Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo, mengatakan perlu ada sinergisitas dan dukungan dari kelompok masyarakat sipil untuk membangun tata kelola energi dan pertambangan dengan melakukan pemantauan dan pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik. Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo menyampaikan hal tersebut dalam pelatihan strategi pemantauan penyelenggaraan pelayanan publik sektor energi dan pertambangan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP).
Dalam paparannya, Adnan Topan Husodo, menjelaskan konteks legal sosial partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi dengan mengenali mengenai tindak pidana korupsi serta modus operandi yang dijalankan oleh pelaku korupsi dan potensi korupsi di sektor energi dan pertambangan dan upaya apa saja yang dapat dilakukan masyarakat dalam berpartisipasi memberantas korupsi di sektor energi dan tambang. Menurutnya, membangun kerja sama antar stakeholder, yang terdiri dari negara, swasta dan masyarakat harus berlandaskan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
Keterlibatan masyarakat dalam pemberantasan korupsi memiliki landasan hukum kuat. Menurutnya Undang-Undang KPK No. 19 Tahun 2019 ayat (4) mengatakan bahwa “pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian kegiatan untuk mencegah dan memberantas terjadinya tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Lebih lanjut dikatakan bahwa, selain UU KPK, Adnan menyebutkan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan dalam tersebut menjadi payung hukum bagi masyarakat dalam memberikan sumbangsih terhadap pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Koordinator ICW ini menyebut beberapa poin penting antara lain: hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi, hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi, hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertangungjawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi, hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yang diberikan kepada penegak hukum, dan hak untuk memperoleh perlindungan hukum.
Lebih jauh, Adnan Topan Husodo menjelaskan bahwa, bentuk partisipasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan banyak ragamnya. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Komisi Informasi Publik (KIP) merupakan payung hukum yang memberikan jaminan untuk mendapatkan informasi publik atau jaminan terhadap keterbukaan informasi publik. UU. No. 37 Tahun 2008 tentang Ombusman Republik Indonesia merupakan payung hukum untuk mendapatkan jaminan dalam pemantauan pelayanan publik dan mengadukan praktik maladministrasi. UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik merupakan payung hukum untuk mendapatkan pelayanan publik atau mengadukan masalah pelayanan publik. Selanjutnya ada UU No. 13 Tahun 2006 tentang LPSK merupakan payung hukum untuk mendapatkan perlindungan atas kesaksian dan pelaporan tindak pidana.
Dalam pemaparan materinya, Adnan Topan Husodo mengatakan bahwa hampir semua negara yang memiliki sumber daya alam (SDA) menghadapi masalah kerentanan korupsi yang tinggi. Bukan terkait dengan uang negara, tapi kerugian pendapatan negara dari SDA yang hilang, termasuk kerugian ekologis dan sosial. Oleh karena itu, menurutnya, tersebarnya aktor politik yang terlibat, menjadikan penegakan hukum terhadap potensi korupsi di sektor SDA cenderung lemah SDA dan tidak menjadi prioritas.
Menurut Adnan Topan Husodo, wilayah perizinan merupakan bagian yang sangat rentan terjadi korupsi. Potensi itu dapat terjadi mulai dari pengurusan syarat-syarat, otentitas dokumen, by pass proses, adanya intervensi dan juga perpanjangan izin. Sementara itu, katanya, terkait dengan substansi kontraknya, celah terjadinya korupsi terlihat dari jangka waktu perizinan, biaya eksplorasi, sistem bagi hasil, pembatalan kontrak dan nilai denda. Lebih lanjut dikatakan oleh Adnan Topan Husodo bahwa modus korupsi di sektor SDA terjadi adanya suap dan gratifikasi, tindak pidanaan pencucian uang, penyalahgunaan wewenang, dan perambahan ilegal.
Maka dari itu, katanya, untuk mencegah terjadinya korupsi perlu ada keterbukaan data ijin, sanksi yang tegas terhadap tindak pidana pencucian uang termasuk pidana korporasi, memperkuat pengawasan administrasi oleh pemerintah pusat, penegakan hukum terpusat, dan penguatan pengawasan integratif. Adnan Topan Husodo mengajak sebanyak mungkin elemen masyarakat untuk bersama-sama berbagi peran dalam mengawasi kinerja birokrasi pemerintahan. Dia berpesan agar untuk saat ini mengoptimalkan peran pencegahan karena strategi penindakan tidak efektif dijalankan. Di tengah situasi penegakan hukum yang amburadul ini kita masih dapat percaya pada Ombudsman.