Beranda Publikasi Kegiatan

Berpeluang Jadi Bisnis Baru di Indonesia, Begini Tantangan Implementasi Carbon Capture Storage

246

Wacana soal pengimplementasian Carbon Capture Sorage (CCS) di Indonesia tidak hanya dilihat dari sudut pandang potensi bisnis saja, CSS juga memiliki tantangan yang serius. Terdapat beberapa tantangan dalam implementasi CSS di Indonesia. Pertama, terkait biaya dan perekonomian, karena biaya yang dibutuhkan untuk menggunakan CCS relatif sangat tinggi. Kedua, penerapan teknologi CCS membutuhkan energi yang besar sehingga menghasilkan emisi karbon. Ketiga, perlu pengaturan yang memadai dan dukungan pemerintah.

Hal tersebut sebagaimana disampaikan Akmaluddin Rachim, peneliti PUSHEP pada agenda diskusi publik dengan tema Tantangan Implementasi CCS Pasca Terbitnya Perpres Nomor 14 Tahun 2024, yang diadakan oleh PUSHEP pada Rabu/27/03/24. Dalam diskusi tersebut, Kosario M. Kautsar dari SKK Migas dan Bayu Yusya Uwaiz, dari Associate Satu Energi Law Firm juga turut hadir sebagai pembicara.

Lebih lanjut, Akmaluddin, dalam pemaparan materinya juga menyinggung soal Perpres No. 14 Tahun 2024, yang tujuannya untuk memenuhi target kontribusi yang ditetapkan secara nasional dan menuju Net Zero Emission tahun 2060 serta memberikan landasan dan kepastian hukum kepada semua pihak yang terlibat dalam kegiatan penurunan emisi.

“Dari sini juga akan meningkat daya tarik investasi dan menciptakan nilai ekonomi dari bisnis penangkapan, pengangkutan, dan penyimpanan karbon”, kata Akmaluddin.

Pada kesempatan yang sama, Kosario M. Kautsar mengungkapkan bahwa pada tahun 2022, produksi dan pengolahan minyak dan gas menghasilkan 5,1 miliar ton (Gt) Co2 -eq. Menurutnya, CSS adalah peluang untuk menghasilkan pendapatan dari sumber daya yang terkuras melalui injeksi dalam kegiatan hulu.

Intensitas emisi pasokan minyak dan gas menurun lebih dari 50% pada tahun 2030, sehingga menghasilkan pengurangan emisi keseluruhan dari operasi minyak dan gas sebesar 60%”, ungkap Kosario.

Namun terlepas dari peluang, CCS juga memiliki tantangan dalam proses keberlangsungannya. “Pelaksanaan CCS tentunya rentan terhadap faktor politik, peraturan, dan faktor internasional”, Kata Kosario.

Sementara itu, Bayu Yusya, juga menyampaikan bahwa proses dalam implementasi CCS memiliki beberapa tantangan yakni resiko kegagalan dan skema penyelenggaraan CCS yang belum bisa diterapkan secara optimal. “Biaya teknologi dan investasi yang tinggi dengan ketidakpastian nilai karbon menurunkan minat investasi penyelenggaraan CCS”, tutur Bayu. 

Bayu juga menambahkan bahwa dalam pelaksanaan nantinya, tentu perlu dukungan regulasi terkait penentuan nilai ekonomi karbon dan imbal jasa penyimpanan. Menurutnya, pengaturan nilai ekonomi karbon saat ini terdapat dalam Perpres No. 98 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon, namun perpres tersebut tidak mengatur secara spesifik mengenai penentuan nilai ekonomi karbon.

“Oleh karena itu, penting untuk merumuskan pengaturan spesifik yang menentukan nilai ekonomi karbon dan imbal jasa penyimpanan sebagai indikator aspek keekonomian implementasi CCS”, tutup Bayu.