Beranda Publikasi Kegiatan

UU Cipta Kerja Subsektor Migas Abaikan Putusan MK

1939

 

Undang-Undang Cipta Kerja Subsektor Minyak dan Gas Bumi, yang telah disahkan oleh DPR beberapa pekan lalu ternyata masih mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Marwan Batubara mengatakan bahwa mestinya UU Cipta Kerja subsektor migas memuat berbagai aturan yang konstitusional dan progresif untuk tata kelola migas sebagaimana diperintahkan dalam Putusan MK. No. 36 Tahun 2012 terkait dengan pelembagaan tata kelola migas. Pemerintah dan DPR sebenarnya telah menyepakati bahwa akan mengubah UU Migas sebagaimana putusan a quo. Hal itu dapat diketahui dalam prolegnas yang telah menjadi skala prioritas sejak tahun 2009-2014 dan 2014-2019 namun tak kunjung ada pembahasan ataupun ada progres yang signifikan terhadap RUU Migas, ungkap Marwan Batubara dalam diskusi publik virtual di Jakarta, 23/10/2020.

Kenyataannya meski telah 11 tahun berlalu, UU Migas baru tak kunjung ditetapkan. Nasib RUU Migas ini sangat berbeda dengan 2 (dua) RUU lain, yang bisa selesai dalam hitungan bulan. UU No.3 Tahun 2020, misalnya, mampu diselesaikan DPR dan Pemerintah dalam waktu 4 bulan. Rapat Paripurna DPR 12 Mei 2020 mengetok palu menjadikan undang-undang tersebut disahkan. Begitupun dengan UU Cipta Kerja dapat diselesaikan dalam waktu 6 bulan. Terhitung sejak tanggal 5 Oktober 2020 rapat paripurna DPR  5 Oktober 2020 UU Cipta Kerja disahkan menjadi undang-undang. Padahal permasalahan dalam kedua undang-undang baru tersebut justru lebih kompleks dibanding permasalahan dalam RUU Migas. Apalagi bicara terkait UU Cipta Kerja. Permasalahannya jelas UU Cipta Kerja memang kompleks dan rumit jika melihat bagian yang ingin diharmonisasi terkait dengan 79 undang-undang eksisting lintas sektor dan substansinya.

Menurut Marwan Batubara, terasa ada yang janggal bila UU Cipta Kerja, yang isunya dibagi dalam 11 klaster (klaster-klaster 11 klaster Penyederhanaan Perizinan, Persyaratan Investasi, Ketenagakerjaan, Kemudahan Berusaha, Pemberdayaan dan Perlindungan UMKM, Dukungan Riset dan Inovasi, Administrasi Pemerintahan, Pengenaan Sanksi, Pengadaan Lahan, Kemudahan Investasi dan Proyek Pemerintah, serta Kawasan Ekonomi Khusus) DPR dan Pemerintahan Jokowi bisa selesaikan dalam waktu 6 bulan. Lebih lanjut, Marwan Batubara mengatakan bahwa mengapa untuk RUU Migas yang permasalahannya lebih sederhana, tak kunjung selesai walau 11 tahun berlalu?

Bagi Marwan Batubara penyebabnya terkait dengan kepentingan rente, oligarki dan moral hazard. Menurut Marwan, perihal UU Minerba dan Cipta Kerja, peran oligarki kekuasaan sangat dominan sehingga cepat proses hingga pengesahannya. Pada kasus UU Migas, rakyat dipersilakan menggugat ke MK. Namun ternyata, kalau MK sudah membuat putusan – bahwa banyak ketentuan undang-undang a quo yang bertentangan dengan konstitusi – maka urusan pelaksanaan putusan MK, kepatuhan penyelenggara negara terhadap putusan MK, menjadi hal lain. DPR dan Pemerintah tidak menganggap itu hal penting dan mendesak.

Banyak pakar atau lembaga kajian global, salah satunya Fraser Institute, yang melaporkan bahwa masalah kepastian hukum, korupsi dan birokrasi menjadi penyebab kurangnya minat investor melakukan investasi di sektor tambang, yakni migas, minerba atau panas bumi di Indonesia. Tapi apakah ini menjadi faktor pendorong agar RUU Migas cepat diselesaikan? DPR dan Pemerintah tidak menganggap itu penting dan mendesak ucapnya sekali lagi.

Marwan Batubara mengungkapkan bahwa tiap tahun angka lifting migas dalam asumsi APBN menunjukkan angka penurunan. Cadangan terbukti migas pun terus menipis. Dampaknya, antara lain impor migas terus naik, defisit neraca dagang naik. Kurs rupiah terus turun. Apalagi kalau harga minyak dunia ikut pula naik. Apakah hal-hal yang bermasalah ini menjadi faktor pendorong agar RUU Migas cepat diselesaikan, sehingga cadangan terbukti dan lifting bisa meningkat, serta defisit menurun? DPR dan Pemerintah tidak menganggap itu penting dan mendesak.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa Pemerintah dan DPR tidak merasa penting untuk mengatasi berbagai masalah yang terjadi sektor migas nasional, yang bahkan telah mempengaruhi kinerja sektor keuangan dan eknomi. Tidak ada sense of crisis. Mengapa demikian? Tampaknya peran oligarki dan para pemburu rente cukup dominan. Mereka sudah cukup nyaman dengan kondisi status quo saat ini. Berbagai kenikmatan sewaktu BP Migas masih ada, toh masih dapat terus dinikmati melalui SKK Migas.

Fakta di atas menunjukkan betapa kuatnya pengaruh dan cengkeraman  oligarki kekuasaan terhadap sektor migas nasional atau bahkan hingga sektor-sektor sterategis lain. Oleh sebab itu, walau bertentangan dengan konstitusi dan Putusan MK, Pemerintah dan DPR akan tetap mempertahankan keberadaan SKK Migas. Sikap ini pun tercermin dalam UU Cipta Kerja yang baru ditetapkan

Sektor migas termuat dalam Pasal 40 dalam UU Ciptaker yang khususnya memuat sejumlah perubahan dalam UU Migas. Hal-hal yang dilakukan perrubahan adalah, antara lain tentang kegiatan usaha hulu yang tidak lagi merujuk Badan Pelaksana (Pasal 4); kegiatan usaha dilaksanakan berdasarkan perizinan, tidak lagi berbentuk kontrak (Pasal 5); sanksi administratif atas berusaha tanpa izin (Pasal 23A);  jenis sanksi dan tata cara pemberian sanksi (Pasal 25); peran Badan Pengatur menetapkan tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa (Pasal 46); sanksi pidana bagi pelaku eksplorasi dan eksploitasi tanpa izin (Pasal 52); sanksi jika terjadi korban jiwa dan kerusakan akibat kegiatan usaha tanpa izin (Pasal 53); dan sanksi terhadap penyalahgunaan pengangkutan dan/atau niaga BBM, gas dan LNG subsidi (Pasal 55).

Dari berbagai permasalahan yang diatur dalam UU Cipta Kerja di atas, tidak tampak ada ketentuan yang mengatur secara spesifik tentang hal-hal yang terkait dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 dan esensi dari Putusan MK No.36/2012, serta hal-hal staregis yang selama ini sudah mengemuka.  Jika ingin dikatakan tetap terkait, kita mungkin menganggap ketentuan Pasal 5 bisa menjadi hal yang relevan. Namun ke depan, Pasal 5 ini belum menjamin membaiknya pengelolaan sektor migas, sehingga perlu dibahas lebih lanjut secara komprehensif dalam PP yang akan diterbitkan.

Pasal 5 ayat (1) UU Cipta Kerja mengatur bahwa kegiatan usaha minyak dan gas bumi dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. Sebelumnya, dalam UU Migas Pasal 6 ayat (1) mengatur bahwa kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui kontrak kerja sama. Yang menjadi concern kita adalah bagaimana pengaturan lebih lanjut tentang kegiatan usaha dan perizinan berusaha tersebut diimplementasikan melalui PP yang akan terbit, sehingga amanat penguasaan negara akhirnya dapat terwujud.

Pada UU Migas melalui rezim kontrak, posisi pemerintah/negara yang diwakili BP Migas setara dengan kontraktor. Hal ini memang harus diperbaiki. Itu pula sebabnya BP Migas dibubarkan. Namun jika rezim izin diberlakukan, kesempatan pengawasan dan pengendalian dari pemerintah/negara bisa berkurang atau hilang. Selain itu, hak eksklusif  BUMN untuk mengelola aset SDA migas tidak akan otomatis terjamin.

Oleh sebab itu, kita bisa saja menerima perubahan pola pengelolaan migas dari rezim kontrak menjadi rezim izin, sepanjang amanat konstitusi dan kepentingan strategis nasional dijamin terakomodasi. BUMN harus mendominasi pengelolaan dan menjadi kustodian aset SDA migas. Rezim izin pun harus menjamin terwujudnya pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kontrak/izin, terutama terhadap kontrak-kontark yang berdasarkan pola bagi hasil (bukan service contract). Rezim izin pun harus menjamin abuse of power dalam hal penerbitan izin-izin terkait dan peran oligarki harus dihilangkan.

Marwan Batubara mengingatkan bahwa penetapan berbagai ketentuan sektor migas dalam UU Cipta Kerja ini cukup dinamis. Seperti diketahui UU Cipta Kerja merupakan undang-undang yang menunjukkan tingginya perhatian terhadap penyediaan lapangan kerja melalui investasi. Namun apabila dikaji ternyata tidak banyak memuat ketentuan terkait di sektor migas. Padahal undang-undang tersebut memang dimaksudkan untuk memberi kemudahan berinvestasi kepada para pengusaha dan investor asing. Sektor migas – selain sektor-sektor terkait infrastruktur, minerba, pangan, dan kesehatan – membutuhkan investasi sangat besar.