Beranda Publikasi Kegiatan

Pembahasan Penyusunan Revisi UU Energi, DPD RI Kembali Minta PUSHEP Beri Masukan

611
OLYMPUS DIGITAL CAMERA

 

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) kembali menghadirkan Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) sebagai salah satu pakar untuk memberikan masukan terkait dengan rencana perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (UU 30 Tahun 2007). Rapat dipimpin oleh Pimpinan Komite II DPD RI, Lucky Semen, SE., yang merupakan Anggota DPD RI dari Dapil Prov. Sulawesi Tengah. Selain itu, rapat tersebut juga dihadiri oleh Anggota Komite II DPD RI, baik secara langsung maupun virtual. Adapun sejumlah ahli hukum dan pengamat di bidang energi, diantaranya Dr. Ir. Surya Darma, MBA., Dr Lukman Malanuang dan Bisman Bhaktiar, S.H., M.H., M.M.

Diskusi berlangsung menarik dengan pembahasan materi dari para narasumber, yang pada intinya mendorong agar mempercepat proseg pembahasan dan penguatan substansi untuk revisi UU 30 Tahun 2007. Surya Darma menyoroti ketentuan mengenai pengaturan antara energi baru dan energi terbarukan. Menurutnya, yang harus diperkuat dan diutamakan adalah substansi terkait dengan energi terbarukan. Baginya arah revisi UU tersebut harus mendahulukan pengaturan mengenai substansi energi terbarukan baru kemudian ketentuan energi baru. Surya Darma beralasan bahwa pengelolaan energi yang dibutuhkan ke depan ialah pemanfaatan energi terbarukan. Sebab saat ini terjadi banyak kerusakan lingkungan dan perubahan iklim yang begitu cepat akibat kegiatan eksploitasi sumber daya alam yang mengabaikan kaidah-kaidah pertambangan yang baik.

Menanggapi hal tersebut, Lukman Malanuang mewanti-wanti agar jangan sampai negara ini terjebak pada pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan. Menurutnya harus ada batasan koridor hukum yang jelas dalam eksploitasi sumber daya alam untuk pemanfaatan energi. Lukman Malanuang melanjutkan penjelasannya bahwa apabila aktivitas tersebut terus-menerus dilakukan tanpa kebijakan pengelolaan dengan cara yang terbatas, maka sumber daya alam itu tidak dapat lagi dirasakan oleh generasi selanjutnya. Ia mengingatkan bahwa adanya problem besar apabila terjadi salah kelola kegiatan pertambangan. Dimana, daerah atau kawasan bekas lahan kegiatan pertambangan yang tidak dapat kembali dipergunakan akibat kegiatan pertambangan yang merusak lingkungan. Dampaknya bilah hal itu terjadi maka suatu daerah akan kutukan sumber daya alam.

Lebih lanjut Lukman Malanuang mengatakan bahwa agar kutukan ini tidak terjadi, maka pengaturan terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam harus didasarkan pada hukum dan keadilan. Menurutnya pengelolaan sumber daya alam untuk pemanfaatan energi harus didasarkan pada prinsip bijaksana, rasional, dan berkelanjutan.

Adapun Bisman Bhaktiar dalam diskusi tersebut menekenkan pentingnya penguatan kewenangan daerah sebagai substansi utama yang perlu diatur dalam revisi UU 30 Tahun 2007. Menurutnya penguatan kewenangan ini menjadi penting karena dengan begitu upaya untuk merealisasikan target bauran energi lebih mudah dilakukan. Bagi Bisman Bhaktiar, jargon pelibatan daerah untuk mendukung pemerintah pusat dalam mempercepat realisasi bauran energi nasional hanya merupakan isu populis yang selalu disuarakan. Padahal, menurutnya, pelibatan tersebut harus dimaknai sebagai amanah konstitusi atau ada hak pemerintah daerah dalam setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat untuk dilibatkan.

Bisman Bhaktiar menambahkan bahwa pemerintah pusat tidak dapat begitu saja mengesampingkan peran daerah. Pemerintah daerah harus diikutsertakan dalam pengelolaan sumber daya alam, khususnya terkait dengan energi dan pertambangan. Pelibatan daerah merupakan bagian untuk memberikan keadilan atas potensi dari kekayaan sumber daya alam. Oleh sebab itu, dukungan kewenangan dan anggaran kepada daerah ini diharapkan diatur dalam revisi UU 30 Tahun 2007.

Lebih jauh Bisman Bhaktiar menjelaskan bahwa urusan pemerintahan bidang energi, sebagaimana yang diatur dalam UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, hanya ada di pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi. Dalam undang-undang tersebut, daerah kabupaten/kota tidak mempunyai urusan di bidang energi. Kenyataan ini membuat daerah tidak bisa menjalankan kewenangan dan anggaran di bidang energi. Oleh sebab itu, menurut Bisman Bhaktiar, ketentuan ini perlu ditinjau ulang.

Bisman Bhaktiar menegaskan bahwa perlu dipertegas kalau urusan energi merupakan urusan konkuren (urusan pemerintahan yang dibagi antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota). Daerah provinsi dan kabupaten/kota perlu diperkuat dan diberikan urusan bidang energi. Pengaturan pembagian urusan pemerintahan bidang energi dalam UU 23 Tahun 2014 perlu ditinjau ulang. Sehingga nantinya pemberian kewenangan tersebut diberikan melalui hasil perubahan UU 30 Tahun 2007.