Beranda Berita

PUSHEP Kritik RUU EBET Batasi Kewenangan Pemerintah Daerah

153

BALIKPAPAN- Masa jabatan anggota DPR RI periode 2019-2024 akan segera berakhir. Apa kabar Rancangan Undang-Undang Energi baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET)?

Meski RUU EBET yang menjadi inisiatif DPR RI telah disepakati sebagai Prolegnas prioritas, tampaknya palu belum akan diketuk untuk mengesahkan RUU EBET menjadi undang-undang hingga masa jabatan anggota DPR RI berakhir.

Di pengujung masa jabatan anggota DPR RI, sejumlah agenda yang telah menanti di antaranya masa reses pada 12 Juli hingga 15 Agustus 2024. Kemudian masa sidang DPR pada 16 Agustus hingga 30 September 2024, dan pelantikan anggota DPR terpilih pada 1 Oktober 2024. Melihat sederetan agenda tersebut, kecil kemungkinan RUU EBET bisa disahkan oleh DPR periode sekarang ini.

Monitoring Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), pembahasan RUU EBET di DPR RI memerlukan proses yang panjang. Masuk dalam Prolegnas prioritas sejak 2019, tahapan perjalanan pembahasan RUU EBET berhenti pada rapat kerja antara Komisi VII DPR RI dengan DPD RI dan pemerintah. Raker tersebut dilakukan pada 20 November 2023.

Manager Legal Studi PUSHEP Akmaluddin Rachim mengakui secara formil  pembahasan RUU EBET telah melibatkan partisipasi publik. Proses penyusunan oleh Komisi VII dilakukan di dalam dan di luar Gedung DPR RI.

“Ketika pembahasan dilakukan di dalam gedung, publik bisa memonitornya. Yang jadi masalah adalah ketika dibahas di luar gedung semisal hotel, akses publik menjadi tertutup,” kata Akmaluddin dalam diskusi publik bertemakan “Nasib RUU EBET di Ujung Masa Jabatan DPR RI”, Jumat (26/07/2024)

Diskusi rutin yang digagas oleh PUSHEP dan BEM FH UI tersebut juga menghadirkan dua narasumber lain, yakni Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FH UI) Alif Lathif dan  Manager Kampanye dan Advokasi Forest Watch Indonesia (FWI) Anggi Putra Prayoga.

Meninjau pembahasan RUU EBET dari aspek formil, Akhmaluddin menilai ruang partisipasi masyarakat dalam pembahasan RUU masih sangat terbatas. Selain itu, pembahasan di luar gedung juga menjadi penghambat akses publik.

“Akses untuk mendapatkan materi RUU EBET juga sulit,” ungkap Akmaluddin.

Secara materil, sebut Akmaluddin, terdapat perdebatan mengenai materi muatan jenis energi baru dan energi terbarukan. Banyak pihak memberikan penilaian bahwa muatan jenis energi baru berbenturan dengan muatan jenis energi terbarukan.

Dia mengatakan isu perkembangan energi dikaitkan dengan ketahanan energi menjadi hal yang penting. Sebab kebutuhan energi akan terus bertumbuh seiring dengan bertambahnya populasi

“Kita mendorong agar ketahanan energi diperkuat. Pertanyaannya adalah apakah pemerintah mampu memenuhi kebutuhan energi tersebut dari energi bersih. Energi yang sehat secara lingkungan,” kata Akmaluddin.

Dia mewanti-wanti kepada pemerintah dan DPR agar berhati-hati terhadap klausul “power wheeling” dalam RUU EBET.

Menurut dia, klausul tersebut sudah di-drop pada awal tahun 2023, dan sempat muncul lagi tiga bulan berikutnya, sehingga disinyalir ada pelaku listrik swasta yang memaksa memasukkan dalam draf RUU EBET.

“Secara konstitusionalitas, skema power wheeling perlu dipertanyakan,” ujarnya.

Catatan lain, Akmaluddin menilai RUU EBET terlalu sentralistrik sehingga kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah sangat terbatas.

Ia sepakat bahwa transisi energi harus didorong dengan melakukan pengembangan energi terbarukan dan dimaksimalkan pada setiap daerah.

Dengan melihat potensi energi terbarukan yang berbeda antar daerah, menurut dia pengembangan energi terbarukan harus didasarkan pada kearifan lokal.

“Tidak tepat jika ada penyeragaman, karena setiap daerah memiliki potensi yang berbeda-beda,” ujarnya. (jid)