Beberapa tahun terakhir kontribusi Migas terhadap postur APBN secara keseluruhan sudah di bawah 10 persen
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memberikan kemudahan kepada pelaku usaha sektor Minyak dan Gas (Migas) untuk memilih skema bagi hasil antara gross split atau cost recovery. Kemudahan itu diberikan untuk memikat perhatian pengusaha berinvestasi di sektor hulu Migas, terutama terkait produksi Migas melalui kontrak kerja sama.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (PUSHEP) Bisman Bhaktiar mengungkapkan, baik menggunakan skema gross split ataupun cost recovery, yang paling penting adalah mengutamakan tata kelola Migas yang pasti dan konsisten. Selain itu harus menguntungkan negara, namun tetap menarik bagi pelaku usaha hulu Migas.
“Tata kelola Migas ini harus didasarkan atas kepastian hukum dan keadilan, skema gross split ataupun cost recovery masing-masing punya kelebihan dan kekurangan dan semuanya bisa diterapkan tergantung karakteristik wilayah kerjanya. Namun harus diakui, cost recovery pasti lebih menarik bagi pelaku usaha,” ungkap Bisman dalam diskusi tentang Ekonomi Migas dan Ketahanan Energi, Senin (20/1), di Kantor PUSHEP.
Bisman yang juga ahli hukum energi dan pertambangan menyebutkan bahwa sebenarnya tidak ada yang salah dengan sistem cost recovery karena apapun skemanya pasti ada cost-nya, tetapi memang yang menjadi masalah adalah implementasinya terkait dengan potensi penyimpangan keuangan dan markup biaya. Tetapi harus diingat bahwa dengan cost recovery akan mendorong pelaku usaha untuk lebih giat melakukan eksplorasi yang akan mendorong adanya peningkatan lifting. Oleh sebab itu cost recovery lebih menarik tetapi mensyaratkan adanya clean government.
Lebih lanjut disampaikan, kenapa Pemerintah mengoreksi sistem cost recovery karena banyak terjadi inefisiensi dan dugaan penyimpangan biaya. Hal ini merupakan salah satu kelemahan dari sistem cost recovery, yang dapat menimbulkan kerugian besar bila suatu negara belum siap menerapkan skemanya dengan segala konsekuensinya.
Ia menjelaskan, salah satu problem utama dalam skema cost recovery di negara dengan indeks demokrasi yang masih belum mapan dan sistem penyelenggaraan ketatanegaraan yang pengelolaan institusinya relatif marak praktik KKN adalah kuatnya pengaruh moral hazard. Dorongan itu menyimpan potensi buruk bagi tata kelola Migas dan mendorong berkembangbiaknya perilaku korup bila segera tak diatasi.
“Oleh sebab itu, kita perlu cermati untung rugi dari fleksibilitas penerapan cost recovery atau gross split. Dapat dilihat dari sudut pandang kemanfaatan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, tata kelola yang bersih dan partisipatif serta berkelanjutan” ujar Bisman.
“Tantangannya adalah, ke depan Pemerintah harus melakukan kajian lebih mendalam. Skema bagi hasil cost recovery atau gross split harus memperhatikan berbagai aspek, baik itu kesiapan SDM dalam pengelolaan dan pengendaliannya, kesiapan pengawasan, bahkan kesiapan moral hazard sekalipun” tegas Bisman
Saat ini Kementerian ESDM menawarkan dua skema kontrak, cost recovery dan/atau gross split kepada calon investor. Sebab pemerintah berencana melelang 12 wilayah kerja (WK) atau blok Migas di tahun ini. 12 blok Migas itu merupakan 10 blok Migas konvensional dan 2 blok Migas non konvensional.
Sementara itu Ahli Fiskal Migas Abdul Nasir mengungkapkan, dari sisi penerimaan negara dari sektor Migas, Pemerintah Indonesia sudah harus bisa menyesuaikan diri dengan kontribusi sektor Migas yang semakin kecil. Nasir mengungkapkan beberapa tahun terakhir kontribusi Migas terhadap postur APBN secara keseluruhan sudah di bawah 10 persen.
“Bahkan di tahun 2016 hanya berada di kisaran 3 persen dari total penerimaan negara. Jadi sebenarnya sudah relatif kecil keuntungan penerimaan negara dari sektor Migas,” ujar Nasir.
Menurut Nasir yang juga mahasiswa program doktor fiskal Migas di Australia, sebenarnya Indonesia sudah kehilangan momentum jika masih mengharapkan pendapatan yang besar dari sektor Migas. Ia membandingkan dengan tahun 70-80an, Migas memiliki peranan yang sangat signifikan untuk capaian pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
Ia kemudian membandingkan dengan situasi beberapa negara produsen Migas yang masih banyak bergantung terhadap sektor ini. Menurut Nasir, Migas di sebagian negara-negara produsen masih memberikan kontibusi penting bagi pembangunan ekonomi di berbagai negara.
Selanjutnya, jika dilihat dari aspek ketersediaan energi, Migas di berbagai kesempatan selalu mendapat predikat terkait dampak negatif dari degradasi lingkungan, emisi karbon, dan sebagainya. Namun menurut Nasir hal ini sulit untuk menggeser kebutuhan energi dunia terhadap Migas.
Untuk Indonesia saja, sampai hari ini Migas masih menyuplai hampir 60 persen dari total energy suplay. Prosentase rigid-nya kurang lebih 40 persen minyak dan 20 persen gas. Ia menyebutkan, menurut prediksi lembaga riset dalam beberapa dekade ke depan, misalnya di tahun 2040, Migas masih menopang suplai energi dunia. Untuk itu masih akan dominan menjadi sumber energi.
Dari sisi nilai ekonomi yang lain dalam hal ini sebagai bahan baku aktor industri terutama petrokimia, Nasir menyebutkan konsumsi Migas sangat tinggi. Ia memprediksi pertumbuhan konsumsi Migas untuk industri petrokimia akan menjadi raja baru di masa mendatang.
“Kalau kita gabungkan dia sebagai suplay energi dan sebagai bahan baku di sektor petro kimia, maka nilai ekonominya di 20-30 tahun mendatang akan tetap tinggi,” ujar Nasir.