Momentum habisnya kontrak PKP2B harus dimanfaatkan untuk memberikan ruang dan peran lebih besar kepada BUMN
Sejumlah perusahaan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi kesatu akan habis masa kontraknya dalam 5 tahun mendatang. Hingga kini perusahaan-perusahaan tersebut belum mendapat kepastian terkait dengan statusnya pasca kontraknya berakhir.
Perusahaan tersebut yaitu PT Kendilo Coal Indonesia yang habis kontrak pada pada 2021, KPC pada 2021, PT Multi Harapan Utama pada 2022, Arutmin 2020, PT Adaro Indonesia pada 2022, PT Kideco Jaya Agung pada 2023, serta PT Berau Coal pada 2025. Sebelumnya pada Juni 2019, salah satu perusahaan PKP2B yang habis kontraknya telah diperpanjang dalam bentuk IUPK, namun dibatalkan atas permintaan KPK.
KPK menilai bahwa perpanjangan kontrak atau pemberian IUPK harus sesuai dengan UU Minerba dan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010, terutama terkait dengan proses penawaran kepada BUMN dan penyesuaian wilayah pertambangan.
“Berdasarkan pengalaman pencabutan perpanjangan kepada PT Tanito Harum, maka Pemerintah harus hati-hati dan bijak untuk mengeluarkan kebijakan terhadap 7 perusahaan PKP2B yang akan habis kontrak tersebut,” ujar Ahli Hukum Energi dan Pertambangan, Bisman Bhaktiar, Jumar (27/12), di Jakarta.
Menurut Bisman, kebijakan pemerintah untuk melakukan perpanjangan terhadap PKP2B melanggar hukum. Hal ini seperti yang telah terjadi terhadap PT Tanito Harum. Maka langkah KPK juga ikut turun tangan menurut Bisman sudah tepat.
Bisman menyebutkan bahwa momentum habisnya kontrak PKP2B harus dimanfaatkan untuk memberikan ruang dan peran lebih besar kepada BUMN. “Perlu ada formulasi keterlibatan BUMN terhadap wilayah pertambangan yang dikelola oleh perusahaan PKP2B tersebut,” ujar Pria yang juga merupakan Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) ini.
Kemudian terkait RUU Minerba, Bisman menyebutkan bahwa RUU tersebut tidak bisa di carry over pembahasannya oleh DPR periode saat ini. Hal ini berangkat dari fakta bahwa hingga detik terakhir masa jabatan DPR periode lalu masih diagendakan rapat kerja Komisi VII DPR RI pada tanggal 27 September 2019 bersama Menteri ESDM dengan agenda pembahasan RUU Minerba untuk disahkan.
Namun menurut Bisman, agenda rapat kerja tersebut dibatalkan karena Menteri ESDM tidak hadir sesuai arahan dari Presiden RI. Oleh karena itu, hingga akhir masa jabatan Anggota DPR RI Periode 2014-2019 di bulan September 2019 pembahasan DIM RUU Minerba belum dapat dilaksanakan. Bisman mendorong bahwa RUU Minerba harus disusun ulang dengan memperhatikan kepentingan aspirasi berbagai pihak dengan proses dan tahapan yang benar.
“Ke depan lebih baik jika inisiatif dan proses penyusunan draf RUU Minerba dilakukan oleh Pemerintah. Selanjutnya Draf RUU dari Pemerintah diserahkan kepada DPR dan dilakukan pembahasan di DPR dengan lebih baik dan berdasar DIM fraksi-fraksi. Hal ini akan lebih efektif bagi DPR RI dan Pemerintah,” ungkap Bisman.
Divestasi Saham PT Vale Indonesia Tbk
Bisman juga menyinggung terkait proses Divestasi saham PT Vale Indonesia Tbk. Menurut Bisman, pada 11 Oktober 2019 holding BUMN pertambangan yakni PT Inalum (Persero) atau Mining Industry Indonesia (MIND ID) dan PT Vale Indonesia bersama dengan para pemegang saham Vale yaitu Vale Canada Limited dan Sumitomo Metal Mining Co., Ltd. telah menandatangani perjanjian pendahuluan untuk mengambilalih 20% saham divestasi Vale kepada peserta Indonesia.
Bisman menilai, divestasi 20% saham Vale merupakan kewajiban dari dari UU dan PP serta amandemen Kontrak Karya. Pengambilalihan 20% saham Vale tersebut diperkirakan senilai Rp 7,15 triliun, jumlah dana ini yang perlu disiapkan oleh MIND ID.
Berbeda dengan divestasi Freeport yang heboh, terhadap proses divestasi Vale ini terkesan kurang mendapat perhatian publik dan terburu-buru menjelang akhir kabinet Presiden Jokowi jilid I. Pemerintah atau Mind ID harus memastikan bahwa divestasi Vale ini sudah melalui kajian keekonomian dan proses legal due diligence sehingga potensi dan risiko hukumnya dapat diantisipasi. Selain itu, penentuan harga saham dan asal sumber dana untuk membeli saham harus di publikasikan secara transparan.