Beranda Publikasi

PUSHEP Sorot Pembahasan RUU EBET Dilakukan Secara Tertutup

252

 

Proses pembentukan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) saat ini tengah memasuki tahap pembahasan. Pembahasan RUU EBET kini berlangsung di tingkat panitia kerja (panja) Komisi VII DPR. Sebelumnya, dalam pembahasan yang terbuka di ruang rapat Komisi VII DPRI, diputuskan bahwa mekanisme kerja pembahasan RUU EBET dimulai dari pembentukan panja untuk membahas RUU EBET. Dalam rapat panja tersebut, akan dilakukan pembahasan terhadap daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU EBET. Jadwal pembahasan terhadap DIM tersebut telah diagendakan dan dimulai di akhir Januari 2023 ini. Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) menyorot pembahasan DIM RUU EBET yang dilakukan secara tertutup. Peneliti PUSHEP, Akmaluddin Rachim menyayangkan pembahasan RUU EBET tidak dilakukan secara terbuka.

“Patut disayangkan pembahasan RUU EBET oleh panja dilakukan di hotel sehingga menutup ruang partisipasi publik untuk mengetahui substansi yang dibahas. Karena dibahas di hotel, akhirnya masyarakat tidak mengetahui apa saja isu yang diperdebatkan dalam panja tersebut. Masyarakat tidak dapat memberikan masukan. Ini menimbulkan kecurigaan publik bahwa ada kepentingan yang disembunyikan dalam pembahasan yang dilakukan tertutup”, kata Akmaluddin.

Akmaluddin menjelaskan bahwa jika RUU EBET ini dilakukan secara tertutup, maka ini akan menjadi pintu masuk atau celah dilakukannya gugatan uji formil di Mahkamah Konstitusi. Pembahasan yang dilakukan secara tertutup, apalagi jika dilakukan di hotel ini tentu dipandang melanggar ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut Akmaluddin menambahkan pembahasan yang tertutup juga bertentangan dengan konsep meaningful participation. Maksud konsep meaningful participation ini adalah: (1) hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, (2) hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan (3) hak masyarakat untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.

Perlu diketahui bahwa saat ini pembahasan terhadap DIM RUU EBET sudah mencapai 130-an. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya oleh Menteri ESDM, Arifin Tasrif, bahwa RUU EBET ini terdiri dari 14 bab, 62 pasal dan 574 DIM. Itu artinya pembahasan terhadap DIM masih Panjang. Menurut Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno, mengatakan pembahasan RUU EBT tertunda karena pengkajian soal nuklir perlu dilakukan secara mendalam, 07/02/2023. “Terkait dengan nuklir yang diatur dalam RUU, pembahasannya akan jadi alot. Terkait isu ini, publik akan banyak memberikan perhatian serius. Isu ini banyak dipermasalahkan karena ini terkait soal kesiapan dan kesanggupan kita terhadap pengembangan nuklir”, ucap Akmaluddin.

Lebih lanjut, Akmaluddin, menjelaskan bahwa perihal soal nuklir, pemerintah perlu mengkaji secara mendalam terhadap kemampuan, baik secara SDM maupun teknologi dalam mengelola nuklir. Akmaluddin mengatakan bahwa isu nuklir dalam RUU EBET ini telah lama diperbincangkan dan mendapat banyak kritikan dari berbagai kalangan. Hal yang disorot pertama tentu terkait alasan urgensi mengapa ketentuan nuklir ini masuk dalam RUU EBET. Kedua, adalah soal pengaturan soal nuklir telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Selain itu, pengaturan nuklir ini telah lama diatur melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Tenaga Atom.

Ketiga, bahwa dalam Pasal 11 ayat (3) Peraturan Pemerintah No 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional mengatakan, yang pada pokoknya mengatur pengembangan energi nuklir sebagai pilihan terakhir dengan memperhatikan faktor keselamatan secara ketat. Lebih lanjut, Akmaluddin Rachim, mengatakan beberapa permasalahan lain yang memicu perdebatan di masyarakat adalah keselamatan, keamanan dan mitigasinya. Hal yang tidak kalah penting juga karena terkait kebijakan global, yaitu prosedur penggunaan dan pengembangan energi nuklir sebagai sumber pembangkit listrik yang harus mengacu persetujuan dunia internasional dan berbagai ratifikasi konvensi internasional yang telah disahkan.

“Beberapa alasan yang telah saya kemukakan menunjukkan bahwa dari sisi regulasi sebenarnya pemerintah telah memiliki gambaran terkait arah pengaturan dan pemanfaatan nuklir. Jadi tidak perlu dipaksakan ada ketentuan pengaturan nuklir dalam RUU EBET. Hal ini akan menambah masalah dan menyebabkan pembahasan RUU EBET jadi tidak produktif” ungkap Akmaluddin.

Akmaluddin menambahkan seharusnya DPR bersama pemerintah fokus membenahi atau menghapus pasal-pasal yang tidak sejalan dengan maksud pembentukan RUU EBET. Beberapa ketentuan yang dipandang tidak sejalan dengan maksud pembentukan RUU EBET ialah kecenderungan soal arah pengaturan energi baru yang lebih dominan dan ketentuan mengenai nuklir yang mendapat tempat istimewa dalam RUU EBET. “Dari struktur pengaturan dalam RUU EBET terlihat secara eksplisit arahnya lebih mengutamakan energi baru, khususnya nuklir. Ini sangat tidak adil. Seharusnya jikalau serius mau melakukan transisi energi dari fosil ke non fosil, maka setidaknya ada proporsionalitas pengaturan antara energi baru dan energi terbarukan”, tutur Akmaluddin