Beranda Berita

Praktik Tambang yang Baik, Kenapa Tidak?

Praktik baik pertambangan adalah prasyarat untuk diterima masyarakat sehingga keberlanjutan bisnis perusahaan terjaga. Meski demikian, banyak pula perusahaan yang belum melakukannya.

17

Praktik pertambangan yang baik (good mining practice) tak lagi sekadar kewajiban yang harus dipenuhi perusahaan-perusahaan tambang. Lebih jauh, di era prinsip-prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola sudah lagi jadi kebutuhan, praktik itu adalah prasyarat untuk diterima masyarakat sehingga keberlanjutan bisnis perusahaan terjaga.

Rintik hujan membasahi dedaunan sejumlah tanaman, seperti sengon, sungkai, akasia, dan nangka di sekitar Arboretum Ata Sela, di Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, Rabu (25/10/2023) sore. Di sisi luar arboretum, pepohonan setinggi sekitar 10 meter mengelilingi danau seluas 76,2 hektar yang digenangi air berwarna hijau.

Rimbunnya pepohonan serta sejuknya udara alami di arboretum dan Danau Ata Sela itu seakan melupakan kenyataan bahwa lahan di kawasan itu adalah bekas tambang terbuka(open pit)Ata Selatan yang dikelola PT Arutmin Indonesia. Selesai berproduksi pada 2014, area itu direklamasi dan lubang tambang dijadikan void atau danau pascatambang.

Manajer Tambang PT Arutmin Indonesia Site Batulicin Cipto Prayitno mengatakan, tambang Ata Selatan adalah salah satu lokasi pertambangan Blok Serongga, Batulicin. Di Ata Selatan, pengelolaan lahan berdasarkan izin pinjam pakai kawasan hutan. Namun, karena ada site lain di Blok Sarongga yang masih berproduksi, lahan di Ata Selatan belum dikembalikan.

Reklamasi telah dilakukan paralel sejak tambang Ata Selatan masih berproduksi. ”Yang pasti, kami harus menjaga kawasan hutan dari pembalakan liar serta kebaran hutan. Sementara void kami manfaatkan untuk keramba jaring apung yang dikelola masyarakat serta sumber bahan baku air bersih. Ini sudah berjalan sejak 2016,” ujar Cipto.

Di tambang terbuka Ata Sela, reklamasi sudah dilakukan sejak 2009. Reklamasi pada lahan seluas 295 hektar itu setara dengan penamanan 250.000 pohon. Sementara itu, arboretum dibangun seluas 3,5 hektar, memiliki 44 jenis koleksi tanaman lokal, termasuk beberapa jenis tanaman langka serta berbagai jenis tanaman anggrek.

Adapun danau pascatambang Ata Sela seluas 76,2 hektar berkedalaman maksimal 100 meter. Cadangan air yang dimiliki mencapai 20 juta meter kubik. Danau pascatambang tersebut juga menjadi tempat budidaya nila dengan sistem keramba jaring apung yang dikelola oleh satu kelompok pembudidaya beranggotakan 14 orang.

Bahrani (56), warga Desa Mantewe, Kecamatan Mantewe, Tanah Bumbu, adalah salah satu pengelola keramba jaring apung di Danau Atasela itu. Ia mengaku tidak tahu pasti omzet yang didapat dengan menjual nila yang dibudidayakan di tepi danau tersebut. Namun, yang pasti, kualitas nila yang dihasilkan lebih baik dari yang dijual di pasar.

”Harga jual nila dari sini Rp 40.000 per kilogram (kg), sedangkan di pasar Rp 35.000 per kg. Warga sekitar juga banyak yang membeli. Katanya memang lebih enak yang dari sini,” ujar Bahrani, yang sebelum adalah petani padi. Adapun air yang digunakan untuk budidaya itu sudah diuji untuk memastikan ikan yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi.

Cipto menuturkan, keramba jaring apung di Danau Atasela itu muncul atas inisiatif warga agar danau bisa dimanfaatkan untuk budidaya ikan. Mereka kemudian mendapat bantuan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kalsel berupa satu paket jaring serta plastik untuk budidaya ikan. Sementara Arutmin memberi dukungan berupa akses.

”Jadi, mulai dari pembibitan, pakan, hingga penjualan pengelolaannya oleh mereka semua. Ke depan, kami dorong agar BUMDes di Mentawe bisa berjalan dengan fokus pada perikanan ini. Lantaran berada di wilayah tanggung jawab kami, pembudidaya baru 14 orang agar bisa terkontrol. Namun, diharapkan ke depan bisa lebih banyak,” tutur Cipto.

Jadi model
Tambang Batulicin adalah satu dari lima tambang batubara milik PT Arutmin, selain Tambang Senakin, Satui, Kintap, dan Asamasam, yang semunya terletak di Kalsel. Selain itu, terdapat North Pulau Laut Coal Terminal (NPLCT) yang menjadi terminal batubara di Kabupaten Kotabaru, Kalsel. Total produksi batubara Arutmin pada 2023 sekitar 24 juta ton.

Cipto menuturkan, sebelum memasuki era lingkungan, sosial, dan tata kelola (environment, social, governance/ESG), Arutmin sudah menjalankan komitmen pada prinsip-prinsip tersebut. ”Kami menyadari bahwa operasi tambang bisa lancar jika masyarakat menerima manfaat yang besar. Ini juga tertuang dalam kebijakan perusahaan. Kami berhasil jika diterima dan dihargai masyarakat,” katanya.

Ia menuturkan, dari semua tambang Arutmin, baru di Batulicin yang sudah menerapkan model reklamasi,danau pascatambang, serta pemanfaatannya untuk masyarakat. ”Kami harapkan ini juga menjadi model di tambang lain, seperti Satui dan Kintap. Jadi, saat produksi tambang sudah selesai, pemanfaatan area bekas tambang bisa dilakukan seperti di Atasela,” ujar Cipto.

Penerapan ESG yang telah menjadi prasyarat serta masuk dalam rencana perusahaan juga dilakukan oleh PT Freeport Indonesia (PTFI). Presiden Direktur PTFI Tony Wenas mengatakan, praktik pertambangan yang baik bukan lagi keterpaksaan atau keharusan untuk melakukannya, melainkan menjadi keniscayaan.

Hal tersebut, menurut Tony, sudah melekat dalam perencanaan bisnis PTFI. Pengelolaan tambang PTFI pun sudah memikirkan bagaimana melakukan penutupan lubang tambang dan penanaman kembali, hingga 2041 atau saat berakhirnya izin usaha pertambangan khusus (IUPK) PTFI.

”Kami meyakini tidak ada perusahaan yang bisa berhasil di tengah masyarakat dan lingkungan yang gagal. Jadi, saat kita mulai melakukan penambangan, saat itu pula kita berpikir bagaimana cara mengelolanya agar tetap memperhatikan lingkungan dan sosial,” ucap Tony dalam CEO Insight ”Menjawab Tantangan melalui Pengembangan Bisnis Keberlanjutan”, rangkaian Kompas100 CEO Forum Powered by PLN, di Jakarta, Senin (23/10/2023).

Selain itu, PTFI berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 30 persen pada 2030. Saat ini, sudah tercapai 24 persen pengurangan emisi. Selain itu, dalam pengurangan emisi, salah satu rencana yang sedang coba disusun PFTI adalah mengganti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara dengan gas alam cair (LNG).

Kewajiban menerapkan praktik pertambangan yang baik bagi pemegang izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi, IUPK eksplorasi, IUP operasi produksi, dan IUPK operasi produksi tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang Baik dan Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara.

Investasi bertanggung jawab
Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Akmaluddin Rachim, menuturkan, implementasi praktik pertambangan yang baik dan ESG sudah menjadi keharusan. Itu juga terkait dengan prinsip investasi bertanggung jawab. Namun, dalam pelaksanaannya, masih ada sejumlah perusahaan yang belum menaati hal tersebut.

”Ini menjadi tugas bersama yang harus terus dikawal agar lingkungan tetap bersih dan terjaga serta memberi dampak positif bagi masyarakat. Rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) menjadi instrumen bagaimana perusahaan taat pada prinsip itu. Pemerintah bisa mengukur, menilai, dan mengapresiasi sejauh mana perusahaan menerapkannya,” tuturnya.

Tantangan lain dalam pertambangan di Indonesia, imbuh Akmaluddin, adalah pertambangan tanpa izin (peti). ”Peti lahir karena ada ketidakpahaman masyarakat akan dampak buruk pertambangan jika tidak terkontrol. Ini merugikan dari sisi lingkungan ataupun penerimaan negara. Ini perlu diawasi betul dan agar peti tidak lagi dibiarkan,” katanya.

Praktisi ESG, Andi Erwin, menuturkan, saat ini ada tren implementasi ESG oleh perusahaan tambang meningkat. Namun, sebagian besar masih digerakkan dengan motif untuk mendapatkan pendanaan. Menurut dia, masih banyak tugas dan tanggung jawab yang perlu diselesaikan, baik dari sisi lingkungan, sosial, maupun tata kelola. Ia memperkirakan, penerapan praktik pertambangan yang baik baru dilakukan kurang dari 25 persen dari total perusahaan tambang di Indonesia.

”Pada aspek governance (tata kelola), misalnya, banyak regulasi yang tumpang tindih. Kemudian, kurangnya transparansi, bahkan sarat konflik kepentingan. Namun, kita perlu optimistis bahwa ke depan, penerapan ESG oleh perusahaan-perusahaan tambang akan lebih baik. Itu juga terkait dengan reputasi perusahaan,” ucapnya.