Program Just Energy Transition Partnership (JETP) yang diumumkan pada KTT G20, di Bali, pada November 2022 lalu, mendesak untuk mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Dukungan tersebut berupa kerangka regulasi dan keberpihakan pembiayan oleh Bank. Hal tersebut mengemuka dalam kegiatan yang membahas tentang Pembiayaan Transisi Energi yang Adil (JET) di Indonesia. Peneliti senior Profundo, Juliette Laplane, sebagai sebagai narasumber menyampaikan bahwa mekanisme atau proses transisi energi di Indonesia membutuhkan kebijakan konkret dari pemerintah untuk mendorong transisi energi serta perlunya andil dari sektor keuangan.
Sebagaimana diketahui bahwa pemerintah Indonesia setidaknya membutuhkan dana kurang lebih sebesar $20 miliar untuk meralisasikan JETP. Dana tersebut akan berasal dari berbagai sumber seperti hibah, pinjaman lunak, pinjaman dengan suku bunga pasar, jaminan, dan investasi swasta. Pendanaan program tersebut sedianya berasal dari International Partners Group (IPG) dan berbagai pihak lainnya. IPG merupakan kelompok negara-negara yang tergabung untuk mendorong capaian Net Zero Emission (NZE), yang terdiri dari Jepang, Amerika Serikat, Kanada, Denmark, Prancis, Jerman, Italia, Norwegia, Uni Eropa, dan Inggris. Adapun pihak lain yang menjadi sponsor pendanaan JETP ialah bank pembangunan multilateral dan nasional serta lembaga keuangan yang memiliki perhatian terhadap transisi energi.
Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), Akmaluddin Rachim yang hadir dalam kegiatan tersebut, menyampaikan bahwa terkait dengan peluncuran program JETP di Indonesia ini masih tertunda. Sebelumnya, pemerintah melalui Sekretariat JETP menyampaikan bahwa Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP yang sedianya akan diluncurkan pada Agustus 2023, mengalami penundaan pengumuman. Berdasarkan informasi yang berkembang, hal tersebut mundur hingga menjelang akhir 2023. Akmal, menambahkan bahwa penundaan tersebut bisa jadi disebabkan oleh belum siapnya kerangka regulasi yang komprehensif, yang menjadi dasar hukum kebijakan transisi energi.
Pemerintah saat ini menggunakan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik sebagai dasar kebijakan mengenai transisi energi. Menurut Akmal, kebijakan tersebut belum sepenuhnya cukup kuat dan mumpuni untuk digunakan sebagai dasar regulasi bagi implementasi JETP di Indonesia. Diperlukan dasar kebijakan bagi pelaksanaan program JETP di Indonesia, karena hal ini terkait dampak yang akan timbul saat kebijakan tersebut diterapkan. Khususnya terkait dengan target utama dari program JETP adalah penghentian operasi PLTU yang mengakibatkan tenaga kerja di sektor tersebut terdampak.
Oleh sebab itu, menurut Akmaluddin Rachim, pembiayaaan transisi energi membutuhkan regulasi yang komprehensif agar memberikan kepastian hukum dalam implementasinya nanti. Regulasi dalam hal ini yang dimaksud adalah politik hukum berupa undang-undang agar dapat dimitigasi jika terjadi masalah dikemudian hari. Apabila regulasinya hanya setingkat peraturan presiden, maka hal tersebut sangat berpotensi dipermasalahkan ke depannya. Kedudukan politik hukum ini sangat penting karena cakupan program transisi energi tidak hanya sebatas pensiun dini PLTU.
Selanjutnya pada kesempatan yang sama, peneliti PUSHEP, Bayu Yusya, menyoroti terkait dengan minimnya dukungan pendanaan kepada pemberdayaan masyarakat dan penelitian dalam rencana implementasi JETP ini. Hal ini dibenarkan oleh Juliette bahwa sejauh ini belum menemukan dukungan pendanaan Bank untuk pemberdayaan masyarakat dan penelitian terkait transisi energi. Ini perlu dikaji lebih dalam, mendorong masyarakat sipil bersama-sama melakukan advokasi kebijakan terhadap dukungan alokasi pendanaan bagi pemberdayaan masyarakat dan penelitian yang akan berdampak langsung pada percepatan transisi energi.
Selain itu, Bayu Yusya juga menanyakan terkait dengan tanggung jawab dunia perbankan dalam pembiayaan transisi energi. Menurutnya, pihak perbankan harus turut bertanggungjawab dalam menghadapi situasi perubahan iklim ini dengan meminimalkan pembiayaan di sektor industri ekstraktif. Bayu menjelaskan bahwa perlunya perbankan selektif memberikan pendanaan kepada pelaku usaha di sektor pertambangan dan turut menagih pertanggungjawaban perusahaan tersebut jika melanggar prinsip kaidah pertambangan yang baik dan tidak memperhatikan aspek lingkungan.