Jakarta, PUSHEP – Usaha pertambangan merupakan salah satu sektor strategis yang ditengarai sarat dengan potensi korupsi. Pada sektor ini praktik korupsi hampir dapat terjadi di setiap proses kegiatan usahanya, mulai dari alih fungsi lahan, perizinan, pelaksanaan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), penjualan hasil produksi, hingga pengalokasian dana jaminan reklamasi pasca tambang.
Maraknya korupsi pada sektor pertambangan ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti rendahnya kualitas regulasi, lemahnya pengawasan, sistem birokrasi yang rumit dan tidak transparan, hingga kepentingan politik baik daerah maupun nasional. Bahkan dalam banyak studi ditemukan bahwa risiko korupsi di pertambangan meningkat jelang pemilihan kepala daerah (pilkada).
Menyoroti hal tersebut, pada tanggal 5 Juni 2020 Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) mengadakan Focus Group Discussion dengan tema “Pemberantasan Korupsi di Sektor Energi dan Pertambangan”. Diskusi yang diselenggarakan secara virtual ini menghadirkan Ikhwan Fahrojih, S.H. sebagai pemateri.
Di awal pemaparannya Ikhwan mengutarakan bahwa suatu negara yang memiliki sumber daya alam (SDA) melimpah tidak menjadi jaminan negara tersebut akan maju jika tidak dikelola dengan sistem kelembagaan yang kuat. Dalam beberapa hasil penelitain ditemukan bahwa kekayaan SDA suatu negara berbanding lurus dengan tingginya kepentingan pengelolaan SDA tersebut, baik kepentingan suatu kelompok maupun kepentingan asing, sehingga apabila negara tidak memiliki kelembagaan yang baik dan kuat maka kekayaan SDA tidak akan bisa membawa kesejahteraan bagi rakyat, bahkan bisa menyebabkan inefisiensi ekonomi.
Ikhwan menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki SDA melimpah khususnya di sektor pertambangan, namun demikian sistem kelembagaannya masih lemah. Sehingga sektor ini menjadi ladang basah untuk dikorupsi oleh oknum pejabat dan politisi, termasuk dalam hal ini kepala daerah.
Lebih lanjut, secara spesifik Ikhwan menyoroti permasalahan korupsi di sektor pertambangan batubara, termasuk keterkaitan praktik korupsi batubara dengan pemilu dan pilkada, “ada fenomena (yang menunjukkan) batubara menjadi sumber keuangan politik yang cukup besar, baik pada momentum pilpres maupun pilkada” tandasnya
“Pilkada langsung ternyata membutuhkan biaya politik yang sangat tinggi (high cost politic), sementara subsidi negara bagi partai politik sangat minim, karena itu terjadi pengumpulan dana terselubung meningkat secara signifikan. Hal ini diamini oleh hasil penelitian TII yang mewawancarai para penambang mengindikasikan bahwa biaya korupsi politik berfluktuasi sesuai dengan siklus pemilihan, dan meningkat mendekati saat pemilihan” imbuhnya
Mengenai korupsi batubara Ikhwan memaparkan bahwa dalam praktiknya banyak terjadi pada proses perizinan, khususnya setelah adanya peralihan kewenangan dari pusat ke daerah (desentralisasi), yang mana jumlah izin usaha tambang kemudian meningkat secara drastis dan tidak terkontrol, dan dari jumlah tersebut ditemukan banyak izin yang bermasalah.
Pada akhir pemaparannya, Advokat sekaligus Divisi Advokasi PUSHEP itu memberikan sejumlah rekomendasi untuk mengatasi permasalahan dimaksud, antara lain 1) mempercepat tindak lanjut penertiban konsesi yang bermasalah, 2) membangun dan mengembangkan sistem database perizinan yang terintegrasi antara pusat dan daerah, 3) mempercepat penyelesaian platform satu peta di kementerian ESDM, dan 4) mempercepat pengembangan sistem penerimaan negara secara online dan terintegrasi dengan database.
Diskusi menjadi semakin menarik saat tanya jawab, pada sesi ini banyak dibahas mengenai isu-isu krusial dalam Omnibus Law terkait pertambangan, kurang transparannya pembayaran PNPB, pengelolaan dana jaminan reklamasi, dan potensi kerugian negara dalam proses divestasi saham Freeport.
Pada kesempatan yang sama Direktur Eksekutif PUSHEP, Bisman Bakhtiar, S.H., M.H., M.M., yang juga hadir dalam diskusi online tersebut turut menanggapi beberapa pertanyaan peserta, antara lain mengenai penarikan kewenangan dari pemerintah daerah ke pusat dalam RUU Omnibus Law. Bisman mengatakan bahwa ketentuan awal mengenai hal tersebut memang ada di Omnibus Law, namun kemudian diadopsi dalam RUU Minerba yang sekarang sudah ditetapkan namun masih belum diundangkan.
Untuk diketahui revisi atas UU Minerba ditetapkan oleh DPR pada sidang Paripurna tanggal 12 Mei 2020 lalu, statusnya saat ini masih menunggu tanda tangan Presiden. Adapun salah satu poin penting dalam UU tersebut adalah terkait dengan usaha pertambangan yang dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat.
“Jadi, sekarang daerah tidak lagi punya kewenangan atribusi baik kabupaten maupun provinsi. Seluruh kewenangan perizinan ada di pemerintah pusat, dari pertambangan yang skalanya sekecil apapun sampai pada pertambangan besar, semuanya tertumpu di pusat” Tambah Bisman.
Bisman menyayangkan hal tersebut, karena selain dapat berpotensi korupsi yang luar biasa, juga tidak pro otonomi daerah dan desentralisasi, “Tapi, UU Minerba yang baru itu nanti katanya akan didelegasikan melalui PP atau Permen sebagian kewenangan pusat kepada daerah baik provinsi maupun kabupaten, betul (pendelegasian itu) baik tapi kurang mantap, mestinya kewenangan daerah itu bukan karena delegasi tapi karena harus atribusi berdasarkan undang-undang” Imbuhnya.
Selain soal pengalihan kewenangan, Bisman juga menyoroti soal PNBP dengan menunjukkan data pemasukan negara dari PNBP sektor Minerba, dimana pada tahun 2019 negara menerima sebesar Rp44,8 triliun. Menurutnya angka tersebut sangat kecil jika dibandingkan dengan APBN yang pada tahun 2019 angkanya mencapai Rp2100 triliun.
“Padahal tambang kita luar biasa, mestinya ratusan triliun masuk. Oleh karena itu kenapa yang masuk hanya Rp44,8 T? dipastikan ini ada penyalahgunaan kewenangan” Tegasnya. Pada intinya kekayaan alam kita sangat besar tapi pemasukan kepada negara tidak sebanding dengan lingkungan yang rusak.