Beranda Publikasi Kegiatan

Rapat Kerja dengan Pemerintah dan DPD, Komisi VII DPR RI Terima DIM RUU EBET

305

 

Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menggelar Rapat Kerja bersama perwakilan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dengan agenda Musyawarah Pembicaraan Tingkat I atas Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan. Adapun rincian agenda rapat tersebut adalah penjelasan RUU EBET oleh Komisi VII DPR RI, pandangan Pemerintah tentang RUU EBET, dan pandangan DPD RI terhadap RUU EBET.

Dalam rapat tersebut, perwakilan dari Pemerintah diwakili oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Menteri BUMN, perwakilan Kementerian Keuangan, Kemendikbud Ristek, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Perindustrian, serta Pimpinan Komite II DPD RI. Saat rapat tersebut, Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto beberapa kali menyinggung soal Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU EBET.

Penjelasan Komisi VII DPR RI tentang RUU EBET bahwa berdasarkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019-2024 dan Prolegnas Prioritas 2022, Komisi VII DPR RI telah melakukan penyusunan RUU EBET yang telah ditetapkan sebagai Rancangan Undang-Undang inisiatif dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 14 Juni 2022. Pada proses berikutnya, RUU tersebut telah disampaikan kepada Presiden RI melalui Pimpinan DPR RI tertanggal 14 Juni 2022 tentang Penyampaian RUU usul DPR RI.

Berdasarkan surat tersebut, Presiden telah menyampaikan surat kepada DPR RI, pada tanggal 25 Agustus 2022 tentang penunjukkan wakil pemerintah untuk membahas RUU EBET. Di surat tersebut, Presiden menugaskan Menteri ESDM, Menteri LHK, Menteri Keuangan, Menteri BUMN, Mendikbud Ristek serta Menteri Hukum dan HAM secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri untuk mewakili Presiden dalam pembahasan RUU EBET.

Perlu diketahui bahwa saat ini Komisi VII DPR RI akan melaksanakan pembahasan RUU EBET bersama wakil pemerintah yang dalam hal ini diwakili secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri oleh Menteri ESDM, Menteri LHK, Menteri Keuangan, Menteri BUMN, Mendikbud Ristek serta Menteri Hukum dan HAM.

Dalam rapat itu, Arifin Tasrif mengatakan, bahwa pemerintah menyetujui pembentukan Majelis Tenaga Nuklir (MTN). Adapun kewenangan MTN nantinya yaitu terkait pengkajian kebijakan, pelaksanaan monitoring dan evaluasi, serta penyusunan rekomendasi kebijakan.

Selain itu pemerintah juga mengusulkan pelaksana Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) merupakan badan usaha yang mempunyai kompetensi di bidang ketenaganukliran untuk kelistrikan. Pemerintah juga menyetujui substansi terkait persetujuan pembangunan PLTN yang diusulkan oleh DPR.

Lebih lanjut, dalam rapat tersebut, Menteri ESDM, Arifin Tasrif menyampaikan berdasarkan pembahasan internal yang telah dilakukan pemerintah, DIM RUU EBET yang terdiri 574 DIM. Rinciannya terdiri atas 52 yang pasal diubah, 10 pasal tetap dan 11 pasal usulan baru. Menjelang rapat berakhir, Menteri ESDM mewakili Pemerintah menyerahkan secara simbolik draf DIM RUU EBET.

Sementara itu pandangan DPD RI yang dalam hal ini dikemukakan oleh Ketua Komite II DPD RI, Yorrys Raweyai, bahwa berdasarkan pandangan sebelumnya, bahwa pengelompokkan sumber daya energi secara literatur terbagi dalam dua kelompok besar. Kelompok besar tersebut adalah sumber daya energi terbarukan dan sumber daya energi yang tak terbarukan. Oleh karenanya secara internasional, energi baru tidak dikenal yang selama ini dimasukkan ke dalam Undang-Undang Nomo 30 Tahun 2007 tentang Energi.

DPD RI berpandangan dan berpandapat bahwa konsep energi baru yang diusung dalam RUU EBET perlu dihapus dan dikeluarkan. Alasannya, selainnya karena tidak sesuai dengan literatur yang ada, juga karena konteks penerapannya di dalam RUU EBET menjadi tidak sejalan lagi dengan semangat pengarusutamaan pemanfaatan energi terbarukan. Atas dasar itu, dalam naskah sandingan terkait RUU EBET yang telah disusun oleh DPD RI, usulan perubahan mendasar adalah penghapusan klausul energi baru beserta turunan substansi pengaturannya yang ada dalam RUU EBET.

Sementara itu dalam kesempatan yang sama, Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), Akmaluddin Rachim mengkritisi bahwa penyampaian DIM ini sangat terlambat. Sebab sebelumnya, DPR telah menyampaikan RUU ini pada Pemerintah pada tanggal 14 Juni 2022.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa DIM baru disampaikan saat ini. Kenyataan ini pada dasarnya tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Dalam pasal tersebut diatur bahwa Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas Rancangan Undang-Undang disertai dengan daftar inventarisasi masalah bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima. Bahwa berdasarkan aturan a quo, DIM seharusnya disampaikan dalam waktu 60 hari. Keterlambatan ini tentunya sangat menghambat pembahasan.

Namun demikian kami berharap DPR dan Pemerintah segera melakukan pembahasan dengan efektif dan dilakukan secara terbuka. Kami berharap DPR dan Pemerintah juga mau menerima masukan publik perihal sejumlah catatan terhadap substansi pengaturan yang diatur dalam RUU EBET tersebut.