JAKARTA – Sejumlah kelompok masyarakat mengkritik pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang sudah memasuki tahap akhir. Mereka bersiap mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Koalisi Masyarakat Sipil #BersihkanIndonesia menilai keputusan DPR dan pemerintah dalam melanjutkan pembahasan dan pengesahan RUU Minerba mencerminkan upaya untuk menyokong kepentingan investor batu bara. Sebanyak 90 persen isi dan komposisi RUU ini hanya mengakomodasi kepentingan pelaku industri batu bara, ujar salah satu anggota Koalisi dari Jatam, Merah Johansyah, kemarin. Dia mencontohkan soal aturan perpanjangan PKP2B yang diberikan otomatis tanpa lelang dan penciutan luas lahan.
Merah juga menyoroti adanya definisi “wilayah hukum pertambangan”. Menurut dia, pasal tersebut akan mendorong eksploitasi tambang besar-besaran, bukan hanya di kawasan daratan, tapi juga di lautan, yang bertentangan dengan UU Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Koalisi meminta DPR dan pemerintah membatalkan rencana pengesahan RUU Minerba di paripurna. DPR dan pemerintah harus berfokus menyelamatkan rakyat di tengah wabah virus corona yang mematikan, kata Merah.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan, Bisman Bhaktiar, menyatakan bahwa sejumlah proses pembahasan RUU Minerba juga bertabrakan dengan hukum. Salah satunya lantaran RUU Minerba tak memenuhi syarat yang pembahasannya bisa dilanjutkan (carry over) karena belum pernah dibicarakan di DPR periode sebelumnya.
Komisi Energi dan pemerintah juga tidak melibatkan partisipasi publik serta dinilai tidak transparan hingga akhir proses pembahasan. Tahun lalu, Presiden Joko Widodo menunda pembahasan RUU Minerba setelah ratusan orang turun ke jalan menuntut pembahasan ulang secara transparan.
Dari sisi substansi, salah satu hal yang dikritik Bisman adalah resentralisasi kewenangan pertambangan. Ini sangat riskan dalam konteks keadilan dan kewenangan untuk daerah karena dapat memicu ketidakadilan dan disintegrasi, katanya. Menurut Bisman, keputusan untuk menghapus pasal hukuman bagi koruptor terkait dengan izin tambang serta pengurangan ancaman hukuman penjara bagi pertambangan tanpa izin berpotensi mengurangi hukuman tindak pidana. Dia berencana menggugat ketentuan tersebut jika tetap disahkan tanpa perubahan terhadap pasal-pasal tersebut.
Mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara, Simon Felix Sembiring, menilai RUU Minerba justru mengalami kemunduran. Kita mundur ke zaman 1967, ujarnya.
Simon terutama menyoroti ihwal penghiliran. Dalam Pasal 102 disebutkan bahwa pemegang IUP atau IUPK Operasi Produksi wajib meningkatkan nilai tambah melalui pengolahan dan pemurnian. Namun dalam Pasal 103 disebutkan bahwa pemegang izin wajib melakukan pengolahan dan/atau pemurnian.
Pasal tersebut, menurut Simon, membukan ruang bagi pengusaha untuk memilih antara pengolahan atau pemurnian saja. Hilang sudah roh penghiliran, kata dia.
Padahal saat Menyusun UU Minerba pada 2009, Simon menuturkan pemerintah dan DPR bermimpi kewajiban pengolahan dan pemurnian dibuat agar pengembangan sektor hilir mineral dan batu bara di dalam negeri dapat terwujud. Hingga 10 tahun setelah undang-undang dibuat, realisasi pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian masih terhambat.
Sama dengan kelompok masyarakat lainnya, Simon menyatakan berencanan mengajukan uji materi terhadap RUU Minerba. Dia menunggu rancangan tersebut disahkan, lalu mengkajinya, sebelum di bawah ke Mahkamah Konstitusi.
Komisi Energi DPR sudah memperkirakan adanya pengajuan uji materi terhadap RUU Minerba. Wakil Ketua Komisi Energi, Eddy Suparno, menyatakan beragam kritik dilayangkan oleh banyak pihak kepada anggota Dewan. Kalau memang ada perbedaan pendapat atau protes, sampaikan sesuai dengan jalurnya. Sudah disiapkan jalurnya melalui Mahkamah Konstitusi, katanya.