perlu dilihat, kondisi pertambangan juga sedang tidak bagus. Harga ambles lalu kebijakan DHE dan PPN. Selain itu, juga kebijakan terkait transaksi ekspor batubara yang mengacu harga batubara acuan (HBA).

”Jadi, agak berat bagi industri jika royalti juga dinaikkan. Waktunya tidak tepat karena ada tekanan beruntun bagi industri pertambangan. Bisa terjadi penurunan produksi. Efeknya bisa berganda dan panjang. Bahkan, tujuan untuk meningkatkan penerimaan malah bisa menjadi tidak tercapai,” ujar Bisman.

Menurut Bisman, penerapan kebijakan penyesuaian tarif royalti masih memerlukan waktu, setidaknya hingga kondisi usaha membaik. Perlu dilihat kembali, misalnya, pada akhir tahun atau awal tahun depan.

Sementara itu, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Khoirunurrofik, menilai, penyesuaian royalti akan meningkatkan kapasitas fiskal melalui PNBP. Memang akan ada trade off (pengorbanan), seperti yang dikeluhkan pelaku usaha, yakni tambahan beban di tengah tertekannya industri tersebut. Namun, ia melihat ada potensi di domestik.

”Jika tekanan yang dimaksud adalah tingkat harga (komoditas) yang lebih rendah, (ini) momentum untuk mengutamakan penjualan di dalam negeri dengan ekspektasi multiplier ekonomi yang lebih besar dari hilirisasi. Presiden juga menganggap (hilirisasi) sebagai ujung tombak perekonomian,” ujarnya.

Sementara itu, jika dikaitkan dengan potensi dampaknya investasi, Khoirunurrofik menilai penting untuk melihat kasus per kasus (case by case). Apabila satu perusahaan memiliki kontrak jangka panjang, kewajiban memang harus dipenuhi. Dalam hal ini, perusahaan dapat mendapat special treatment terkait tarif royaltinya.

Sementara itu, saat dikonfirmasi mengenai kemajuan pembahasan penyesuaian tarif royalti petambangan minerba melalui revisi PP, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Tri Winarno, hingga Selasa (18/3/2025) malam belum merespons pertanyaan Kompas. Demikian juga Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu yang belum merespons.

Sebelumnya, di Jakarta, Jumat (14/3/2025), Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mengemukakan, perihal penyusunan regulasi penyesuaian royalti pertambangan minerba telah dirapatkan dengan Kementerian Sekretariat Negara dan Kementerian Keuangan. Penyesuaian itu mempertimbangkan agar tak sampai ada pembebanan bagi para pelaku usaha.