Beranda Publikasi Kegiatan

Dinas ESDM Provinsi Jambi Pertanyakan Dasar Hukum Pengalokasian Anggaran pada RAPBD 2021

1768

 

Ditariknya urusan pemerintahan sektor pertambangan mineral dan batubara dari pemerintah provinsi ke pusat melalui UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara berimplikasi pada eksistensi dinas yang menangani urusan Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di pemerintah provinsi, termasuk dalam hal pengalokasian anggaran pada Rancangan Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). Masalah ini diangkat dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) bekerja sama dengan Ditjen Bina Pembangunan Daerah (BANGDA) dengan tema “Membangun Konsepsi Pelibatan Daerah Provinsi dalam Pengelolaan Mineral dan Batubara dalam Kerangka Pelaksanaan UU No. 3 Tahun 2020”, Jakarta, 13/10/2020

Pada saat diskusi, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jambi mempertanyakan dasar hukum pengalokasian anggaran pada Rancangan Anggaran Belanja Daerah (RAPBD) Tahun 2021. Hal itu diungkapkan oleh Hj. Anita Wulandari, S.Sos, M.Si, Kepala Seksi Pemetaan Wilayah Pertambangan Mineral Logam dan Batubara saat mewakili Dinas ESDM Provinsi Jambi saat mengikuti kegiatan tersebut.

Anita Wulandari misalnya bertanya terkait dengan bagaimana Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait dengan aturan turunan dari UU No. 3 Tahun 2020. Menurutnya di dalam pengaturan untuk pengelolaan perizinan khususnya di bidang pertambangan mineral dan batubara ini akan didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Provinsi atau gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berdasarkan prinsip efektivitas, efisiensi, akuntabilitas, dan eksternalitas. Di dalam RPP ini pendelegasian perizinan berusaha ini nanti akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden. Kami belum bisa mendapatkan informasi jenis-jenis perizinan atau sertifikat standar apa yang akan nanti didelegasikan kepada pemerintah daerah”ucapnya.

“Kami ingin menanyakan bu karena ini nanti akan didelegasikan terkait dengan urusan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara. Karena saat ini kami sedang pembahasan RAPBD Tahun 2021. Nah yang ingin kami tanyakan apakah masih bisa menganggarkan kegiatan ini untuk di Tahun 2021” tanya Anita Wulandari.

Menanggapi pertanyaan tersebut, Siti Zuhro berpandangan bahwa yang lebih memiliki kapasitas untuk menjawab pertayaan ini ialah Mendagri atau ESDM. “Ini yang harus menjawab pertanyaan ini Mendagri atau ESDM, bukan saya” katanya sambil berkelakar.

Sujarwanto Dwiatmoko, juga memberikan tanggapan terhadap pertanyaan tersebut. “Menurutnya, mestinya harus ada harmonisasi antara UU Minerba dengan UU Pemda dan UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, biar nyambung” tuturnya.

Lebih lanjut dikatakannya, jangan revisi dan seolah-olah ada cerita baru, seolah-olah batal demi hukum. Ini terlalu gegabah karena mengelola daerah itu betul-betul mengembalikan kepercayaan daerah. Membangun daerah memang harus membumikan kepentingan daerah untuk daerah. Tidak mungkin Indonesia memajukan dirinya hanya melalui Ibukota.

“Makanya harus membangun dan memperbaiki konsepsi memajukan negara dari daerah dengan memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah. Terkait delegasi, pemerintah daerah hanya akan diberikan delegasi untuk mengatur SIPB dan IPR. Sementara untuk mekanisme hanya ada opsi dekonsentrasi dan tugas pembantuan” imbuh Sujarwanto Dwiatmoko yang sekaligus merupakan Penjabat Sementara (Pjs) Bupati Kabupaten Klaten.

Dalam diskusi tersebut Bisman Bhaktiar sebagai moderator memberikan pertanyaan atas tanggapan Sujarwanto Dwiatmoko sebelumnya. Menurut Bisman Bhaktiar, frasa yang digunakan untuk delegasi pada UU Minerba ini adalah ‘antara lain’. “Jadi masih memungkinkan untuk delegasi selain SIPB dan IPR. Sebenarnya posisi daerah apabila suatu ketika Dinas ESDM harus diliquidasi karena konsekuensi dari sentralisasi, bagaimana pendapat Bapak?” tanyanya.

Menurut Sujarwanto Dwiatmoko, desain organisasi bergantung pada tanggung jawab yang dibebankan pada satu sektor. Harapannya, semua pengelolaan menjadi benar. Dengan luas wilayah yang seperti ini akan rentan kendali karena punya keterbatasan. Oleh sebab itu, tentu sulit jika tidak melibatkan daerah dimana gotong royong yang dilakukan di daerah akan menyelesaikan banyak hal. Sumbang saran yang kita berikan adalah efektifitas dan efisiensi dalam pengelolaan pertambangan, jangan sampai hanya melihat Indonesia dari kaca mata Jakarta.

Siti Zuhro coba memberikan tanggapan. Menurutnya, mengenai konsep pengelolaan daerah ke depan kalau UU Minerba dan UU Cipta Kerja dilaksanakan, berarti terjadi perubahan fundamental. Jadi lebih menonjol ke dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Konsep sentralistis hanya berkesusauian dengan pengelolaan sistem yang otoriter, bukan demokrasi. Secara tidak langsung negara telah mendeklarasikan bahwa sudah tidak menganut lagi sistem demokrasi,

Masih terkait dengan pertanyaan sebelumnya, Bisman Bhaktiar, kembali bertanya. “Dalam rangka mendaerahkan kembali, dari beberapa mekanisme yang sudah dijelaskan tadi, kira-kira di pemerintah provinsi ini lebih nyaman menggunakan mekanisme yang mana?” ucapnya kepada Sujarwanto.

Sujarwanto mengatakan bahwa sikap pemerintah daerah ketika pemerintah pusat telah menerbitkan suatu peraturan, maka sudah jelas akan patuh. Diskusi yang disampaikan tadi hanya sebagai pengantar pemikiran bagaimana untuk mengimplikasikan undang-undang, karena tidak mungkin juga daerah mengatakan bahwa undang-undang yang dibuat tidak benar atau bersikap resisten terhadap kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat.

“Kewenangan di bidang minerba telah menjadi kewenangan nasional, berarti kewenangan daerah turunannya tinggal melaksanakan perintah pusat, yaitu dekonsentrasi atau tugas pembantuan. Terkait pembiayaan, pemerintah daerah tidak bisa menangani urusan yang tidak menjadi urusan daerah karena itu merupakan konsekuensi atas dekonsentrasi dan tugas pembantuan” tegas Sujarwanto.